Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 21 - Irwan Terkejut

Chapter 21 - Irwan Terkejut

Tapi Irwan tidak menganggap itu lucu, wajahnya begitu serius dan dia diam sejenak sebelum kembali bersuara.

"Dosen? Siapa namanya?" Dahinya begitu jelas mengerut dan disimpannya batang rokoknya yang sudah tinggal seperempat lagi ke asbak.

"Pak Doni," balas Arsya tanpa beban.

Irwan langsung terperanjat. "Apa lo bilang? Enggak salah?"

"Apa yang salah? Gue enggak ngelakuin dosa apa-apa, Wan." Arsya menggoda temannya.

"Lo enggak salah 'kan? Bener dia Pak doni?"

"Iya, gue enggak salah. Temen-temen gue yang suka up to date Biografi dosen, yang bilang. Lo tahu kan kalau gue sendiri enggak begitu tertarik siapa dosen-dosen gue? Yang penting mereka ngajarnya bener, jelas dan kasih gue nilai yang gede. Emang Pak Doni juga ngajar di kampus lo?"

"Gue sulit percaya," ucap Irwan dan matanya membesar penuh ketidakpercayaan.

"Lo enggak percaya, Wan? Sama, gue juga. Gue enggak nyangka banget malah kalau si Salsa lebih demen ke Om-Om yang punya anak dua ketimbang memilih lo yang masih Fresh Graduate dalam bercinta." Ekspresi Arsya sedari tadi telihat bego tapi dengan senyuman meledek temannya sedang Irwan sangat menganggap ini adalah suatu perkara yang sangat serius.

"Bukan, Bro!" bantah Irwan dengan keseriusan mutlak.

Matanya seperti mencari-cari kenangan yang sudah lalu, begitu kosong dengan raut wajah menahan emosi.

Tangannya mengepal, Arsya tidak mengerti apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu, Arsya hanya berpikir kalau temannya—Irwan hanya tidak terima saja disia-siakan Salsa demi memilih seorang dosen beranak dua, Pak Doni.

"Lalu apa?" dengan santainya Arsya bertanya dan dia mengambil cangkir kopinya lagi untuk diminum.

"Pak Doni itu kakak iparnya Salsa," jelas Irwan.

Arsya tanpa sengaja memuncratkan minumannya, dia juga tersedak.

Bersegera Arsya mengambil tisu yang sudah tersedia di meja mereka dan mengelap bibirnya sendiri.

Temannya Irwan hanya acuh dan semakin berpikir apa yang tengah terjadi.

"Tuhkan, lo juga kaget," tambah Irwan tanpa memikirkan air yang sudah memuncrat ke meja dan sepercik ke bajunya itu.

"Bentar-bentar. Maksud lo, si Salsa didua sama kakak iparnya sendiri, Pak Doni? Gituh?"

"Bukan," balas Irwan sedikit lemas.

Dia masih tidak menyangka dengan informasi yang sudah disampaikan Arsya.

Walaupun Arsya tidak tahu pasti soal siapa Pak Doni itu. "Yang gue tahu, kakaknya Salsa sering sakit-sakitan. Mungkin dia sudah meninggal dan dinikahilah Salsa."

"Turun ranjang berarti?"

"Mungkin," balas Irwan tak bergairah tapi seketika rencana di kepalanya lewat begitu saja. "Lo mahasiswanya kan, mau tugas akhir kan lo? Dia dosen yang suka jadi pembimbing kan?"

"Iya, lo tahu betul tentang dia ya? Dan kebetulan dia dosen pembimbing gue. Beberapa riset harus sama dia, begitulah. Dia dosen hebat di kampus, banyak penggemarnya. Meskipun udah tua wajahnya masih ganteng sih, pantes kalau si Sal –"

"Cukup, jangan dilanjutin. Lo kayaknya seneng kalau gue tersaingi orang lain."

"Hehe, maaf." Arsya meminta maaf sambil menyembah-nyembah Irwan.

"Lo harus bantu gue."

"Bantu apa lagi? Ah bosen gue," elak Arsya tidak ingin repot-repot menguruskan kehidupan Irwan yang penuh dengan masalah percintaan.

Bagi Arsya, sudah memberi info itu juga sudah membantu temannya—Irwan agar dia tidak terus penasaran mengapa cintanya kandas tanpa kejelasan.

***

Intan resah, dia hanya tertuduk di tepi kasur.

Karin menghabiskan waktunya menyoret-nyoret buku, dia sangat suka sekali menggambar.

Karin selalu menggambar sosok keluarga tanpa ayah, hanya Intan, dirinya dan Sarah.

Namun, saat Irwan hadir dalam kehidupannya dia menambahkan Irwan.

