"Ramen dua!" Romeo sangat mengenal kebiasaan Aurora yang masih saja segan menerima apa yang diberikan, terkadang Romeo harus diam-diam memberikan uang pada ibunya untuk biaya ayahnya yang sakit-sakitan.
"Kau dipanggil Rektor, sebelum pergi naik dulu!" ujara Axel.
Dua hal yang tidak pernah Romeo lakukan? Belajar dan masuk kelas, lalu untuk apa ia ke kampus? Untuk melihat Aranya.
"Ada urusan apa? Aku tidak perlu penghargaan dari kampus atas semua prestasiku," cibir Romeo.
"Aku tidak bertanya, katanya panggilan itu sudah satu Minggu yang lalu tapi kau tidak juga datang." Axel kembali mengunyah makanannya.
Aurora melihat tajam pada Romeo. Dibalas kedipan mata. "Tenang." Kata Romeo.
***
Aurora sudah kembali ke kelasnya tadi, dan Romeo tidak pernah absen mengantarkannya sampai duduk di kursinya dan mengulur waktu bermesraan di dalam kelas. Sekalipun sudah Aurora peringatkan untuk berhenti melakukan itu. Romeo tetap saja melekat padanya sampai dosen datang barulah ia keluar. Paling setelah itu Aurora harus menebalkan kupingnya atas sindiran gadis lain mulai terdengar.
Deretan kelas hening saat langkah kaki Romeo sendirian menuju ruangan rektor. Terkadang ia mengorek kupingnya, rasanya gendang telinganya harus segera bersiap mendengarkan jutaan kata-kata mutiara sampai akhirnya Romeo ingin muntah dan keluar begitu saja.
Romeo menggerakkan tangan nya membaca satu demi satu papan nama yang melekat pada bingkai pintu. Saat ada tulisan rektor, Romeo bersiap.
Tanpa mengetuk, Romeo membuka pintu itu lalu tatapannya langsung bertemu dengan seseorang yang tengah melipat tangan. Rambutnya sudah tidak lagi berwarna hitam. Rektor itu menarik napas berat lantas menuju tempat duduknya.
Romeo masuk tanpa terlihat ketakutan atau merasa bersalah seperti mahasiswa lain, jika masuk ke sini berarti mereka memiliki masalah dan bersiap memohon pengampunan.
"Duduk!" perintah Rektor itu.
Romeo menarik kursi, siap mendengarkan puisi.
"Apa saya harus terus melibatkan Ayah kamu untuk memanggil kamu datang, saya tahu Ayah kamu sangat berharap besar pada kampus ini agar bisa membimbing kamu lebih hebat dari dia. Tapi apa yang saya dapatkan? Semua absen kamu kosong." Hanya nama belakang Romeo yang membuat rektor itu tidak mengambil tindakan tegas.
"Kamu tahu itu tidak bisa berlanjut, saya juga tidak bisa seenaknya. Mahasiswa lain akan mengikuti tindakan kamu dan kamus ini akan kehilangan kualitas sebagai pencetak orang-orang sukses. Saya tidak bisa membiarkan itu," tutur lugas rektor itu melihat Romeo yang seakan tidak ingin mendengarkan.
"Tapi Anda tidak bisa melakukan itu!" sambung Romeo. Anak tunggal dari Leonidas itu berujar seakan semua ada di bawah kendalinya.
"Iya, saya tidak bisa melakukan itu selain kakek kamu adalah pemilik kampus ini, tapi saya juga memiliki kewajiban merubah cara pandang kamu, merubahnya agar lebih baik." Rektor itu masih terus bersabar menghadapi Romeo bahkan dari caranya bertutur layaknya seorang ayah. Perhatian yang sejak lama tidak lagi Romeo dapatkan.
"Anda tinggal bilang pada Ayah saya. Saya sudah datang dan sudah mengerti apa yang harus saya lakukan. Sudah cukup seperti itu!" Romeo melipat tanganya.
"Saya menyuruh kamu ke sini bukan untuk mencari muka atas Ayah kamu, saya hanya ingin membantu." Rektor itu mulai menaikan intonasi suaranya, sedikit menekannya.
"Saya tidak butuh bantuan, urus saja urusan anda." Romeo sudah ingin pergi tapi rektor itu kembali bersuara.
