Chereads / BABY DOLL / Chapter 7 - Wanita yang Menarik

Chapter 7 - Wanita yang Menarik

Biyan sempat mencari keadaan untuk menghindar dari Rex andai ada pelayan lain dan tidak ada bos yang memperhatikan saat Biyan masih diam padahal ada pelanggan yang memanggil.

Perlahan akhirnya Biyan mendekat. "Ada yang anda butuhkan, Tuan?" tanya penuh kehati-hatian.

"Setelah ini kau kemana?" tanya Rex. Katakanlah ia gila, saat semua wanita dewasa menginginkan menjadi partner ranjangnya dan Rex malah tertarik pada anak kecil, oohh… astaga mungkinkah Rex memiliki kelainan...

"Aku? Mmm... Biyan menunjuk dirinya kebingungan. Aku kerja paruh waktu di makanan korea," tuturnya ragu.

"Mana ponselmu?" tanya Rex menengadahkan tanganya.

"Aku tidak mengenalmu, Paman," Biyan tidak akan memberikan ponsel yang tengah ia genggam.

"Kau akan segera mengenalku, mana ponselmu." Rex langsung mengambilnya di tangan Biyan, lantas mengetik nomor nya untuk memanggil setelah nomor Biyan masuk Rex mengembalikan ponselnya.

"Apa apaan kau, ini mencuri namanya?" Hardik Biyan melotot dengan mata bulat terang.

"Pencuri? Kau yang mencuri, Baby," ujar Rex langsung meninggalkan Biyan. Pekerjaan brengsek ia harus menghadiri pertemuan itu padahal Rex masih ingin menikmati pemandangan saat Biyan membersihkan meja atau saat ini tersenyum melihat pelanggan yang datang.

Jet pribadinya sudah siap sejak tadi untuk membawa Rex ke Manhattan untuk perluasan bisnisnya. Tapi secepat mungkin Rex akan menyelesaikan pekerjaan itu lantas kembali.

"Ini agenda meetingnya, Tuan." Baru saja kaki Rex turun dari mobilnya sudah disambut asisten dengan lembaran berkas yang sudah rapi, siap untuk Rex baca jika tidak sesuai semuanya akan diperbaiki di atas pesawat yang membawa mereka.

"Bagaimana dengan tugas yang aku berikan?"

"Sudah siap Tuan." Nolan memberikan lembaran biodata Biyan. Rex melihatnya seksama sampai dengan pesawat lepas landas.

"Wanita itu punya kakak yang tidak berguna," ujar Rex.

Javier yang menutup matanya dengan penutup mata siap untuk tidur kembali menegakkan tubuhnya. "Wanita yang mana? Rasanya tidak ada wanita yang kau kenalkan padaku akhir-akhir ini?"

Javier kembali berujar dengan melipat tangan di dada. "Sosok yang berkuasa sepertimu bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan, reputasi sebagai pengusaha muda sukses sudah menyebar ke seantero negri. Umur 20 tahun kau sudah memiliki perusahaan properti dan keberuntungan selalu berpihak padamu seakan tangan dingin yang kau miliki menjadikan semua lini sukses," puji Javier.

"Lantas, apa yang kau cari lagi?" tanyanya lagi melihat Rex.

Rex bukan tidak mengetahui akan dibawa kemana pembicaraan ini, "kenapa?"

Javier berdecat. "Oh, astaga! Kau justru malah bertanya balik. Apa masalahmu Rex?"

"Tidak ada," Rex merebahkan dirinya di kursi.

"Oh, benarkah? Harus aku perjelas. Lupakan!" Javier tidak ingin membuat singa itu marah. Tapi mulutnya terasa gatal ingin kembali berkata. "Ngomong-ngomong, kau seperti banyak pikiran?"

"Ya, meeting siang tadi dan pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Aku ingin refreshing sejenak menikmati pemandangan sore hari."

Alis Javier terangkat tidak biasanya pria itu mengandai. "Mmm… aku yang bodoh tidak bisa mengartikan maksudmu atau kau sedang berandai menikmati sore dengan wanita?"

