Dedi terkejut dengan ucapan Intan barusan. Tapi senyum jahatnya masih bertahta seolah tanpa rasa bersalah sedikit pun karena sudah menyentuh tangan Intan tanpa izin.
"Maaf-maaf Intan, saya lupa. Berasa ngajak almarhumah istri saya dulu." Dia beralasan. Intan tahu itu.
"Sini Om, biar Intan aja yang masak."
"Oh ya udah, nih." Dedi memberikan keresek berisi bahan mentah untuk dimasak itu pada Intan, dengan sengaja dia memberikannya sembari menyentuh lengan Intan lembut dan sengaja juga dia perlambat.
Tapi Intan segera menariknya dan langsung berlalu ke dapur. Intan juga tak lupa menutup pintu kamar. "Yang enak ya masaknya, Sayang," Dedi menyemangati.
'Sayang?' Intan bergumam dalam hatinya, Dedi semakin menjadi-jadi pikir Intan. Intan harus waspada, tidak ada yang tahu lelaki itu akan berbuat apa selanjutnya.
"Ya Alloh, masak saja tidak tenang begini," gumam Intan sembari mengeluarkan bahan masakan yang tadi diberikan Dedi. "Orang yang baru keluar di penjara emang punya uang ya?" tanya Intan pada dirinya sendiri.
Intan tidak tahu Dedi punya uang di mana, mungkin juga hasil bayaran penyuruhnya yang masih dia simpan, pikir Intan.
Untungnya Dedi juga tidak mengikutinya ke dapur, dia duduk di ruang tengah sambil membunyikan televisi dengan nada tinggi.
Sembari Intan memotong-motong tempe, dia kembali bergumam, "apa Om Dedi sengaja mengeraskan televisi?"
Sungguh aneh sekali, pikir Intan.
Tapi Intan juga berusaha berprasangka positif kalau Dedi mungkin sedikit budek, maklum udah tua jadi dia butuh volume yang lebih keras.
Walaupun tidak masuk akal sekeras itu, tinggi volume seperti lagu di hajatan.
Sekalian saja menyalakan musik pakai speaker, itu jelas maksud dan tujuannya.
Ini malah nonton sinetron 'Kumenangis'.
Dedi tidak jauh berbeda dengan ibu-ibu rumahan yang suka film-film sendu yang banyak mengeluarkan tangisan.
Intan berusaha memasak dengan cepat dan tepat.
Dia juga terus melirik-lirik lawang penghubung antara dapur dan ruang tengah yang disekat dengan gorden saja.
Takut kalau Dedi datang dan kembali mengajak ngobrol Intan.
Dia sudah kelewat batas juga dengan berani menyentuh tangan Intan dan menyebutnya 'Sayang'. Sudah menampakkan perangai lelaki hidung belang.
Tiba-tiba, seseorang membuka gorden. Intan sangat terkejut, dia tadi bahkan melamun saat masak. Jadi, kedatangan orang itu sontak membuatnya kaget.
"Karin," seru Intan saat yang datang itu ternyata anaknya sendiri. Karin memegang handphone Intan dan disodorkannya seraya berbicara.
"Ma, Nenek Sarah telepon."
Intan pun langsung mengambil handphonenya dari tangan Karin dan mengecilkan kompor karena dia sedang memasak tahu yang sebentar lagi hampir matang.
"Assalamu'alaikum, Mbak?" Intan menunggu balasan dari si penelepon.
Hanya beberapa detik saja Sarah menjawab dengan begitu antusias sekaligus menanyakan kabar Intan yang baru setengah hari saja pergi dari rumahnya.
"Wa'alaikumsalam Intan. Kamu di mana sekarang? Udah dikontrakan baru? Kirim alamatnya dong ke Mbak."
Mendengar Sarah yang begitu antusias, Intan pun tertawa.
"Haha, alhamdulillah Mbak, Intan dapet tawaran kamar mess di pabrik. Tapi itu juga belum pasti sih, sekarang Intan lagi di rumah teman Intan."
"Alhamdulillah Intan, Mbak ikut seneng dengernya. Pabrik mana kalau boleh tahu?"
Intan kemudian membalik tahunya sambil tangan kirinya masih memegang handphone yang di tempelkannya ke telinga.
Karin masih berdiri di sampingnya sambil menyolek-nyolek tempe yang sudah matang.
"Kamu mau? Ambil aja," ucap Intan pada Karin.
Karin pun tersenyum riang lalu mengambilnya satu potong tempe.
Meniupnya pelan karena masih hangat. Intan tersenyum melihatnya, dia tahu kalau Karin pasti lapar.
"Maaf ya Mbak, Intan juga lagi masak. Iya Mbak alhamdulillah doain ya," Intan lanjut membalas lagi Sarah yang menunggu balasan darinya. "Itu Mbak, PT. Adiguna Garment Industries."
Sarah terdengar terkejut. "PT. Adiguna Garment Industries?" ulangnya lagi.
"Iya, Mbak. Memangnya kenapa?" Intan membalas Sarah dengan nada tinggi karena volume televisi cukup memekik telinga.
"Oh enggak Intan. Kamu jadi apa di sana nanti?" Sarah mengelaknya, dia sangat syok saat Intan bilang dia akan bekerja di sana.
