Mutia bimbang, hatinya tengah gundah. Di atas ranjang kamarnya, dia duduk bersandar dengan bantal yang diletakkan di pangkuannya, tangannya sibuk mengetikkan sesuatu pada gawainya, namun dihapus kembali. Pandangannya cemas, ia terlihat sangat ragu. Baru kali ini Mutia merasa dirinya tidak bisa membuat keputusan yang tepat, bahkan mulutnya serasa mengunci tidak mau bersuara.
Dia berdecak kesal. Ditatapnya layar gawai yang tidak ada satu pesan atau telepon yang masuk. Lelaki itu benar-benar memberinya waktu untuk berpikir seperti kemauannya siang tadi ketika pergi bersama Doni.
Doni datang ke toko menjemputnya, lalu mengajaknya makan bersama. Sebenarnya belum saatnya jam makan malam karena waktu masih sore hari, namun lelaki itu bilang bahwa dirinya belum sempat makan siang. Mutia lantas pergi dengannya, menemani Doni makan siang karena terlalu sibuk mengurus beberapa kendala di tempat kerjanya.
Seusai Doni menyelesaikan makanannya, mereka duduk sambil menikmati jus segar di sore hari sambil memerhatikan jalanan dari dalam restoran. Dan perkataan yang mengejutkan pun terucap dari lelaki itu.
"Mutia," panggilnya lembut. Entah hanya menurut pendengaran Mutia atau memang begitu, yang jelas suara Doni tidak seperti biasanya.
Mutia menoleh. Ia bertatapan dengan mata Doni yang berubah sayu, ada pancaran kelembutan di sana.
"Ada satu hal yang mau kukatakan kepadamu."
Mutia menunggu, dia tidak bersuara sebelum lelaki itu menyelesaikan perkara.
"Sejauh ini kita berteman membuatku sadar bahwa apa yang kurasakan bukanlah rasa pertemanan biasa," dia memberi jeda sejenak. "Aku suka kepadamu, Mutia. Entah sejak kapan perasaan ini tumbuh namun aku kini sadar bahwa kamu telah membuatku jatuh hati."
Tentu saja Mutia kaget mendengar pernyataan tersebut. Ia tidak menyangka kalau lelaki di hadapannya ini akan berbicara demikian. Mutia mengira bahwa lelaki itu akan membicarakan perihal bisnisnya atau bertanya tentang pekerjaan.
"B-bagaimana bisa?" Lidah Mutia terasa kelu, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Doni menggeleng. "Entahlah, aku baru menyadarinya beberapa minggu yang lalu, ketika aku berkunjung ke rumahmu. Dari sana aku menyadari bahwa aku tidak ingin kehilanganmu. Namun, aku ingin hubunganku dan kamu serius, Mutia. Apa kamu mau menikah denganku?"
Deg! Jantung Mutia serasa berhenti berdetak. Ia tidak salah dengar, bukan? Bagaimana bisa? Bukan! Kenapa dia bisa jatuh hati kepadanya? Mutia hanya gadis biasa yang tidak memiliki apa-apa. Bagaimana mungkin lelaki mapan yang berasal dari keluarga berada itu menyukai dirinya? Ah, pasti Doni sedang bercanda dengannya.
"Abang bercanda ya? Tidak lucu sama sekali." Mutia mencibir, bibirnya sudah maju beberapa senti.
"Kedengarannya seperti bercanda ya? Maafkan aku, ini pertama kalinya aku mengajak seorang gadis untuk menikah."
Mutia terdiam. Dia tidak salah dengar. Apa yang dia dengar adalah sebuah kenyataan dan dia harus menghadapinya agar berlalu. Mutia menatap mata lelaki itu yang sayu, ada raut kegelisahan serta gugup yang ia lihat darinya. Kini, Mutia bingung apa yang harus dia lakukan.
Di satu sisi, hatinya bersorak gembira, namun di sisi lain, hatinya berkata bahwa dia harus sadar diri bahwa Mutia bukanlah siapa-siapa. Lama Mutia berdebat dengan hati kecilnya membuat Doni menunggu jawabannya penuh kecemasan.
"Bang, berikan aku waktu untuk memikirkannya lebih dulu. Ini terlalu cepat untukku."
Doni mendongakkan wajahnya, menatap wajah ayu Mutia yang natural. "Apa kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku?" Ada sirat kecewa yang muncul di sana.