Sialan, tebakan Javier memang benar. Keduanya sama-sama diam. Sesaat Rex memejamkan matanya seketika wajah gadis itu kembali muncul, Rex meraup wajahnya seakan tengah dihantui rasanya ia tidak memiliki dosa.

"Berapa usiaku sekarang?" tanya Rex.

Javier yang mendengar itu semakin heran membuat denyut kepalanya bertambah. "Kau bertanya padaku? Baiklah, 40 tahun jika aku tidak salah menghitung. Kau sudah bekerja ketika memungut aku dari kampus."

Rex terdiam usianya tidak lagi muda pantaslah Biyan memanggilnya paman.

"Apa aku sudah terlihat tua?" tanyanya lagi seakan pria ini sedang membutuhkan dukungan moril.

"Jika dilihat dari luar tidak akan ada yang tahu kau sudah tua," Rex memelototkan matanya. "Tapi kau tampan, tidak ada wanita yang bisa memungkiri itu," sanjung lagi Javier. Sepertinya sahabatnya ini mulai mengalami kemunduran mental biasanya Rex adalah laki-laki yang tingkat kepercayaan dirinya 101 persen soal pesona dan bisa diakui deretan wanita dari berbagai kalangan yang pernah menghangatkan ranjangnya. Bahkan kabarnya ia pernah berkencan dengan salah satu putri dari kerajaan Inggris yang hubungan itu disembunyikan.

Javier tahu bagaimana putri itu tergila gila pada Rex.

"Kau ingin membuat wanita-wanita itu patah hati, kapan status single itu berubah?" tanya Javier.

"Pertanyaan yang tidak penting," Rex menggeser tubuhnya agar lebih nyaman untuk tidur sekalipun mungkin sulit, ia sangat ingin cepat kembali.

"Sebelum wanita-wanita itu berubah pemikirannya, lebih baik segera kau cari. Mereka sangat seksi, cantik apa lagi yang kau cari? Putri Inggris itu apa lagi, kau tidak akan menyesal hidup dengannya."

Rex semakin tidak suka membahas wanita itu atau yang lainnya. "Kalau kau mau, kau saja yang dekati!" ujarnya masih memejamkan mata.

"Aku ingin, mereka yang tidak mau padaku,"

Rex bersemu tersenyum hal yang paling jarang dilakuka. "Kau tersenyum? Nampaknya suasana hatimu sangat baik, hari ini?"

"Diamlah! Aku ingin tidur, aku tidak ingin memiliki kantung mata jadi terlihat lebih tua."

***

Biyan tertidur di meja belajarnya dengan buku tugas yang terbuka, baru selesai dikerjakan. Hari sudah larut baru saja Biyan pulang lantas belajar.

Ibu Biyan melihat putrinya begitu kelelahan, rasanya teriris pilu merasa menjadi ibu gagal untuk kedua anaknya. Ibu Biyan membereskan lembaran kertas satu lembar terjatuh ternyata surat pernyataan dari sekolah disana tertulis universitas mana yang akan Biyan masuki.

Kolom disana kosong. Ibu Biyan menutup mulutnya pilu. Lantas pertanyaan berikutnya setelah lulus sekolah apa yang akan kamu lakukan? Biyan menjawab 'mencari pekerjaan'

Rasanya hati seorang ibu pilu sampai detik ini ia belum juga mendapatkan uang untuk biaya masuk universitas. Riyu pun sama tidak ada yang bisa diandalkan maka dari itu ibu Biyan tidak marah pada kakaknya, semuanya sama menginginkan keuangan berlimpah hanya cara yang Riyu gunakan salah.

Tapi sekarang ibunya patut bersyukur Riyu kerja di sebuah kafe. Semua alat sekolah Biyan dibereskan lantas sang ibu perlahan memapah anak gadis itu untuk berbaring di ranjang kecil miliknya.

***

Sudah dua jam yang lalu Riyu melihat seorang wanita yang duduk muram di dalam kafe tempat ia bekerja, sudah jelas wanita itu baru saja patah hati. Terlihat dari dandanan dan kue yang dibawa, wanita itu baru saja menghadiri acara ulang tahun kekasihnya tapi mungkin malah menemukan kekasihnya bersama wanita lain.

