Chereads / Bukan Seorang Budak / Chapter 13 - Calon Suami untuk Mutia

Chapter 13 - Calon Suami untuk Mutia

Beberapa kali ini Maula bertemu dengan seorang pria muda yang membantu dirinya ketika kelelahan saat bekerja proyek. Pria itu menyuruhnya istirahat sejenak kala batuk Maula kembali menyerang, sedangkan pria muda itu mengambil alih pekerjaannya. Entah sudah berapa lama Maula memiliki sakit batuk karena akhir-akhir ini ia sering kali merasakan dadanya sesak hingga sulit bernapas. Dia bahkan hampir pingsan saat hari pertama batuk menyerangnya.

Awalnya, Maula tidak ambil pusing dengan batuk berdahaknya yang sangat terasa gatal di tenggorokan, toh hanya batuk biasa dan akan segera sembuh seperti biasanya. Namun dugaannya salah, beberapa hari setelahnya dia kembali batuk dengan intensitas yang cukup sering membuat pekerjaannya terganggu.

Maula juga sempat terkena teguran oleh mandor yang menangani pembangunan tersebut dan ia hanya bisa meminta maaf sembari izin untuk beristirahat sejenak.

Sejak hari itu, dia mengenal Ferian yang selalu membantunya kala penyakit itu kembali menjangkitnya. Pria muda itu bahkan membelikan obat batuk untuknya yang tidak berdampak apapun. Ferian menyatakan agar Maula pergi ke dokter saja agar bisa mengetahui penyakit yang dideritanya, namun ia menolak. Kondisi keuangannya tidak akan bisa mencukupi untuk biaya berobat.

"Nak Ferian, masih muda kenapa mau bekerja bangunan seperti ini?" tanya Maula dengan napas yang tersengal-sengal.

Lelaki itu tersenyum miring, "Apapun pekerjaannya, akan saya lakukan, Pak."

Maula mengiyakan. Dia salut kepada Ferian yang sudah bekerja keras sejak muda, berbeda sekali dengannya dahulu yang hanya membantu petani di sawah dengan imbalan yang tidak besar.

"Kamu sudah berkeluarga, Nak?" tanya Maula tiba-tiba.

Dia tengah berjalan bersama Ferian menuju rumahnya sepulang bekerja. Batuknya yang kambuh membuat lelaki itu iba dan berinisiatif untuk mengantarnya pulang. Sebenarnya Maula menolak, ia tidak mau merepotkan Ferian, namun lelaki itu memaksa. Dia takut hal buruk terjadi pada Maula ketika di jalan.

Ferian menggeleng sembari tersenyum.

"Usiamu berapa, Nak?"

"Hampir tiga puluh tahun, Pak," jawab Ferian sopan.

"Sudah ada calon?" tanya Maula lagi yang hanya mendapatkan gelengan kepala dari Ferian. "Kebetulan Bapak punya seorang putri, usianya dua puluh lima tahun. Sudah saatnya dia menikah tetapi belum ada calonnya. Apa kamu mau menikah dengannya?"

Ferian tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Tubuhnya mendadak berkeringat dingin, dadanya bergemuruh, dan sedikit bergetar. Dia berdeham guna menghilangkan rasa gugup yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Baru kali ini dia ditawari untuk menikah secara langsung.

"Tetapi Bapak bukanlah keluarga berada, Nak. Kami hidup serba kekurangan, ya setidaknya bisa makan setiap hari saja sudah senang. Kamu pasti tidak akan mau memiliki mertua seperti Bapak ini, 'kan?"

"Kenapa Bapak tiba-tiba bertanya seperti itu? Jujur, saya merasa gugup dan bingung untuk menjawabnya, Pak."

Maula menarik napasnya lelah. Batuknya sudah mereda dan dadanya kembali bernapas dengan bebas. "Bapak hanya ingin putriku satu-satunya bisa mendapatkan keluarga baru yang bisa membahagiakannya secara materi. Selama ini dia sudah cukup menderita. Di saat anak-anak seusianya bisa bersenang-senang, membeli barang-barang yang dia suka, tetapi dia sibuk bekerja keras untuk mencukupi ayah dan ibunya yang tidak tahu diri ini. Bapak sedih melihatnya seperti itu, ingin rasanya memberinya banyak uang agar dia bisa bahagia, namun keadaannya sangatlah tidak memungkinkan.

"Bapak sungguh menyesal telah membawa putri Bapak dalam keadaan seperti ini. Jika saja dulu Bapak sempat memikirkan hal ini akan terjadi, pastilah Bapak tidak akan membuat keluargaku menderita."

Ferian diam. Dia mendengarkan perkataan Maula dengan seksama.

"Nak, Bapak lihat kamu adalah pria yang baik dan mampu membahagiakan putriku, apa kamu mau menikahinya? Kamu bisa berkenalan dengannya lebih dulu jika mau mempertimbangkannya," ujar Maula lirih.

Ferian bergeming. Ia mengikuti langkah Maula hingga sampai di gubuk miliknya.

Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke pekarangan rumah Maula. Rumah kecil dari bilik bambu dan kayu yang sudah lapuk, atap yang banyak yang merosot dan jatuh membuat beberapa tempat terlihat basah meninggalkan jejak air hujan di sana.

