Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 19 - Break!

Chapter 19 - Break!

Intan segera menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Dia bahkan sempat menyesal karena tidak menuruti kata-kata Mandar untuk mengunci pintu rumah.

Apalagi sekarang Mandar dan istrinya belum pulang, Intan sangat takut kalau Dedi yang baru keluar penjara itu macam-macam padanya.

Tidak ada yang bisa menjamin kalau orang seperti dia bisa taubat. Tandanya dia sering keluar masuk penjara tanpa kapok.

Karin ternyata sudah bangun. Dia mengucek-ngucek matanya dan wajahnya masih tampak layu. Sangat jelas kalau Karin tadi tidur dengan sangat lelap.

"Karin? Kamu mau salat bareng sama Mama?" Intan menawari.

Karin pun mengangguk. Intan kemudian menuntun Karin ke kamar mandi.

Intan masih was-was, ada perasaan yang masih ketakutan untuk berani keluar kamar, saat dia membuka pintu Dedi tengah tertidur di kursi dengan jaket levis yang masih dia kenakkan.

Badannya terlentang dan tangannya menutup wajahnya. Terlihat begitu lelah tetapi juga sangat menyeramkan menurut Intan.

"Mama, itu siapa?" tanya Karin yang tidak tahu menahu, tiba-tiba orang asing ada di rumah Mandar selain dirinya dan ibunya.

"Susttt, dia Om Dedi, ayahnya Om Mandar."

Karin paham, dia pun tidak banyak bertanya lagi. Keduanya mempercepat langkah mereka menuju ke kamar mandi.

"Ibu tunggu kamu di luar ya," ucap Intan dan Karin pun menutup pintu kamar mandi seraya menganggukkan kepala.

Intan melipat kedua tangannya di dada, menunggu Karin berwudhu dengan dadanya yang masih terasa cemas. Perasaan takutnya belum juga sirna, malah semakin menjadi.

Masih lama sekali pemilik rumah akan pulang.

Dia memikirkan nasibnya di rumah Mandar sekarang yang hanya ada dia, Karin dan orang itu. Karin juga sudah cukup lama di kamar mandi.

Sedang apa dia? Intan bertanya-tanya, hatinya semakin racau saja. Tiba-tiba juga, Dedi masuk ke dapur.

Ketakutan Intan semakin bertambah melihat wajahnya yang tersenyum pada Intan, bukannya terkesan ramah tapi itu justru membuat Intan takut.

Dia menyeringai dengan wajah lusuhnya yang acak-acakan karena baru saja bangun tidur.

"Eh Intan. Sedang apa?" tanyanya. Dia membuka setiap lemari dapur. Entah mencari apa, Intan tidak tahu. Intan tidak menjawab pertanyaannya dan hanya tersenyum saja.

Karin tiba-tiba saja keluar. Matanya membulat saat dia juga melihat Dedi yang melihat padanya.

"Dia anak kamu?" tanyanya seperti syok.

"Iya, namanya Karin," balas Intan. "Yuk, kalau udah." Intan menuntun Karin untuk segera kembali masuk ke kamar tanpa menghiraukan Dedi yang masih terus mengawasinya.

Hingga Dedi kembali bertanya. Membuat langkah Intan terhenti seketika.

"Ayahnya mana?"

Karin pun menatap ibunya yang sangat terkejut disodori pertanyaan itu.

Pertanyaan yang selalu membuatnya terluka, begitu sakit dan memori-memori masa lalunya berhamburan seperti puing-puing bangunan yang hancur.

"Dia –" Intan bingung menjawab apa di depan Karin. Jadi dia putuskan untuk tidak terlalu meladeni Dedi. "Maaf Om, kami mau salat. Waktunya udah mepet."

Intan pun mempercepat langkahnya masuk kamar. Setelah Intan masuk, wajah Dedi sumringah melihat bekas jejak-jejak Intan.

Ada sangkaan padanya yang akan memberi peluang pada seorang duda kesepian dan masih kekar, pikir Dedi. Seorang Janda, menurutnya juga akan mudah dirayu.

"Apa Intan sudah jadi janda? Kesempatan bagus nih," gumamnya sembari memegang dagunya sendiri dan tersenyum liar. Begitu liar dengan decak yang ingin disegerakan.

Di dalam kamar, Intan dan Karin memakai mukena mereka dan mulai menyegerakan salat dzuhur.

Hanya butuh waktu lima menit kurang mereka pun selesai menunaikan salat.

Karin menyalami ibunya, dan diciumnya kening Karin oleh Intan.

"Karin yang kuat ya, doain Mama biar cepet dapet kerja," ucap Intan begitu getir, tapi dia tunjukkan raut wajah ketegaran dan senyuman lebar sebagai bentuk pengajaran pada Karin.

"Iya Mama. Barusan Karin juga berdoa, buat Mama."

