Chereads / Bukan Seorang Budak / Chapter 11 - Gadis Cantik

Chapter 11 - Gadis Cantik

Dia mendengus kecil melihat selembar foto di tangannya. Ia memerhatikan wajah dalam foto tersebut dalam diam sambil mendengarkan perkataan anak buahnya yang sedang melaporkan hasil pengamatannya.

"Namanya Mutiara Dewi, usianya dua puluh lima tahun, bekerja sebagai seorang karyawan di toko sembako di desanya, dia putri tunggal dari pasangan suami istri bernama Maula dan Saminem yang beberapa hari lalu datang ke rumah, mereka adalah keluarga yang tidak mampu, para warga di desa mereka tidak ada yang peduli kepada keluarga tersebut. Terakhir kali, gadis itu bekerja sampingan di sebuah tempat hiburan dan hanya bertahan satu hari."

"Kenapa dia keluar?" tanyanya kepada anak buah yang sedang berdiri di sebelah kirinya.

"Saya tidak mendapatkan informasi tersebut, Bos, karena keluarga mereka tidak pernah bersosialisasi dengan warga desa yang lain. Gadis itu pun hanya berteman dengan seorang gadis seusianya yang rumahnya tidak jauh dari rumah mereka."

"Kamu tahu di mana dia bekerja?"

"Tahu, Bos."

"Antarkan aku ke sana."

"Siap!"

Dia lantas bergegas masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh anak buahnya tersebut. Mereka hendak mendatangi tempat kerja gadis bernama Mutia untuk memulai rencana yang sudah dia buat.

Setibanya di depan toko sembako yang dimaksud, dia membuka kaca jendelanya dan mengamati toko tersebut dari dalam mobil. Begitu dia melihat sosok yang sedang ia cari, lelaki itu lantas menyamakannya dengan foto yang ada di tangannya.

Wajah yang bersih, kulit sawo matang kekuningan, bibir tipis yang tidak dipoles apapun, pakaian kerja, sepatu sederhana yang sudah kotor karena sering dipakai, dan rambut sepunggung yang berwarna hitam sedikit bergelombang. Tentu saja foto itu sama persis dengan aslinya, tidak ada yang berbeda. Ia kemudian meminta anak buahnya agar tetap di dalam mobil, sementara ia memutuskan keluar dan mendatangi toko tersebut.

"Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Mutia ketika mendapati seorang pelanggan datang ke tokonya.

Lelaki itu menatap Mutia dalam diam, mengamati wajah gadis di hadapannya itu cukup lama. Ia tertegun melihat senyum yang tiba-tiba terbit dari wajah Mutia.

"Tuan mau beli apa?" tanya Mutia membuyarkan lamunanya.

"Saya hendak membeli sebungkus rokok," katanya yang kembali sadar dari lamunanya.

"Ini," ucap Mutia sambil mengulurkan rokok kepadanya.

"Berapa harganya?"

"Dua puluh ribu rupiah, Tuan," jawab Mutia sambil menerima selembar uang lima puluh ribuan. Ia bergegas menuju meja kasir dan membawa uang kembalian.

Sambil menunggu uang kembalian, ia membuka rokok yang barusan dibelinya dan menyulut satu batang. Mutia datang kemudian menyerahkan uang kembalian kepadanya. Tidak sengaja, ia menyemburkan asap rokok ke wajah Mutia yang menampilkan senyum ramah kepadanya.

"Terima kasih."

Tanpa meminta maaf atas ketidaksopanan tersebut, ia lantas kembali ke mobilnya, memberikan sisa rokok kepada anak buahnya.

Mutia tertegun melihat kepergian pria itu. Ia terbatuk-batuk menghidup kepulan asap rokok yang mengenai wajahnya.

"Kamu kenapa, Mut?" tanya Uni yang segera datang begitu mendengar suara batuk Mutia yang keras.

"Tidak apa-apa. Aku hanya tersedak asap rokok dari pelanggan yang datang barusan."

"Pria tadi kemari beli rokok?" Mutia hanya menganggukkan kepalanya. "Dih, ganteng-ganteng kok merokok."

Mutia membenarkan dalam hati. Lelaki barusan tidak terlihat seperti kebanyakan lelaki suku Jawa. Postur tubuh yang tinggi dan tegap, badan yang proporsional, kulit yang kuning langsat, dan jambang tipis yang tumbuh di sekitar dagu hingga mulutnya memberikan kesan bahwa lelaki itu bukanlah orang Jawa kebanyakan, tidak lupa hidung mancung dan sedikit besar itu menjadi poin utama dari lelaki tersebut. Mutia menduga bahwa lelaki itu berasal dari kota besar setelah menyadari bahwa kulit pelanggan tadi sangatlah terawat.

Ia mendesah, bahkan Mutia sekarang merasa minder dengan lelaki itu. Sebagai seorang perempuan ia bahkan tidak sempat memikirkan perawatan diri karena sibuk mencari uang untuk membayar utang.

Mutia kembali pada pekerjaannya dan melupakan kejadian yang baru saja ia lewati.

