Waktu serasa berjalan lambat. Kami bertiga menunggu di depan Ruang operasi, perasaan cemas, khawatir menyelimuti hati. Wajah Bu Harti terlihat pias. Seakan menahan kesedihan mendalam. Ridho juga duduk di sampingku dengan kepala menunduk. Aku tak tau yang di pikirkan. Tapi yang pasti dia sangat down.
Aku menghela napas pelan melihat kesedihan di wajah mereka berdua. Seorang Dokter paruh baya keluar, terlihat ada keringat dahinya. Menandakan telah selesai melakukan tugas operasi.
"Dengan keluarga pasien?" tanya Dokter kepada kami bertiga. Ibu beranjak menghampiri Dokter, ada perasaan cemas menggelayut di hatinya.
"Saya Istrinya Dokter," ucap Ibu mertuaku.
"Operasi berjalan lancar, pasien akan di pindahkan ke kamar rawat. Tapi hanya dua orang saja yang menunggui, Pasien harus istirahat total." ucap Dokter paruh baya itu menjelaskan.
"Baik Dokter," Ibu mengiyakan nasehat Dokter. Ibu mertuaku sedikit lega mendengar keterangan Dokter. Kami bertiga juga sedikit lega mendengarnya. Setelah berbincang dengan kami, Dokter berlalu dari hadapan kami. Aku berharap Ayah mertuaku cepat sembuh. Dua orang Perawat membawa brankar menuju kamar rawat. Ridho masuk, aku mengikuti dari belakang. Ingin menengok keadaan Ayah.
"Mas,aku bawa buah. nanti di makan ya sama Ibu,"
"Makasih Rania,"
"Sama-sama, aku pulang dulu Mas, biarkan Ayah istirahat."
"Sebentar Rania," Ridho mencekal tanganku. Ia menatapku dalam. Seakan ingin mengetahui isi hati. Segera aku alihkan pandangan ke lain arah. Mendadak jantungku berdegup kencang. Tak ingin dia mengetahui deburan jantungku.
"Maafkan aku Rania, kumohon jangan menuntut cerai, Ayah sedang sakit, aku tak terjadi apa- apa sama Ayah," mohon Ridho memelas.
Deg!
Lagi-lagi demi Ayahmu kan? batinku ingin menjerit. Tak bisakah kah kau mengerti perasaanku sedikit saja? Aku segera melepaskan genggaman tangan Ridho. Baru saja hati terbuka sedikit saja, ia sudah menyakiti lagi. Mulai saat ini jangan berharap lagi cinta pada Ridho. Jangan salahkan artikan kebaikan dia selama ini. Semua ini demi Ayahnya.
"Nanti ku pikirkan Mas." ucapku ketus. Lalu segera pergi dari ruangan ini yang membuatku sesak.
Ku tutup pintu, mencoba menghirup udara agar pergantian udara di paru- paruku berjalan lancar.
Di bangku panjang, Ibu mertuaku sedang duduk.
"Bu, aku mau pulang," Pamitku pada Ibu mertuaku.
"Ko pulang? tanya Ibu mertuaku. Aku berusaha memasang wajah ramah walau hatiku galau.
menghela napas pelan sebentar, ku tatap wajah Ibu mertuaku yang mengharap kehadiranku di sini. Tapi aku tak ingin berada di sini. Ku putuskan pulang saja.
"Iya, Bu. belum mandi habis pulang kerja langsung ke sini." Aku beralasan padahal saat ini males berada di sini. Keluarga yang dulu ku anggap sebagai keluarga kedua, Tapi sekarang aku ingin menghindar dari mereka.
"Ooh, ya udah. Nanti kalau habis mandi ke sini lagi ya," Pesan Ibu mertuaku.
"InsyaAllah Bu." Tak ingin memperpanjang basa basi dengan Ibu
Aku langsung cium tangan takzim dan berlalu dari hadapan mertuaku.
Bu Harti kemudian masuk ke kamar suaminya. Ia masih tidur dengan balutan perban membungkus di antara dada kiri dan lengan. Kesedihan nampak jelas di wajah Bu Harti. Ia duduk di pinggir Bed sambil mengelus lengannya. Tak terasa air mata jatuh di kedua pelupuk matanya. Takut kehilangan Pak Sugeng melintas di di pikirannya. 'Cepat sembuh ya Pak,' gumam Bu Harti.
Terlintas dalam benak Bu Harti gelagat Rania yang tak biasanya.
