Ridho emosi dengan apa yang di lakukan Arini hari ini. Memalukan sekali. Begini kah sikap seorang sarjana? Kasar juga Arogan. Merasa malu terutama sama Rania. Bagaimana tanggapan teman- teman Rania? Ridho membanting setir. Meluapkan emosi di dada. Tak ada kata yang terucap, mereka hanyut dalam pikiran masing- masing.
Ridho melajukan mobilnya, Di hatinya hanya ada amarah yang membuncah. Apa ini salahku tak bisa membimbing Arini? Saat ini dia begitu Arogan dan keras kepala. Susah di nasehatin padahal dulu Arini adalah wanita yang lembut juga penyayang. Tapi sekarang? Ridho menghembuskan napas kasar.
Sampai di rumah. Arini tak mau turun dari mobil. merajuk, ia merasa di abaikan. Sejak dari kantor Rania, Ridho hanya diam.
"Turun! perintah Ridho. Arini malas turun, bibirnya komat kamit mengumpat Ridho, tapi sangat lirih. Hingga Ridho tak mendengarnya. Ia benar- benar merajuk sekarang. Semenit kemudian terpaksa Arini turun, melangkah masuk lalu kamar. Tak pedulikan Ridho yang memanggilnya. Arini membuka lemari juga menurunkan baju- bajunya. Ia tekad kan ingin pulang ke rumah Ibu.
"Kamu mau kemana?" tanya Ridho berdiri di depan pintu.
Arini masih mengunci mulutnya. Ridho menghampiri dan mencekal lengan Arini menurunkan pakaiannya.
"Mau kemana kamu!"
"mau pulang mas, untuk apa aku di sini. Mas Ridho udah nggak sayang aku lagi!" Bentak Arini. Ia melipat baju dan memasukan ke koper.
"Please Arini, jangan pulang! Kamu ko seperti anak kecil!" Sindir Ridho. Ia mengusap wajahnya kasar. sekarang istrinya berubah sejak hamil. Bak anak kecil kemauannya harus di turuti, kalau nggak marah- marah tak jelas. Tapi Arini tak peduli, ia tekad kan pergi dari rumah ini.
"Iya, aku memang seperti anak kecil nggak kayak Rania itu!"
"Jangan bawa- bawa Rania terus! Kamu bisa nggak sih dewasa sedikit?" Bentak Ridho sambil matanya melotot. Arini terdiam mendengar bentakan Ridho. Ada marah, kecewa jadi satu dalam dada Arini. Ingin sekali mencakar wajah Ridho.
Arini tetep berlanjut menata baju dan memasukan ke dalam koper. Tak pedulikan Ridho yang ingin menahannya.
Arini keluar dari kamar sambil membawa koper di tangannya. Ia pulang ke rumah orang tuanya.
"Arini, berhenti!" teriak Ridho. Tapi Arini tak pedulikan itu. Ia terus melangkah sambil membawa koper. Tangan satunya memesan taksi online.
Tak lama kemudian, taksi online datang. Saat Ridho mencekal tangannya, Arini mengibaskan tangannya.
"Jangan sentuh aku!" Bentak Arini. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobil.
"Pak jalan." suruh Arini tanpa memandang Ridho yang terus mengedor pintu mobil. Taksi melaju meninggalkan rumah hingga hilang dari pandangan.
Ridho benggong, terduduk di sofa teras depan. Pikirannya mendadak kosong. Ada yang hilang dari hati Ridho. Ia mengusap wajahnya kasar. tak habis pikir sikap Arini seperti itu. Ridho memejamkan mata, lalu beranjak melangkah masuk ke dalam dan menutup pintu. Menyalakan tivi tapi Pikirannya tertuju pada dua wanitanya Rania dan Arini. Mereka sama-sama Istriku. Bisakah mereka akur?
"Ya Tuhan, begini kah punya dua istri? Pusing kepalanya. "Dah lah mending, aku tidur aja." gumam Ridho.
****
Di Rumah Sakit.
Seminggu sudah Pak Sugeng di rawat Rumah Sakit. Keadaannya berangsur membaik. Ia sudah bisa jalan- jalan di taman bersama Bu Harti. Pak Sugeng membicarakan masalah rumah tangga Rania dan Ridho.
"Aku ingin pulang Bu, ingin ketemu Husen. Bahas Rania dan Ridho," ucap Pak Sugeng menatap lurus ke depan. harus di selesaikan masalah antara Ridho dan Rania. Bu Harti terlanjur menyayangi Rania. Tak ingin melepas Rania. Tak suka dengan istri barunya Ridho. Menurutnya ia hanya pelakor.