"Bukan begitu." Mutia menggeleng. Ia juga jatuh hati kepada lelaki itu, namun Mutia bingung apa yang harus dilakukannya. "Kumohon Bang, berikan aku waktu lebih dulu ya. Aku—aku sangat terkejut mendengar pengakuanmu ini."
"Baiklah. Aku akan memberimu waktu, hubungi aku jika kamu mau menerima lamaranku ini ya?"
***
Mutia mendesah. Tiba-tiba ia merasa sangat menyesal dan bersalah kepada lelaki itu. Baru saja ia juga mendengarkan sang ayah yang diam-diam telah mencarikan calon suami untuknya. Hal yang mengejutkan terjadi dalam waktu yang bersamaan, apalagi semua itu menyangkut masa depan dan kebaikannya.
Mutia benar-benar bimbang. Di satu sisi, ia ingin serius dengan perasaannya kepada Doni, namun sisi lain ia juga ingin berbakti kepada ayah dan ibunya. Sejauh ini, Mutia tidak pernah menolak semua perkataan ayah dan ibunya. Dia takut, jika ia tidak mau menikah dengan calon yang sang ayah pilihkan, Mutia akan jadi anak durhaka dan mempengaruhi kesehatan orang tuanya. Namun, ia hanya menyukai Doni saja, tidak yang lain.
Gadis itu akhirnya membuat keputusan. Dia akan mencoba berbicara dengan ayah dan ibunya perihal lamaran Doni dan mengatakan bahwa dia juga ingin menikah dengan lelaki yang disukainya itu. Ya, dia akan menolak tawaran sang ayah.
"Ada apa, Nduk, malam-malam begini kamu mengajak kami mengobrol?" tanya Saminem yang hampir saja tidur namun Mutia bangunkan agar tidak tidur lebih dulu.
"Ada yang mau kusampaikan sama Bapak dan Simbok."
"Apa itu, Nduk?"
"Sebenarnya ..." Mutia ragu hendak mengatakannya. Ia meremas rok yang dikenakannya dan bertekad kuat. Malam ini ia harus meluruskan semuanya. "Sebenarnya Bang Doni melamar Mutia tadi siang, Pak. Mutia mau menerima lamaran Bang Doni."
Maula dan Saminem terkesiap bersamaan. Mereka saling pandang dan mengelus dada. Sungguh kejutan besar yang mereka dapatkan.
"Jadi, Mutia mau menolak calon yang sudah Bapak siapkan untukku, Pak," lanjutnya lagi.
"Tidak!"
Mutia dan Saminem menoleh ke arah Maula bersamaan. Lelaki itu menolak dengan tegas dan sedikit marah.
"Kenapa, Pak? Mutia menyukai Bang Doni," tanya Mutia dengan mata yang berkaca-kaca.
"Sekali Bapak bilang tidak ya tidak! Bapak tidak setuju kamu menikah dengan lelaki itu! Harusnya kamu sadar, Nduk. Dia yang sudah membantu kita, memberimu modal untuk jualan hingga kita sedikit demi sedikit bisa melunasi utang kepada Pak Darmo. Sampai kapanpun Bapak tidak akan mengizinkanmu menikah dengannya. Dia sudah berjasa pada keluarga kita, jangan kamu tambah dengan menyerahkan dirimu kepadanya. Dia pasti akan sangat terbebani jika menikah denganmu, apalagi harus menanggung Bapak dan Simbok yang miskin ini!"
"Coba kamu pikirkan lagi, Nduk. Kita akan balas perbuatan baik Nak Doni dengan cara yang lain, tidak dengan kamu menerima lamarannya apalagi sampai menikah."
Maula berkata benar. Lelaki itu sudah baik kepada keluarganya dan setiap orang yang pernah dibantu oleh orang lain pasti akan memiliki rasa ingin balas budi, begitupun dengan Maula. Pria tua itu sudah bertekad bahwa dia akan membalas semua kebaikan Doni suatu saat nanti, tetapi bukan dengan menikahkan putrinya dengan lelaki itu. Biarkan Mutia menjadi milik orang lain, demi kebaikannya.
"Bapak menolak, Nduk. Katakan kepada Nak Doni bahwa Bapak meminta maaf kepadanya."
Maula lantas meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata. Saminem lantas segera menyusul suaminya. Wanita itu mencoba membujuk Maula agar memahami perasaan putri semata wayang mereka. Sedangkan Mutia terduduk diam sendiri dengan berlinangan air mata.
Bersambung ...