Pov Arini.
Jenuh Menunggu kabar dari Ridho, Di telepon tak diangkat, kirim pesan pun tak di baca. hanya mengabari sedang di RS menunggui Ayahnya baru saja operasi jantung. Aku Tak percaya begitu saja, pasti Ridho sedang bersama dengan wanita sialan itu. Rania.
Aku hamil anaknya Ridho, harusnya aku yang di prioritaskan? bukan perempuan itu!
Aku ke tempat kerjanya Rania di Bank Swasta kota ini. Berangkat pagi- pagi sekali naik ojeg online. Baru semenit sampai mobil Ridho ada di depan mata. Aku menyeringai saat melihat Rania duduk di depan bersama Ridho.
Benarkan dugaanku? Melihat Rania turun dari mobil. Langsung ku tampar wajah Rania.
Plak!
Puas melihat wajah Rania mengerang kesakitan. Beberapa orang juga mengabadikan di ponsel. Ku maki dia, dari raut wajahnya aku tau marah. Tapi Rania diam saja. Ia malah melangkah masuk, aku cekal tangannya. Tapi tiba- tiba suamiku turun melerai pertengkaran kami. Ia bahkan menyeret tangan lalu menyuruhku masuk mobil. Cemburu, juga sakit hati campur jadi satu.
Sekarang Ridho lebih membela Rania? Huhhft...
Ingin sekali Rania pergi dari kehidupan kami. Tapi Ridho susah melepaskan dia.
Di dalam mobil, Ridho memarahiku. Baru pernah lihat dia semarah itu padaku. Sedikit takut dengan bentakan dia. Ku diam saja, tapi amarah mengumpal di dada. bertekad pulang ke rumah orang tuaku. Aku ingin beri pelajaran untuk Ridho. Setelah turun dari mobil, aku langsung ke kamar. Membuka lemari menurunkan baju- baju. Menata di koper, tak pedulikan Ridho yang terus mengoceh melarangku pergi.
Hati bersorak girang, saat Ridho menahan tanganku. Tapi tak pedulikan, segera memesan taksi online. Setelah taksi datang, ia mencekal tanganku.
Aku mengibaskan tangan Ridho lalu masuk ke mobil. Sampai di rumah. Ayah dan Ibuku kaget melihat ku pulang bawa koper. Ia marah sama Ridho yang tak memperhatikan kehamilanku. Tapi belum sempet masuk kamar, kepalaku pusing banget. Pandangan mengelap. Untung Ibu menahan tubuhku hingga tak jatuh membentur lantai.
Saat membuka mata, aku berada di ruangan serba putih. Ku lihat Ayah,Ibu di sampingku. Mereka kompak tersenyum padaku.
Aku meraba perutku, alhamdulilah debay nggak apa- apa.
Aku bengong, memejamkan mata mengingat kejadian beberapa jam lalu. Pergi dari rumah Ridho. Bagaimana dia mau kesini?
"Mas Ridho nggak kesini Bu?" tanyaku mengharap suamiku datang itu mustahil. Tapi dia masih suamiku kan?
"Nggak Nak." Ibu menjawab datar, tapi mengelus pundak berusaha menenangkan. Meraih ponsel di tas lalu menghubungi suamiku. Amarahku sirna, saat ini ingin berdekatan dengan suami.
"Halo, ada apa?" sapa Ridho ketus.
"Mas tadi aku pingsan, sekarang di RS. Untung debayku nggak apa- apa."
"Aku segera ke sana." Ridho mematikan ponsel. segera ke RS, khawatir dengan keadaan Arini.
Bagaimanapun Arini sedang mengandung anaknya, mendengar ia pingsan Ridho khawatir anaknya kenapa- napa
.
Mendengar suami mengkhawatirkan ku. Hati ini bahagia. Semakin ingin memiliki Ridho seorang diri, tak ingin berbagi dengan Rania. Aku telepon lagi tak sabar melihat wajah suamiku.
"Kapan mas kesini?" tanyaku manja.
"Sabar ini lagi di perjalanan, 10 menit lagi mas sampai,"
"Ya udah, Hati-hati di jalan mas." Aku mematikan ponsel. Menyisir rambutku agar tak berantakan. Mengoleskan sedikit bedak.
"Kenapa sepuluh menit terasa lama ya?" gumamku.
"Ridho mau kesini?" tanya Ibu dan Ayah bersamaan.
"Iya Bu," ucapku senang. Tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Sepuluh menit kemudian Ridho datang membawa satu keranjang buah- buahan.
"Assalamualaikum, sapa Ridho. Kami serempak menjawab.
"Walaikum salam."