Bagaimana tidak, itu adalah perusahaan milik suaminya.
Pewaris tunggal yang nantinya juga akan menjadi warisan anaknya.
"Itu kenapa berisik sekali di sana?" tanya Sarah sekalian.
"Jadi cleaning service Mbak, lumayanlah dapet kamar mess juga. Oh ini ada yang nonton televisi Mbak," balas Intan tidak enak, takut Dedi mendengarnya.
Saat itu juga, Dedi membuka gorden, dia tersenyum melihat masakan yang sudah hampir matang semua, hanya tinggal sambel yang harus digoreng setelah ikan asin yang juga sudah dibelinya tadi.
"Mbak, sudah dulu ya. Aku tutup teleponnya." Intan gugup, Sarah yang di ujung sana juga tahu kalau Intan sedang memasak.
Jadi tidak ada kesalahpahaman kalau Intan langsung menutup handphone-nya walaupun Sarah juga ada perasaan sedikit aneh karena terdengar suara Intan seperti tergesa-gesa.
Intan sangat takut karena Dedi menatapnya terus di dekat gorden.
"Sayang, simpan lagi ya handphone Mama ke kamar." Intan menyuruh Karin yang sudah melahap satu potong tempe dan sekarang sedang menjilati jari-jari tangannya.
Karin mengangguk, diambilnya handphone dari tangan Intan dan dia melewati Dedi dengan perasaan takut yang tidak bisa dia sembunyikan.
"Misi Om," ucap Karin tetap berusaha sopan seperti yang selalu diajarkan oleh ibunya.
Dedi tersenyum saja, sambil mengusap-usap puncak kepala Karin.
Setelah Karin pergi, dia pun mendekati Intan yang pura-pura sibuk tanpa ingin melihat wajah lelaki menyeramkan itu.
Intan mengangkat tahu dan ditiriskannya dengan serokan dan disimpan di atas wadah plastik agar minyaknya surut ke bawah.
"Hmmm," Dedi berdeham.
Intan acuh tanpa memedulikannya.
"Kamu sangat mahir masak ya Intan, terlihat sekali dari gerakkan tangan kamu. Sangat cocok untuk dijadikan istri."
Intan tersentak, dia sudah tahu alur maksud dari pembicaraan Dedi. Semakin tidak nyaman Intan dibuatnya.
Intan hanya tersenyum saja, dia tidak ingin banyak menanggapi.
Yang ada Intan hanya ingin segera selesai memasak agar tidak digoda terus olehnya.
Dedi kemudian mengambil sepotong tempe, dan dikunyahnya dengan ekspresi takjub karena tempe yang Intan masak sungguh lezat terasa di lidahnya, gurihnya pas.
Sembari mengunyah dan juga terus memuji-muji Intan.
Tapi Intan tetap acuh, Dedi kemudian meluncurkan pertanyaan yang mampu mengusik alam bawah sadar Intan lagi, yang tersimpan kenangan berdebu dengan penuh kegelapan yang juga berusaha Intan kubur dalam-dalam tapi selalu saja ada orang yang mengingatkannya kembali.
"Kamu bercerai dengan suamimu atau karena dia sudah meninggal?" tanya Dedi dengan penuh rasa penasaran.
Intan kemudian menatap wajahnya yang penuh rayu itu. Terlihat sok ganteng, pikir Intan padahal usianya sudah hampir bau tanah.
"Itu masalah pribadi saya, Om. Saya tidak ingin menceritakannya," balas Intan berusaha tetap masih sopan padanya.
"Oh oke. Nanti kamu bisa bercerita pada saya kalau kita udah menikah ya Intan," celetuk Dedi kembali membuat Intan terkejut.
Tapi lagi-lagi Intan tidak mau menggubrisnya sampai Dedi melanjutkan ucapannya kembali.
"Oh iya, walaupun sudah keluar dari penjara saya punya uang banyak, Intan. Cukup untuk ngehidupi kamu sama Karin."
Intan masih tidak ingin menjawabnya. Setelah ikan asin sudah diangkat, segera Intan memasukkan sambal untuk digoreng.
Dedi masih menunggu balasan, dia kemudian semakin mendekati Intan.
"Gimana, Intan?" tanyanya menggoda.
"Maaf Om," balas Intan begitu singkat.
Dia juga masih tak berani menatap lelaki itu, bagaimana Intan mau menerima dia yang usianya sangat jauh berbeda dan Dedi juga bekas seorang narapidana.
Apalagi kasus yang sudah menyeretnya begitu berat, dilihat dari sikapnya pun Dedi bukan orang yang menyesal dengan perbuatannya.
Lebih baik Intan tidak menikah daripada harus menikah dengan dia.
Intan begitu terkejut, saat tangan kotor lelaki itu menyolek dagunya.
"Om, jangan keterlaluan ya. Saya bisa laporin Om ke Mandar." Intan mengancam.
Dia sudah terlalu emosi sekali.
Terasa dianggap rendah karena statusnya sebagai seorang janda yang menumpang tinggal di rumah anaknya.
Tapi, tidak sepatutnya Dedi bersikap seperti itu.