Ia menghapus air matanya. Lalu menghampiri Ridho yang duduk di sofa memejamkan mata.
"Ridho, kenapa sikap Rania aneh ya? tanya Bu Harti pada anak sulungnya itu.
"Aneh kenapa Bu?" Ridho membuka matanya. Padahal ia sendiri pusing dengan tuntutan Rania yang ingin minta cerai darinya. Takut Ayahnya tau dan berakibat fatal pada kesehatannya.
"Ya aneh aja sikapnya, biasanya dia akan senyum lebar kala bincang sama Ibu. Tapi sekarang, dia seperti enggan sama Ibu, apa kalian bertengkar, Ridho?"
"Eng- ggak Bu. Mungkin Rania lelah," jawabku beri alasan.
Semoga Ibu tak membaca raut wajahku. Batinku.
"Jaga Rania, Ridho. Ia menantu yang baik. Jangan kau sia- siakan dia." ucap Bu Harti menasehati Ridho.
Tenggorokan Ridho tercekat. Meneguk ludah yang terasa pahit. Lidahnya terasa kelu. Ia beranjak, melangkah menuju brangkar.
berpura- pura menaikan selimut Ayahnya. Bu Harti heran dengan sikap Ridho barusan. Tapi ia tak menanggapi. lebih memilih mengambil tasbih dan berdzikir.
Ridho bernapas lega saat melihat Ibunya mengambil tasbih. Artinya Ibunya tak kepo dengan Rania.
Tangan Pak Sugeng bergerak, Ridho kaget, campur senang. Semenit kemudian membuka matanya.
"Ridho," kata Pak Sugeng tergagap. Ridho bahagia Ayahnya sudah sadar. Ia memencet tombol. Tak lama kemudian Dokter menghampiri mereka.
"Pasien sudah sadar. Tolong di jaga ya jangan sampai stres." Dokter menasehati.
"Baik Dokter," ucap Ridho semangat. Lalu Dokter pamit undur diri.
Ridho senang sekali Ayahnya sadar. Tapi Pak Sugeng terlihat sedih. Matanya berkaca- kaca.
Ingin bicara tapi dada sebelah kiri sakit. hanya bisa meneteskan air mata. Ridho heran Ayahnya mengeluarkan air mata. Ada apa denganya? Ia pun tak boleh menanyakan hal itu. sementara Ayahnya tak boleh terlalu banyak bicara dulu.
"Pak, jangan bicara ya, harus istirahat dulu," saran Bu Harti pada suaminya. Pak Sugeng ingin duduk bersandar. Ridho membantunya duduk. Ia merasa Tenggorokannya kering. Tapi tatapannya benci pada anak sulungnya itu.
"Ridho, ambilkan minum." Perintah Pak Sugeng. Padahal ia ingin menampar anaknya yang kurang ajar. Tapi tak berdaya. Terpaksa hanya bisa menahan dalam hati.
Ridho dengan sigap mengambil air mineral. Ia bantu Ayahnya minum.
Setelah minum Pak Sugeng kembali berbaring. Memejamkan mata. Lalu tertidur. Bu Harti bingung kenapa suaminya menangis?
"Ridho, kenapa Ayahmu menangis? tanya Bu Harti heran.
" Aku juga nggak tau Bu," ucap Ridho. Ia sendiri tak tau kenapa Ayahnya mengeluarkan air mata.
"Ya sudah, temani Ayahmu. Ibu mau beli makanan di kantin,"
"Iya Bu."
Bu Harti meninggalkan Kamar, ia berjalan menuju kantin RS.
Drrtt...
Ponsel Ridho Bergetar. Ridho keluar kamar mengeser panggilan.
"Ada apa Arini?" tanya Ridho ketus. Saat ini ia benar- benar tak ingin di ganggu Arini.
Suara Arini sangat semangat, ia kangen dengan suara suaminya namun malah. Tak di pedulikan.
"Mas di mana sih? Seharian nggak pulang? Aku kan pingin bubur! Jadi suami ko nggak peduli istrinya hamil!" ucap Arini sewot.
"Arini, Ayahku sedang di RS sekarang. Dia baru saja di operasi! Kamu bisa nggak sih mengerti hah?" bentak Ridho.
Arini langsung terdiam. Mendengar bentakan Ridho.
"Mas membentak ku? tanya Arini hampir menangis.
Ia lalu menutup ponselnya. Ridho menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya kasar. Memasukan kembali ponsel ke dalam sakunya.
"Isssh... Dia pasti marah." gumam Ridho.
Bersambung.