"Pinter. Ayo cepet lipat lagi mukenanya yang rapi." Karin pun menurut, segera dibukanya mukena yang menyelimuti tubuh mungilnya untuk segera ia lipat. "Karin emang doain apa buat Mama?" tanya Intan penasaran.

"Doain Mama biar cepet nikah sama Papa Irwan."

Intan terkejut, matanya membulat tak percaya dengan ucapan Karin yang terlontar begitu polosnya.

Intan juga tidak bisa menjawab Karin, dia hanya terdiam saja dengan senyuman sedikit terangkat di kiri dan kanan bibir sampai Karin pun memanggilnya. "Ma?" panggil Karin pada Intan dan masih melipat mukenanya yang belum ia lipat dengan sempurna.

"Iya? Apa, Sayang?" Intan juga masih melipat mukenanya dengan rapi.

"Mama sama Papa Irwan nikahnya kapan?" Wajah polos Karin begitu tergambar, dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. "Karin pengen cepet-cepet lihat Mama di pelaminan sama Papa Irwan. Pasti Mama sangat cantik dan Papa Irwan sangat tampan, seperti Princess and Prince."

Dia juga terlihat gembira melanjutkan ucapannya, membayangkan kalau ibunya seperti tokoh cerita-cerita dongeng yang hidup bahagia di akhir kisahnya.

Tapi, kehidupan tidak sesingkat dan semudah yang ditebak seperti cerita-cerita karangan manusia, pikir Intan.

Dia sangat membatin mendengar penuturan Karin yang berharap begitu besar dari hubungannya dengan Irwan.

Intan seperti dibunuh oleh pedang yang menusuk tepat di jantungnya.

Melihat wajah Karin yang sangat polos, membuat dia tak kuasa untuk menjawab anak itu dengan jujur.

Pikir Intan, seiring berjalannya waktu Karin juga akan melupakan Irwan.

Tak salah jika Intan sedikit berbohong padanya, tidak sepenuhnya.

Hanya mengelak dari pertanyaan Karin. Tidak mungkin Intan mengutarakan penyebab asli putusnya dia dan Irwan. Karin pasti juga terluka, lagipula dia tidak seharusnya tahu.

"Mama sama Papa Irwan enggak jadi nikah, Sayang," balas Intan sembari menumpuk mukenanya dengan mukena Karin.

Disimpannya kembali ke tas besarnya dan kemudian dia tutup lagi dengan rel sleting.

"Kenapa? Mama putus ya sama Papa Irwan?" Wajah Karin terlihat kecewa.

Dia begitu sayang pada Irwan yang sudah banyak membelikannya makanan, boneka dan sempat mengajaknya jalan-jalan bersama Intan.

Irwan menjadi pelengkap di tengah ayah aslinya tidak peduli padanya.

Intan tidak tega melihatnya, dia masih mempertahankan senyuman palsu itu yang sebenarnya di balik senyuman itu ada tangis yang ingin dia tumpahkan.

"Enggak. Mama dan Papa Irwan break dulu."

"Apa itu Break?"

"Break itu artinya, menunda pernikahan. Om Irwan masih banyak pekerjaan, Mama juga harus nyekolahin kamu dulu. Kita berjuang lagi dari nol ya. Kamu mau punya rumah, kan?"

"Mau Ma. Biar Karin bisa ajak temen-temen Karin ke rumah." Karin yang belum sepenuhnya mengerti sangat mudah dikelabui oleh Intan. Intan hanya tidak ingin anaknya tahu kalau selama ini lelaki yang sudah dia anggap Papanya sendiri tidak akan pernah menjadi Papanya. Sampai kapan pun.

"Iya, jadi Karin harus nabung ya. Hemat uang juga. Hemat kan pangkal pandai."

"Siap Mama cantikku," balas Karin bersemangat. "Tapi, apa Karin masih bisa berkunjung ke rumah nenek Sarah?"

"Iya, suatu hari nanti ya, Sayang."

Intan pun memeluk Karin, tak sengaja juga air matanya berurai membasahi pipinya dan buru-buru dia seka agar Karin tidak melihat. Hidup berdua di ibukota, harus membuat Intan lebih tegar dan terus berjuang lagi.

Demi masa depan Karin. Ia sudah tak peduli jika Intan harus menjanda selamanya, karena yang terpenting bagi dirinya hanyalah kebahagiaan Karin. Karin harus punya hidup lebih baik daripada Intan.

***

Arsya dan Irwan sudah berada di tempat nongkrong mereka.

Salah satu cafe yang menyediakan beberapa tempat yang beragam untuk bermacam-macam jenis orang.

Baik itu yang suka musik plus nyanyi, yang suka baca buku, yang suka nonton film atau bahkan yang suka main game.

Begitu lengkap, dan bahkan sebagian anak muda menyebutnya Base Camp mereka.

Irwan dan Arsya juga sama, menyebut cafe itu dengan sebutan Base Camp. Terasa milik sendiri.