Sekarang, Miftah mencoba menghibur Karin dengan menceritakan hal-hal konyol yang pernah Bara lakukan dulu. Dan Karin sangat terhibur olehnya.
"Ingat, kan?" tanya Miftah pada Karin, "dia waktu itu belum jago main bola. Dan karena kalah terus, si Bara sampai mau bakar bola punyaku. Katanya, bolanya curang. Karena itu bola punyaku, jadinya si bola memihak pada pemiliknya." Miftah tidak akan pernah melupakan kekonyolan Bara dulu.
Bara memang egois. Tapi dulu, dia adalah orang yang bisa memberi hiburan tersendiri untuk Miftah dan juga Karin.
Karin terus tertawa. Karin juga ikut mengingatkan Miftah soal kejadian lucu lainnya yang pernah dialami oleh mereka bertiga dulu.
"Inget, inget. Konyol banget emang dia. Kamu inget juga gak pas si Bara jatuh? Dia nangis kenceng banget. Eh, ujung-ujungnya minta digendong sama kamu." Karin tertawa sambil memegangi perutnya yang sungguh geli.
Mengenang memory masa lalu, memang selalu menjadi cara ampuh untuk mengisi kembali energy diri. Nostalgia memang membuat rindu. Tapi, nostalgia juga turut mengembalikan kebahagiaan yang pernah berlalu.
Terasa hadir kembali.
Miftah tersenyum sambil memerhatikan wajah Karin yang ceria. Karin tak henti-hentinya menceritakan soal konyolnya Bara waktu kecil.
Miftah sangat senang melihat Karin yang bisa seceria ini.
'Aku rasa, kamu salah mengartikan perasaanmu sendiri, Karin. Sepertinya, orang yang kamu sukai itu bukanlah aku. Tapi, Bara.' Miftah bergumam dalam hati.
***
Pagi hari, saat mengantarkan Asih ke sekolah. Di mobil, Bara bertanya pada Asih soal kemarin.
"Lo gak bilang ke Ayah gue kan, kalau kemarin gue telat jemput lo?" tanya Bara dengan nada bicara yang menyudutkan Asih.
Bara melihat Asih dari kaca spion yang terpajang di tengah-tengah. Di depan. Di antara Bara dan Asih.
Kedua tangan Bara anteng memegang kemudi.
Asih lalu menatap Bara dengan sangat judes. Bara saja sampai terperanjat karena tatapan Asih itu.
"Kamu harusnya mikir dong. Kalau aku udah aduin kamu, pastinya Ayah kamu itu negur kamu kemarin. Tapi buktinya? Enggak, kan?" Asih tersenyum sinis lalu kembali memalingkan pandangannya ke depan. Ke jalan raya.
"Idih, biasa aja kali ngomongnya. Gak perlu nyolot gituh," protes Bara sambil tertawa. Sinis.
Bara geleng-geleng kepala. Asih memang semakin ke sini, semakin berani padanya.
Dan anehnya, entah kenapa Bara merasa aneh pada dirinya sendiri.
Bara mengulum senyum sebab menurutnya, wajah Asih jadi sangat lucu ketika marah.
'Kenapa wajah lo jadi imut gituh ya kalau marah?' tanya Bara dalam hati sambil melihat wajah Asih dari pantulan kaca spion.
Bibir Asih yang cemberut jadi semakin menipis. Dan menurut Bara, itu sangat terlihat imut sekali.
Dan tiba-tiba, suara dering handphone Bara berbunyi. Ada panggilan masuk.
Dan sungguh, panggilan masuk itu membuat Bara sebal.
Bara pun langsung mematikannya begitu saja.
Asih yang duduk di sampingnya itu, tidak tahu apa alasan Bara sampai menutup panggilan dari si penelepon dengan wajah kesal.
Dan Asih juga tidak ingin tahu.
Namun, dering handphone Bara kembali terdengar berbunyi.
Bara uring-uringan seperti orang yang kesurupan di pagi buta begini.
"Anji*ng! Mau apa sih si Miftah? Ganggu aja!" cerocos Bara marah sendiri.
Asih mendecak tidak suka dengan ucapan Bara yang keluar kasar barusan.
'Dia sinting kali ya? Gak jelas banget menggerutu gituh.' Asih bergumam dalam hati sambil memerhatikan wajah Bara yang sekarang merah padam.
Asih jadi semakin tidak mengerti kenapa Bara sangat membenci lelaki sebaik Miftah.
Sebenarnya, ada apa yang terjadi di antara mereka? Asih jadi bertanya-tanya.