Melihat Ridho datang, Ibu beranjak lalu keluar dari kamarku. males melihat Ridho lama- lama katanya. Hanya Ayah yang di kamarku. Ia memang berniat menegur Ridho.
"Ridho, Istrimu itu sedang hamil. Tolong perhatikan dia! jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi!" Ayahku memperingatkan.
"Iya Ayah," jawab Ridho sambil mengangguk. Lalu Ayah keluar dari kamar, membiarkan kami berdua.
"Kamu tidak apa- apa, Arini?" tanya Ridho padaku. Senang di perhatikan suami seperti ini.
"Kata dokter Tekanan darahku rendah, juga nggak boleh stres," ucapku manja. Merebahkan kepalaku di dada bidang suamiku.
"Makanya mulai saat ini, kamu nggak boleh banyak pikiran ya sayang, cup." Ridho mencium keningku, lalu mencium perut yang terlihat membuncit. Kandungan ku saat ini memasuki usia enam bulan.
"Kalau mas menceraikan Rania, tentu aku tak akan kepikiran!" ucapku manja.
"Sudahlah Arini, jangan bahas itu lagi. Kamu mau makan buah apa, mas ambilkan ya." Aku langsung terdiam, kenapa Ridho susah sekali melepas Rania? Ia mengambilkan anggur dan menyuapkan di mulutku.
****
Pak Sugeng akan keluar dari RS. Ridho tak bisa menjemputnya saat ini lebih mementingkan menemani Arini di RS.
Pak Sugeng kecewa, sejak punya istri baru. Ridho lebih mementingkan Istri mudanya itu.
Pak Sugeng sampai di rumah. Lalu istirahat di kamar, menerawang jauh memikirkan masalah anaknya. Tak ingin Ridho terus menyakiti Rania.
Pak Sugeng menghubungi Pak Husen. Ingin Membicarakan masalah ini. Sebenarnya mereka tak mau turut campur dalam Rumah tangganya anaknya. Namun pernikahan mereka terjadi atas perjodohan mereka berdua. Merasa bertanggung jawab dengan kebahagiaan Ridho dan Rania. Pernikahan yang mereka laksanakan mengikat persahabatan menjadi sebuah keluarga. Tapi nyatanya tak seperti yang di harapkan.
Pak Sugeng menyambut Pak Husen hangat saat bertandang ke rumahnya. Mereka berpelukan, Pak Husen meminta maaf tak bisa menjenguk, ia tak tau kalau Pak Sugeng di rawat di RS.
"Gimana Sudah sehat Sugeng?"
Pak Husen memperhatikan raut wajah Pak Sugeng yang pucet. Mereka duduk di temani kopi dan roti kering.
"Alhamdulilah udah mendingan, Sebelumnya aku minta maaf, Husen. Gara-gara anakku Rania menderita," ucap Pak Sugeng sedih.
Pak Husen menghela napas pelan, ada kesedihan menjerat mereka berdua. Ini tak seperti yang di bayangkan. Anak-anak mereka terjebak pernikahan semu. Akhirnya Ridho selingkuh dan Rania menderita.
"Aku berharap Ridho mau melepaskan Rania, biar Rania mencari kebahagiaan sendiri, tapi tak ada berubah dari kita, tetep sahabat ya,"
"Pastilah," jawab Pak Husen mantap.
"Sebentar, aku panggil Ridho dulu." Pak Sugeng menghubungi Ridho. Panggilan tersambung tapi tak di angkat. Pak Sugeng mengulangi panggilan sampai tiga kali tapi tak di angkat. Padahal nomernya aktif.
"Kemana anak itu," gumam Pak Sugeng.
"Ridho kemana?" tanya Pak Husen.
"Tak taulah, paling lagi asyik dengan istri mudanya!" Pak Sugeng mengusap wajahnya kasar. Ingin rasanya menyeret Ridho kesini dan mempertanggung jawabkan perbuatanya.
Tak putus asa, Pak Sugeng mengirim c
Pesan WA ke nomer Ridho.
"Ridho, kamu harus menceraikan Rania. Ayah tak mau kamu menyakiti dia terus menerus." Send ke nomer Ridho.
Pak Sugeng dan Pak Husen melanjutkan obrolan tadi.
Setengah jam kemudian ada balasan pesan dari Ridho.
"Maaf Ayah, sampai kapanpun aku tak kan menceraikan Rania."
Pak Sugeng shock melihat balasan dari Ridho. Menurut Pak Sugeng, Ridho bener- bener egois.
Pak Sugeng bersandar, menghirup udara segar. Mengaliri jantungnya dengan udara. Membaca pesan dari Ridho jantung serasa berhenti berdetak.
Bersambung.