Disebutnya Papa Malaikat Tanpa Sayap yang Sangat Tampan.

Sontak Intan dan Irwan saat itu tersenyum mendengarnya.

Melihat Karin yang anteng, Intan jadi semakin teringat beberapa moment indah bersama Irwan, lelaki itu sangat menyayangi Karin seperti anaknya, terlihat tulus tanpa embel-embel merayu karena sedang PDKT.

Irwan memang baik, tapi sayang dia tidak ditakdirkan untuk jadi ayah sambung Karin.

Intan beranggapan kalau orang baik seperti Irwan akan mendapatkan sosok yang lebih baik untuknya, tidak seperti dia.

Di tengah Intan masih melamun, menatap Karin penuh getir tapi senyumannya juga menyungging kala memori manis bersama Irwan lewat di benaknya.

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.

TOK! TOK! TOK!

Intan dan Karin menoleh bersamaan, keduanya saling menatap satu sama lain.

Dilihatnya jam dinding di kamar itu, masih jam empat sore karena baru juga Intan dan Karin selesai salat asar.

Itu tandanya, Mandar dan istrinya—Asri belum pulang.

Berarti yang mengetuk pintu adalah lelaki tua itu, Dedi.

"Iya, siapa?" tanya Intan, seraya menatap wajah Karin yang ketakutan.

Wajah Dedi yang terlihat seram, juga membuat anak kecil seperti Karin bisa merasakan aura jahatnya.

"Ma …," lirih Karin.

"Susttt, enggak apa kok Sayang." Obrolan mereka sengaja dipelankan agar Dedi di luar sana tidak mendengar.

"Intan, saya sudah belanja buat dipasak biar nanti anak sama menantu saya bisa langsung makan. Kamu mau bantu saya masak?" tanyanya cukup keras di luar kamar.

Intan dan Karin kembali saling memandang satu sama lain.

Karin mencegah Intan, tapi Intan sungguh tidak enak hati kalau dia menolak untuk membantu memasak bahan pasakkan yang sudah dibawa Dedi karena dia juga numpang tinggal dan Intan pun tidak membeli makanan sama sekali.

"Mama keluar dulu ya, Karin mau ikut?" ajak Intan agar dia juga tidak terlalu canggung jika Karin menemani.

Tapi Intan tidak memaksa karena dia melihat Karin begitu gemetar sekali.

Seperti dugaan Intan, Karin juga tidak mau mengikutinya dan menggelengkan kepala.

"Ya udah, Mama masak dulu." Segera Intan turun dari kasur setelah dia mengelus puncak kepala Karin.

"Intan, kamu bisa membantu saya atau tidak?" suara Dedi kembali terdengar.

Intan pun menjawabnya, "iya Om. Bentar."

Kemudian dibukanya pintu kamar, dan wajah Dedi begitu dekat ke pintu.

Seperti sedang menguping pembicaraan Intan dan Karin di dalam kamar, sampai-sampai dia terkejut karena Intan membuka pintunya tanpa aba-aba.

Dedi menyeringai kegirangan. "Hhehe, kirain kamu enggak ingin bantu saya dan enak-enakkan tidur di kamar," sindirnya membuat Intan tak enak hati dan juga serasa ada rasa tidak suka mendengarnya.

"Masak apa, Om?" tanya Intan tidak ingin mempermasalahkan sindiran Dedi tadi.

"Ini!" Dedi mengacungkan plastik hitam dan terlihat daun kangkung yang keluar dari lubang plastik itu dan sebagian yang lain tidak terlihat hingga Dedi menyebutkannya satu persatu. "Ada buat sambal, tahu dan tempe, ikan asin juga kangkung, Intan. Kamu pasti handal memasak, kan?"

Intan tersenyum kikuk. Wajahnya seperti wajah yang ditanam benang, sangat sulit tersenyum lebar.

"Tidak terlalu Om. Tapi kalau hanya memasak tahu, tempe dan kangkung, in sya alloh Intan bisa." Intan merendah.

"Harus dong, kamu kan udah berpengalaman berumah tangga," sindir Dedi lagi dengan senyum yang terlihat begitu menjijikkan bagi Intan.

Pikiran buruk pun menyergap Intan terus menerus. Dia paham betul senyum seorang lelaki centil.

Intan sering kali melihat senyuman itu dari para pelanggan Sarah jika Sarah membawa lelaki hidung belang para pelanggannya berkunjung ke rumah sesekali.

Intan tidak menggubrisnya dan hanya tersenyum saja tanpa minat dan tiba-tiba tangannyya ditarik oleh Dedi.

"Ayo kita ke dapur," ajaknya.

Intan segera menepis tangan kurang ajar itu dan tak segan menceramahi.

"Maaf Om, jangan pegang-pegang. Bukan mahrom."