Dan pikir Asih, sepertinya bukanlah salah Miftah. Tapi Bara-lah yang egois.
Pasti begitu.
Bara kemudian mematikan handphone-nya.
Bara benar-benar tidak ingin mengangkat panggilan telepon dari Miftah. Menurutnya, itu tidaklah penting.
Dan Bara juga bisa menebak apa yang akan Miftah bicarakan dengannya. Itu pasti soal kemarin.
Bara tahu Miftah akan menceramahinya. Selalu begitu.
Dan tiba-tiba, giliran handphone Intan yang bordering.
Tapi bukan dering pertanda ada panggilan masuk. Melainkan hanya pesan whatsaap.
Dan itu, dari Miftah.
Asih kaget. Refleks, Asih menoleh pada Bara.
Bara yang menangkap reaksi aneh Asih itu pun sungguh penasaran.
"Dari siapa?" tanya Bara ingin tahu.
Tatapan Bara pada Asih menyipit, judes.
Asih kemudian menelungkup handphone-nya menggunakan tangan kanannya agar Bara tidak bisa melihat pesan yang baru saja Miftah layangkan untuk Asih.
Dan sudah dapat Asih duga. Miftah bertanya soal Bara.
Begini pesannya:
"Asih, kamu lagi sama Bara kan? Masih di jalan? Aku mau tanya sama kamu. Tadi aku ngehubungi dia. Tapi malah dimatikan. Dan sekarang, aku mencoba menelepon dia lagi. Tapi gak bisa. Apa boleh aku telepon ke nomor handphone kamu ini?"
Suara Guntur seperti terdengar. Ada kilatan petir juga yang menyambar Asih.
Miftah mau menelepon ke nomor handphone-nya Asih?
Oh, tidak. Jangan sampai!
Jangan sampai Bara tahu kalau Asih memberikan nomor handphone-nya pada Miftah. Dan Asih juga sempat bertukar pesan dengan Miftah. Sepatah dua patah kata di kolom chat waktu pertama kali Miftah meminta nomor handphone Asih.
Miftah memang lelaki sopan.
Dia bukan lelaki yang terus-terusan mengirimi Asih pesan. Jadinya, Asih masih bisa merasa aman sebab jika sampai suaminya—Jajaka Purwa tahu kalau Asih menyimpan nomor lelaki lain. Biarpun itu teman satu sekolah.
Pastinya dia akan marah karena cemburu.
Dan menurut Asih, jika Bara tahu itu. Bara juga akan membongkarnya pada ayahnya—Jajaka Purwa.
Asih yakin kalau mulut Bara pastinya kayak ember bocor.
Dia akan senang jika dapat membongkar rahasia Asih. Apalagi, Miftah dan Bara juga tampak bermusuhan.
'Duh, kenapa sih punya anak tiri yang di sekolahannya banyak musuhnya?' Asih menggerutu dalam hati.
Asih kemudian membalas pesan dari Miftah itu dengan berusaha menyembunyikannya dari Bara.
"Lo chat-an sama siapa sih, hah? Lo selingkuh? Awas ya lo kalau selingkuh! Gue laporin sama suami lo." Bara mengancam.
Bara juga mencoba melihat handphone Asih. Tapi tidak berhasil.
Pertahanan Asih untuk menutupi handphone-nya itu sangatlah kuat.
Bara ingin tahu siapa yang sudah mengirimi Asih pesan sampai Asih tidak ingin Bara sampai melihat pesannya itu.
"Kepo!" Asih mendelik pada Bara. Sinis.
Lama-lama, Asih jadi mahir memasang wajah judesnya pada makhluk songong ini. Anak tirinya sendiri.
"Ish! Gue bukan kepo ya. Gue tuh bertugas mata-matain lo. Kalau lo macam-macam, gue gak bakal segan-segan laporin lo ke Ayah gue. Sudah tahu punya suami, masih aja merasa anak SMA normal kayak yang lain. Inget, jangan kecentilan! Lo nanti bernasib sama kayak si Famella." Bara menyindir.
Bara juga kembali mengingatkan Asih betapa kejamnya Jajaka Purwa jika dia dikhianati.
Jika sudah marah, tidak ada yang bisa mencegah.
Dan Asih terkejut mendengar sindiran Bara itu.
Asih yang baru mengetik satu kalimat 'jangan' di kolom chat-nya pada Miftah pun langsung menghentikan gerak jari-jemarinya.
Asih meladeni Bara.
"Apa maksud kamu? Jangan asal tuduh ya! Walaupun aku gak cinta sama Ayah kamu, aku tidak mungkin berani berselingkuh," ucap Asih dengan nada suara yang meninggi.