Ia lantas duduk di bangku yang terbuat dari bambu di teras kecil milik Maula. Lelaki tua itu menyuruh istrinya untuk membuatkan minuman dan berkenalan dengannya.

"Saya Saminem, istrinya Bapak," kata Saminem sembari meletakkan dua gelas teh di bangku bambu.

"Saya Ferian, Bu," ucapnya memperkenalkan diri.

"Panggil Simbok saja, Le," ralat Saminem.

Ferian mengiyakan.

"Mutia belum pulang, Mbok?" tanya Maula kepada istrinya.

"Belum, mungkin sebentar lagi."

Ferian bercengkerama dengan Maula di teras rumah. Mereka membicarakan perihal pekerjaan, impian, dan juga masa depan. Maula merasa sangat cocok jika mengobrol dengan lelaki muda itu yang ia yakini Mutia pun akan berpikiran demikian.

Ferian adalah putra tunggal di keluarganya. Ayahnya selalu ke luar kota dan dia hanya tinggal bersama ibu dan saudara perempuannya. Selama ini Ferian pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita, namun hubungan mereka tidak pernah bertahan lama. Oleh karena itu, dia masih sendiri di saat teman-temannya sudah ada yang berkeluarga.

"Ndak masalah, toh, jodoh di tangan Tuhan, Nak Ferian. Kita ini hanya manusia, kalau diberi cepat ya diterima, kalau ndak yo kita bersabar," ujar Maula bijak, ia menepuk bahu Ferian pelan.

"Benar, Pak."

Lama mereka mengobrol hingga kepulangan Mutia. Gadis itu terlihat sangat lelah ketika memasuki halaman pekarangan rumahnya. Rasa lelahnya lantas segera hilang ketika melihat penampakan sosok yang terlihat tidak asing di matanya, namun rasa penasaran segera mengejarnya.

"Assalamualaikum," ucap Mutia yang lalu menyalami tangan Maula yang sedang duduk berdampingan dengan Ferian.

"Waalaikumsalam. Kamu sudah pulang, Nduk?"

"Sudah, Pak."

"Kenalkan, ini Nak Ferian, dia teman Bapak di proyek," ujar Maula sambil menoleh ke arah Ferian.

Ferian tersenyum, dia mengulurkan tangannya kepada Mutia.

Gadis itu sesaat terdiam, lantas cepat-cepat menerima jabatan tersebut.

"Mutia."

Dia merasa bahwa sebelumnya pernah bertemu dengan lelaki itu, namun ia lupa dimana karena bisa saja dia hanya berhalusinasi.

"Ya susah, Pak, Mutia ke dalam dulu ya," pamitnya kemudian.

"Iya, Nduk."

Setelah kepergian Mutia, Maula menanyakan perihal penampilan putrinya kepada Ferian yang masuk ke dalam kriteria calon istri lelaki muda itu atau tidak. Ferian sedikit malu diberi pertanyaan seperti itu, namun ia menepisnya dan segera mengiyakan. Dia tidak ingin terlihat bodoh dengan pertanyaan Maula, apalagi lelaki tua itu sebentar lagi akan jadi mertuanya.

Dia mendengus halus. Memikirkan hal tersebut membuat senyumnya mengembang sempurna.

***

Malamnya ketika makan malam bersama, Maula mengajak keluarganya berbincang bersama. Momen seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mendekatkan diri satu sama lain, saling terbuka dan memahami.

"Gimana, Nduk, jualanmu laris?" tanya Maula.

"Alhamdulillah, laris, Pak, ini semua berkat doa Bapak dan Simbok."

"Syukurlah kalau laris," ujar Saminem tersenyum.

"Kalau kita sudah bisa mengembalikan modal Nak Dion, Bapak mau kamu bahagia, Nduk."

Mutia mendengarkan ucapan ayahnya bingung. "Maksud Bapak apa?" tanyanya sambil mengernyitkan kening.

"Bapak mau kamu menikah."

Mutia terbatuk, ia tersedak air liurnya sendiri setelah mendengar ucapan ayahnya yang mengejutkannya.

Saminem dengan sigap memberikan segelas air minum kepada putrinya.

"Kok buru-buru, sih, Pak? Hutang yang sepuluh juta itu saja belum kita lunasi."

"Sudah. Bapak cuma mau kanu menikah, jangan pikirkan masalah utang Bapak dan Simbok, biar kami yang melunasinya. Sudah saatnya, Nduk, kamu berumah tangga, apalagi umurmu sudah matang. Iya toh?"

"Bapak sudah ada calon untukmu," lanjutnya kemudian menyadari bahwa Mutia hanya diam tidak menjawab.

"Maksud Bapak apa?" tanya Saminem. Ia hanya mendengarkan kata suaminya, namun bila didengarkan lebih lama semakin ngawur. Ia juga terkejut mendengarkan penuturan Maula, sama seperti Mutia.

"Nak Ferian adalah calon yang Bapak siapkan untukmu."

Mutia terkesiap. Mulutnya menganga dan matanya membulat. Ia benar-benar sangat kaget mendengarnya.

Bersambung ...