Ruangan itu sepertinya gudang buku yang sudah tidak terpakai, setelah dibersihkan sudah layak huni. Ibu Biyan merasa lega, paling tidak ia dan Biyan tidak harus memikirkan uang sewa untuk beberapa bulan ini.
***
Biyan baru saja pulang melihat isi rumah kosong ia sempat kaget lantas melihat-lihat kamar lain, memang kosong. "Kemana ibu? Kemana semua barang?" Ponsel Biyan berbunyi. Ibunya yang memanggil dari seberang sana.
"Ibu? Kau dimana?" tanya Biyan khawatir mungkinkah ibunya marah pada Biyan karena selalu membenci Riyu.
"Ibu mengirimkan alamat, kau datang kesana! Kita bicara nanti, sekarang ibu masih ada pekerjaan."
Panggilan berakhir Biyan segera bergegas menuju alamat yang ibunya berikan. Tadi dua orang membantu ibu Biyan berkemas juga mobil box yang dipersiapkan, sungguh ibu Biyan sangat bersyukur atas kebaikan tuan muda dan tuan besar tempat ia bekerja sekarang.
Biyan melihat tembok megah itu. Bahkan ujungnya tidak terlihat, gerbang besi di hadapannya masih tertutup rapat.
Tok!
Tok!
Tok!
Biyan mengetuk pintu kaca yang hanya sebesar wajah seseorang, lantas dari dalam ada yang bertanya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas itu ramah.
"Saya mau bertemu dengan, Elis. Pelayan rumah ini." Mengatakan kata pelayan rumah, rasanya Biyan teriris perih ibunya harus menjadi pelayan orang lain. Bagaimanapun Biyan berharap cukup ia saja yang kerja.
"Tunggu sebentar."
Tidak berapa lama pintu kecil yang ada di samping terbuka tidak jauh dari pintu gerbang utama. "Biyan." Ibunya memanggil.
"Ibu." Biyan berlari kecil menemui ibunya.
"Apa yang terjadi?" tanya Biyan.
"Rumah itu akan dipakai oleh saudara pemiliknya, jadi kita diminta untuk pindah."
Sesaat Biyan diam sama saja seperti pemikiran ibunya tadi, dapat dari mana untuk biaya sewa pertama.
"Aku cari rumah sewa baru." Biyan sudah mau pergi, sikunya ditahan Elis.
"Ibu sudah menemukan rumah baru untuk kita sementara waktu."
"Dimana?" tanya Biyan.
Elis menunjuk rumah megah itu. Biyan hampir saja membuka mulutnya.
"Kenakan pakaian rapi dan bersih, hormati setiap orang yang ada di sini"
Elis membawa Biyan masuk, baru saja membuka pintu belakang yang terhubung langsung dengan dapur. Sudah membuat Biyan tercengang, bagaimana tidak dapur itu super mewah dengan semua perabotan modern dan juga interior mewah berhias lampu-lampu kristal.
Biyan terus melangkah melewati dapur, sedikit mengintip ruang makan dengan meja makan panjang dan kursi berjejer. Layaknya restoran. Pintu kaca lebar yang memisahkan dua ruangan antara ruang makan dan ruang tamu.
Di ruang tamu Biyan sempan melihat seorang wanita elegan duduk sedang dilayani, di tangannya terdapat gelas ramping kemungkinan anggur.
"Jika ada hal yang bisa kau lakukan, atau melihat gelas kotor saat lewat. Bersihkan sebentar, bagaimanapun kita menumpang di rumah ini,"
Bian mengangguk, kamar yang ibunya persiapkan untuk mereka sudah rapi dan semua barang sudah tersusun rapai. Bedanya tidak ada lemari baju berganti lemari yang sudah disiapkan di sini.
"Disini ada dua tuan muda, nyonya besar dan tuan besar." Ibu Biyan sedikit berbisik, mendekati anaknya. "jangan bertanya tentang keluarga ini, kedua tuan muda berbeda ibu."
Biyan melihat ibunya tidak percaya. "Jadi anak pertama dari istri pertama dan kedua dari istri kedua?"
"Tidak. Tuan besar menikahi istri kedua dengan keadaan hamil, tapi itu menjadi rahasia keluarga ini darah siapa yang ada di anak kedua tidak ada yang tahu. Ibu dengar seperti itu, makanya keluarga ini tidak saling bertegur."