Dengan apron coklat yang dikenakan Riyu, ia mendekati wanita itu. "Apakah ada yang ingin kau pesan?" tanya Riyu bersiap mencatat pesanan wanita itu.

Pertanyaan itu didengar wanita itu, terlihat ia semakin mengerutkan kepala ke dalam sikunya, tapi wanita itu tetap bungkam dengan tangan terjalir di atas meja. Riyu bisa melihat wanita itu kedinginan karena gaun yang tidak cukup tebal sedangkan salju sudah mulai turun.

"Setidaknya kau bisa memesan minuman. Duduk di sini selama dua jam pasti cukup melelahkan."

Akhirnya wanita itu mendongak. Riyu tersenyum ramah khas pelayan kafe menyapanya. Riya tidak akan keberatan jika pun harus menunggu wanita itu berpikir semalaman sebelum memutuskan ingin memesan apa, tapi pemilik kafenya bukan Riyu.

Wanita ini pasti baru pertama kali datang, wajahnya asing bagi Riyu. Mungkin saat patah hati wanita ini berjalan jauh tidak tentu arah dengan sandal tingginya sampai membuat kakinya lecet, masih belum ada jawaban sedangkan bos Riyu masih terus memantau keadaan. Riyu berpura-pura mencatat sesuatu lantas pergi meninggalkan wanita asing itu.

Wanita itu melihat kepergian punggung Riyu. "Pelayan kafe saja tidak mau berlama-lama denganku, akhirnya pergi." Atau mungkin sebentar lagi wanita sepertinya akan diusir keluar, entahlah wanita itu tidak peduli lebih memilih untuk kembali membenamkan kepalanya dalam lipatan tangan atau jika bisa terbenam pada dasar bumi.

Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya mencium wanita lain disaat ia membawakan kue dan berdandan habis-habisan hanya ingin memberikan kejutan dihari ulang tahunnya. Nyatanya ia yang terkejut melihat adegan kekasihnya sendiri. Saat ini ia hanya ingin diam saja.

Di tengah lamuna wanita itu, secangkir teh tiba-tiba disuguhkan di hadapannya. Belum sempat wanita itu bertanya itu milik siapa karena ponselnya kembali bergetar, oleh panggilan dari kekasihnya.

Oh, mantan kekasih.

Melihat nama kekasihnya itu di ponselnya membuat ia muak. Ia meremas ponsel dan meletakkannya ke telinga.

"Regina, Regina... Astaga. Akhirnya kau menjawab teleponku. Dengar! Apa yang kau lihat tadi bukanlah yang sesungguhnya. Itu semua adalah kesalahan."

Regina meremas tangan di atas meja. Menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis. "Kau menciumnya, sialan. Kau memeluknya. Kau! Bukan wanita itu!"

"Aku jelaskan, sayang. Di mana kau sekarang? Aku akan menjemputmu. Kita akan membicarakan ini bersama dan menyelesaikannya. Seperti yang biasa kita lakukan."

Regina merasakan hatinya semakin sakit mendengar suara mantan kekasihnya. Tidak ada kata yang sanggup keluar. Juga tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan mantan. Regina mengabaikan permohonan di sana, lalu menonaktifkan ponselnya.

Hatinya terasa semakin dingin, juga kaki dan telapak tangan. Dengan tangan gemetar Regina meraih cangkir di hadapannya dan menyesap teh dengan rakus.

Regina menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Ia ingin menangis. Sekali saja. Agar sakit hatinya terluluh lewat air mata. Tapi seberapa kuat ia mencoba hasilnya sia-sia.

Masih dengan ponsel menelungkup, Regina mengumpat. Tangannya terkepal. Sepertinya lelah akibat seharian menyiapkan kejutan ulang tahun untuk kekasihnya membuatnya menutup mata.

Masih bisa didengarnya suara-suara di dalam kafe. Pintu yang terbuka lalu tertutup lagi. Gelas-gelas yang bersentuhan lembut berbunyi. Hingga suara kursi di seberang mejanya bergeser, Regina sudah benar-benar sudah tertidur.

Setidaknya Regina sudah tidak merasa begitu kedinginan lagi.