Lelaki itu kembali ke rumahnya dan menyimpan foto gadis yang baru saja ditemuinya dalam buku yang tergeletak di atas meja kerjanya. Dia tidak menyangka kalau gadis itu terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan foto yang terlihat sedikit pucat pada bibirnya. Ia bahkan tahu bahwa bibir gadis itu merah alami tanpa diberi apapun.

Bayangan senyum yang terbit kala gadis itu melayaninya tiba-tiba kembali hadir dalam kepalanya. Bibir tipis itu telah mencuri perhatiannya dan membuatnya ingin melihatnya sekali lagi.

"Akan kubuat dia jatuh hati kepadaku," gumamnya kemudian mengingat rencana awal yang telah ia rangkai sebentar lagi akan mulai dilakukan satu per satu.

***

Menjelang jam pulang toko tiba, Doni datang berkunjung ke tempat kerja Mutia. Gadis itu dan Uni terkejut melihat sebuah mobil parkir di halaman toko mereka. Dari dalam toko, mereka menunggu si pemilik mobil turun dan semakin terkejut melihat orang yang mereka kenal turun dari dalam mobil tersebut.

"Bang Doni?" sapa Mutia dan Uni bersamaan.

Lelaki itu tersenyum manis melihat dua gadis yang dikenalnya tengah terbengong melihat kedatangan.

"Aku ganggu ya?" tanyanya.

"Abang mau beli apa? Sebentar lagi toko akan segera tutup," kata Uni tidak menjawab pertanyaan Doni.

Doni menggeleng. "Aku tidak beli apa-apa, malah menunggu kalian pulang kerja."

Mutia dan Uni lantas saling pandang. Mereka terlihat canggung dengan kehadiran Doni yang memang belum terlalu akrab.

"Tumben, Bang?"

Doni mengiyakan. "Kita makan di luar yuk, aku yang traktir."

"Dalam rangka apa, Bang?" Kini Mutia bersuara. Ia menyambi merapikan barang-barang di etalase dekat Doni berdiri.

"Nanti kuceritakan maksudku, sekarang kalian tutup tokonya dulu ya. Kutunggu di mobil," ujar Doni yang kemudian masuk ke dalam mobil.

Uni menatap kepergian lelaki itu dengan kebingungan. Ia mendekati Mutia dan membantu sahabatnya itu. "Gimana, kamu mau ikut dia nggak?"

"Sejujurkan aku tidak mau, tetapi Abang Doni sudah menunggu kita. Mari kita selesaikan ini lebih dulu dan membicarakannya nanti."

Uni mengiyakan.

Mereka lantas segera memasukkan beberapa barang ke dalam toko dan menutupnya. Hari ini Mutia kebagian membawa kunci toko karena rumah pemilik toko yang jauh dari desanya dan tidak setiap hari bosnya itu datang ke toko.

Doni keluar dan membukakan pintu untuk mereka berdua ketika Uni dan Mutia selesai dengan pekerjaannya.

"Ayo masuk, aku tidak akan menculik kalian, kok."

Mutia dan Uni ragu, namun mereka segera masuk ke dalam mobil Doni dan duduk di bangku belakang.

"Abang mau bawa kita ke mana?" tanya Uni.

"Ke tempat yang tidak jauh dari sini. Kalian biasa makan di luar di mana?"

Mutia menggeleng, dia tidak pernah makan selain di rumah, sedangkan Uni hanya makan bakso langganannya karena gadis itu sangat suka dengan bakso.

"Ya sudah, kita makan bakso saja bagaimana? Tolong tunjukkan jalannya ya, Ni."

Mutia dan Uni pun setuju dengan pilihan tersebut dan menunjukkan jalan menuju tempat bakso langganan Uni.

Selang kurang dari sepuluh menit, akhirnya mereka pun sampai di tempat. Doni memesankan bakso spesial untuk mereka berdua dengan minum es jeruk manis. Mereka duduk di meja panjang yang berdekatan dengan tembok agar bisa mengobrol dengan leluasa.

"Terima kasih ya, kalian akhirnya mau kuajak makan," ucap Doni memecah keheningan.

"Iya, Bang, terima kasih kembali karena mentraktir kami," jawa Mutia. "Jadi, ada yang mau Abang katakan?"

"Iya, Mutia. Tujuanku mengajak kalian kemari adalah sebagai permintaan maafku beberapa waktu lalu. Aku sampai sekarang masih belum bisa tenang memikirkannya, makanya aku ingin mentraktir kalian. Siapa tahu dengan ini aku bisa melupakannya dan yakin kalau kalian sudah memaafkan kesalahan waktu itu."

Lelaki itu menerangkan maksud baiknya kepada dua gadis di hadapannya. Mereka terlihat memahami perasaan Doni dan mengatakan bahwa tidak seharusnya ia melakukan hal tersebut.

"Aku benar sudah memaafkan hal itu, Bang. Aku dan Uni akan terima traktiran Abang ini, biar Bang Doni bisa tenang ya," ujar Mutia.

