Asih harus mengatakan sesuatu seperti itu.
Karena menerima nasib buruk, sepedih ini, tidak mudah baginya.
Terlalu banyak unsur paksaan.
"Oke, Ash. Aku akan selalu berdoa. Kamu doakan aku juga. Semoga aku bisa punya pacar dan segera menikah. Hehehe." Nenek sedikit malu untuk mengatakannya.
Asih tertawa. Perutnya digelitik oleh kata-kata Neneng barusan.
"Kamu punya keinginan untuk menikah setelah lulus? Nggak rencana kerja atau kuliah dulu?" tanya Asih membenarkan keinginan Neneng.
"Tidak," kata Neneng tegas, "Aku sangat ingin segera menikah, Asih. Ayo, kamu juga tahu teman dekatku, itu kamu! Juga menikah." Nenek tertawa kemudian.
Nenek tidak bermaksud menyindir. Dan Asih juga tahu itu.
"Nasib kita berbeda, Neng. Saya harus. Sementara kamu? Kamu bebas. Anda dapat memilih apa yang Anda inginkan. Tidak seperti saya."
Asih kembali merasa sedih setelah membayangkan perbandingan dirinya dengan Neneng.