Biyan mengangguk duduk di dalam kamar itu sedangkan ibunya kembali bekerja.
***
Regina mengembalikan peralatan kebersihan ke lemari samping pintu masuk. Ia mengamati sekeliling, merasa pas akhirnya tidak ada lagi debu. Ruang tamu itu terasa lega. Hanya ada sofa berwarna hitam berhadapan dengan televisi.
Kamarnya berukuran cukup dengan jendela langsung menghadap pada matahari terbit. Regina sangat menyukai itu. Setelah mencuci tangan, Regina menuju pintu sambil merapikan ikatan rambut untuk mengambil barangnya yang dikirimkan terpisah di lantai bawah. Namun, suara ketukan dari luar lebih dulu terdengar.
Regina mengernyit. Siapa yang datang malam-malam untuk bertamu? Tidak mungkin pemilik apartemen, atau ingin mengucapkan selamat datang. Malam seperti ini?
Pintu tidak Regina buka seluruhnya masih ada rantai yang menahan. Di depan pintu ada kardus miliknya yang ingin diambil tadi. Berada di dalam tangan seorang laki-laki yang memandangnya datar tanpa ekspresi. Rupanya bahu lebar itu semakin menarik jika dilihat dari depan. Juga sepasang mata teduh tapi dingin yang menatapnya sekarang.
Regina berdehem. "A-ku baru ingin mengambilnya," ucap Regina. "Tapi-"
Kalimat Regina terpotong karena kardus itu disodorkan ke dalam pelukannya begitu saja.
Tatapan Riyu diam di mata Regina.
Belum sempat Regina berterima kasih, Riyu sudah berlalu menuju pintu di sebelahnya. Regina melangkah ke luar dan mengatakan, "terima kasih."
Entah suaranya terdengar atau tidak karena pintu Riyu sudah tertutup. Wanita mabuk itu benar, jika Riyu seperti bongkahan es besar.
Regina melihat kardus di tangan. "Dari mana dia tahu ini milikku?"
Regina kembali masuk ke apartemennya. Menaruh kardus di atas sofa untuk membongkarnya besok saja. Ia mengambil cangkir untuk membuat teh hangat, cuaca di luar semakin dingin.
Saat sedang sibuk dengan teko air panas, sebuah suara menghentikan gerak Regina. Tubuhnya kaku, ia memasang telinga, ingin memastikan sekali lagi suara itu benar ada.
Lalu suara itu terdengar kembali. Berasal dari lemari bawah wastafel cuci piring. Barang-barang di dalamnya bergesekan satu sama lain. Menimbulkan suara berisik semakin nyaring. Regina langsung berlari ke ruang tamu.
Jika di rumah ibunya, akan datang orang lain yang berurusan dengan suara itu. Tangan Regina mencengkram pinggiran sofa. Tapi saat ini hanya ada Regina. Ia baru saja bertekad soal mandiri, dan tidak takut akan suara di malam hari.
Ingin membuktikan jika dirinya bisa hidup sendirian adalah alasan yang membuat Regina melangkah lagi ke dapur. Napasnya tertahan saat mendekati lemari. Mengumpulkan keberanian untuk membukanya dengan ujung jari.
Namun di saat suara itu kembali terdengar, pertahanan regina langsung hancur dengan berteriak. Ia berlari ke luar. tidak tahu harus bagaimana, tapi yang dilakukannya adalah menggedor pintu di sebelah apartemennya.
"Cassandra... Sandra..." Regina berpeluh takut. "Aku butuh bantuanmu."
Pintu terbuka, bukan Cassandra melainkan Riyu. "Maaf aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Bolehkan aku bertemu Cassandra?"
Riyu diam saja mendengarkan racau ketakutan Regina. Ia malah bersikap santai dengan menyandarkan bahunya pada pintu. Ia lalu melihat ke dalam apartemen dan mengembalikan tatapan pada Regina
"Aku memiliki sedikit masalah. Ada sesuatu di lemari dapurku. Aku rasa itu tikus."
"Maaf, aku mengganggu kalian." Sambungnya lagi, tapi ini benar-benar darurat membayangkan jika tikus itu berkeliaran saat ia tidur dan mungkin akan mengerayangi kaki. Regina kegelian hanya dengan membayangkan itu.
Riyu menutup pintu dengan dirinya berada di luar. Tanpa suara menuju pintu apartemen Regina.