"Loh, Abang tidak kerja, bukannya Abang kerja sampai malam ya?" tanya Uni menyadari kehadiran lelaki itu yang diketahuinya memang orang yang sibuk.

"Hari ini aku izin pulang lebih awal. Siapa sih, yang akan melarangku kecuali bos pemilik usaha itu?" ucapnya sambil terkekeh sedikit menyombongkan diri.

"Baiklah, Pak Manager," cibir Uni bergurau.

"Oh, iya Mutia, kalau boleh tahu kenapa kamu butuh sekali kerjaan sampingan, apa gaji dari toko masih kurang?" tanya Doni sedikit ragu. "Siapa tahu aku bisa membantumu dengan kamu bercerita mengenai masalahmu. Bukan maksudku ikut campur tetapi aku hanya ingin membantumu."

Mutia sejujurnya malu ingin menceritakan masalahnya, namun ia ingin sedikit terbuka kepada orang lain agar beban yang dipikulnya terasa ringan. Akhirnya, Mutia mengatakan semua hal yang terjadi pada keluarganya. Perihal utang dan pinjaman dari saudagar kaya yang beberapa hari lalu datang di saat belum masanya membayar bulanan.

Mutia mendesah. Ingin rasanya ia lekas terbebas dari utang-utang tersebut agar kehidupan keluarganya menjadi tentram tanpa harus memikirkan beban yang begitu banyak. Memikirkan esok hari mau makan apa pun sudah terasa berat bagi Mutia mengingat keadaannya yang tidak seperti orang lain.

Doni merasa kasian kepada Mutia. Gadis yang terlihat senyum setiap melayani pelanggan sebenarnya adalah gadis yang tengah dilanda banyak masalah. Ia lantas menawarkan sebuah ide yang terlintas di kepalanya.

"Bagaimana kalau kamu berjualan online?" tanya Doni setelah Mutia menyelesaikan perkataannya.

"Jualan online? Tetapi aku tidak punya modal, Bang, gawaiku pun belum canggih," jawab Mutia kemudian.

"Tenang. Masalah modal aku yang akan menyediakannya. Kuberi kamu modal untuk memulai bisnis kecil-kecilan, terserah kamu mau jualan apa yang penting daganganmu bisa laku dan banyak peminatnya. Dan masalah gawai, kebetulan aku ada satu gawai yang jarang kugunakan, kamu bisa pakai itu untuk jualan juga. Pulsa dan paketan data akan kukirim setiap bulan agar kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Bagaimana?"

Mutia dan Uni saling pandang. Ada rasa tidak enak yang terpancar dari mata Mutia. Ia ragu ingin menerima bantuan Doni. Sejak keluarganya berurusan dengan renternir, ia menjadi sedikit waspada menerima bantuan dari orang lain, apalagi ini kali pertama Mutia menerima bantuan berupa uang dari Doni.

Uni meraih tangan Mutia yang terdiam, ia meyakinkan sahabatnya agar mengambil tawaran Doni. Ia pun menjamin bahwa lelaki itu adalah lelaki baik karena ia kakak Uni berteman baik dengannya. Doni juga sering membawakan makanan ketika datang ke rumah Uni.

"Terima kasih, atas tawaran Bang Doni, tetapi Mutia minta maaf belum bisa menerimanya. Mutia tidak enak sama Abang dan takut kalau hal itu terjadi lagi."

Doni tertegun mendengarnya. Ia mengerti apa yang dipikirkan gadis di hadapannya itu.

"Aku tidak akan bilang kepada ibuku, jika itu yang kamu takutkan." Mutia pasti mengkhawatirkan hal tersebut karena peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. "Dan juga, aku tidak akan menagih modal yang sudah kuberikan kepadamu. Aku murni ingin membantumu menyelesaikan masalah. Kalau kamu keberatan dengan hal itu, baiklah, kamu bisa mengembalikannya sedikit demi sedikit saat daganganmu suka banyak yang laku. Bagaimana?"

Mutia sedikit berpikir. Uni berkata bahwa dia harus mengambilnya, tidak baik jika menolak rezeki dan bantuan orang lain. Akhirnya, gadis itu mau menerima bantuan lelaki tersebut.

Doni tersenyum senang mengetahui keputusan Mutia yang begitu tepat. Ia segera mengeluarkan uang dari dalam dompetnya lalu memberikannya kepada Mutia.

"Ini aku ada modal dua juta, kamu bisa menggunakannya untuk membeli dagangan, jika masih kurang aku akan memberimu lagi asal kamu bilang kepadaku. Oh iya, gawaiku ada di mobil, nanti kamu bisa membawanya. Di sana sudah ada nomorku, jadi kalau kamu ingin menghubungiki cari saja namaku di sana ya."

Mutia mengiyakan. Ia sangat senang bertemu orang sebaik Doni hingga membuat matanya berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis saat itu juga dan menghambur ke pelukan lelaki itu. Namun, Mutia urungkan pemikirannya, dia hanya berterima kasih kepada Doni yang disambut dengan senyuman hangat.

Bersambung ...