"Aku nggak terima Istri barunya Ridho, Pak! ucap Bu Harti tegas.
"Jangan begitu Pak, bagaimanapun dia istrinya Ridho. Saat ini juga dia sedang hamil." Pak Sugeng beri pengertian pada Istrinya.
"Kenapa bukan Rania saja yang hamil anak Ridho. Ya Allah," desis Bu Harti sedih.
"Dahlah Bu. Aku juga kecewa dengan Ridho." Pak Sugeng kemudian melangkah ke kamar. Merebahkan diri sambil menatap langit- langit kamar ini.
"Bu, panggilkan Ridho kesini."
"Iya Pak," Bu Harti kemudian menghubungi Ridho lewat ponsel. Lima belas menit kemudian Ridho datang. Ia tampak bahagia di panggil Ayahnya menemuinya. Itu artinya Ayahnya
Kangen. Ia juga rindu dengan kebersamaan bersama Ayahnya.
"Assalamu'alaikum," sapa Ridho. Lalu membuka pintu kamar. Terlihat Ayah dan Ibunya menatap tajam bersamaan. Ada apa ini? batin Ridho.
Ridho mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Lalu mengambil kursi dan duduk di sebelah Ayahnya. Ia tersenyum senang melihat wajah Ayahnya sedikit fresh.
"Ayah sudah sehat?" tanya Ridho. Namun raut wajah Pak Sugeng tak bersemangat dapat pertanyaan itu.
Plak!
Pak Sugeng kembali menampar Ridho. Ridho kaget. Ia memegangi pipinya yang panas.
Masih bingung dengan tindakan Ayahnya ini. Kenapa menamparku dua kali apa salahku?
"Kenapa Ayah menamparku?" tanya Ridho tak mengerti.
"Itu masih ringan Ridho, harusnya Ayah bukan hanya menampar, tapi menghajar lelaki pecundang sepertimu!" Tatap Pak Sugeng nyalang. Ada kilatan amarah di matanya.
"Pak Sabar, Nanti jantungnya kumat," Bu Harti mengingatkan.
Pak Sugeng menghela napas pelan. Ia hirup udara sebanyak- banyaknya untuk mengaliri jantung bekas operasi itu.
"Pak, kalau ada salah aku minta maaf. Tapi jelaskan salahku apa?"
"Kenapa kau menghianati Rania?"
Ridho benggong dengan ucapan Ayahnya itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Bagai di sambar petir di siang bolong. Bibir dan lidahnya kelu, sulit untuk mengucapkan kata-kata.
Ridho menunduk, ia tak sanggup menghadapi kemarahan Ayahnya kali ini.
"Kau harus pilih salah satu, Rania atau wanita itu!"
"Aku tak bisa memilih salah satu Ayah, bukankah poligami di perbolehkan?"
"Kamu serakah! Poligami itu benar, ketika menikah lagi dengan ijin istri pertama? Apa kau saat menikah lagi ijin sama Rania?
Ridho menggeleng lemah. Ia masih menunduk baru kali ini ia ketakutan menghadapi Ayahnya.
"Lepaskan Rania! Biarkan dia bahagia. Kau tak mencintainya kan?"
"Tapi?" Ridho mendongak. Tak rela ia melepas Rania. Saat ini merasa nyaman bila ada Rania di sisinya. Tapi ia bingung dengan perasaannya sendiri. Cinta atau obsesi?
"Tapi kenapa?" tantang Pak Sugeng. Ridho tak ingin melepas Rania atau Arini. Sebisa mungkin mempertahankan dua- duanya. Ridho tak bisa menjawab.
Ia kembali menunduk. Bingung jawab apa.
"Dah, Ayah yang putuskan. Kamu harus melepaskan Rania! Terus, kamu hanya memegang usaha mebel saja, usaha cat biar Ayah pegang!" ucap Pak Sugeng tegas.
Deg!
Ridho kaget dengan keputusan Ayahnya ini. Ini yang ia takutkan kalau Ayahnya sampai tau dirinya menikah lagi. Penghasilannya otomatis berkurang. Malah rumah yang satunya belum lunas? Huhftt. Ridho mengusap wajahnya kasar. Bagaimana aku membayar tagihan rumah? batin Ridho gusar.
Bersambung.