"Saya tau kau akan menolak, tapi kau juga tidak punya pilihan, ayahmu ingin kau menyelesaikan kuliah dengan baik. Dan saya punya kewajiban untuk mengarahkan agar lebih baik!"
Romeo adalah anak yang terlalu cepat menguasai dunia akan sulit untuk mengendalikannya, semakin ia dikekang semakin ia memberontak dengan egonya.
"Saya sudah minta tolong mahasiswa lain untuk membantu kamu mengejar ketertinggalan," ujarnya lagi. Dan Romeo membelalak.
"Saya menolak!" tegas Romeo langsung.
"Kau tidak bisa menolak lagi, Romeo. Ini permintaan ayah kamu."
Sebuah ketukan pintu menghentikan kata yang hendak terlontar dari Romeo.
"Masuk!" perintah rektor itu, sesaat perdebatan keduanya terhenti.
"Anda memanggil saya?" suara wanita itu merdu tapi tidak menarik perhatian Romeo, ia masih tegas melihat orang yang ada di balik kursi rektor itu.
"Iya Varasya, duduk! Ini Romeo pasti kalian sudah saling kenal." Romeo sama sekali tidak berminat untuk menoleh.
"Saya minta bantuan kamu. Ini mahasiswa yang akan kamu bimbing!"
Varasya sempat melihat mata Romeo yang melotot sempurna mendengarkan rektor itu berkata. Seakan tidak mengikuti perintahnya. Romeo langsung berdiri seraya menghentak kursinya.
Romeo tidak memiliki cukup ruang untuk mendengarkan terus rektor itu, ia dengan sengaja membanting pintu setelah keluar begitu saja. Varasya sampai terperanjat.
"Duduk, Varasya!" suru rektor itu. Ia pun kembali duduk.
"Bagaimana kampus ini?" tanya rektor itu. Varasya belum lama ada di universitas ini kepindahannya kesini atas permintaan kedua orang tuanya.
"Semuanya baik, tidak jauh berbeda dengan di sana." tutur lembut Varasya.
"Saya sudah mendengar tugas kamu di sini, dia Romeo. Kalian sudah berkenalan?"
Varasya menggeleng, biarkan itu nanti menjadi urusan keluarganya.
"Saya tidak tahu sejauh mana harus terlibat, tapi Romeo bukan anak yang mudah dikendalikan. Kau bisa melihatnya sendiri."
Varasya mengerti kehadirannya akan menghancurkan semua keadaan.
Romeo berjalan di lorong kampus seperti siap menghabisi seseorang.Beraninya orang tua itu memerintah, dia hanyalah orang bayaran kakeknya untuk menjaga kampus ini. Sedangkan Romeo adalah cucu dari pemilik kampus. Tidak perlu ditanya siapa yang harus memerintah siapa!
Langkah Romeo terhenti saat kelas bubar. Mahasiswa lain melihat wajahnya otomatis menepi hanya dengan melihat tajam matanya saat ini, langkah lebarnya melewati gerombolan mahasiswa lantas terhenti saat sikunya ditarik keras dari belakang.
"Apa kau tidak bisa sopan? Rektor belum selesai bicara, kau sudah keluar. Dan juga haruskah sampai membanting pintu?" Apa sekarang wajah Romeo bisa diajak bicara?
"Lepas!" Tidak perlu dua kali Reome membentak Varasya, gadis itu sudah melepaskan perlahan sikut Romeo.
"Rektor cuma ingin kamu rajin masuk kelas juga belajar, aku bantu bimbing yang ketinggalan," tutur Varasya dengan mata teduhnya juga suara yang lebih diperlembut.
"Tidak perlu membantu, kau pikir kau siapa? Menyingkir!" Romeo bukan anak yang bisa ditundukan hanya dengan ucapan manis. Hanya Aurora yang bisa menghilangkan kobaran apa milikinya.
Varasya terpaku laki-laki itu berbeda dari seseorang yang dikenal dulu, waktu memang merenggut segalanya.
Romeo berlalu hampir menabrak pundak Varasya.
***
Wajah Romeo saat ini sudah bisa Aurora terka, lelakinya itu pasti kembali tidak sepaham dengan Ayahnya. Aurora sedang ada di kelasnya setelah tadi Romeo pergi.
"Kau bawa mobil?" tanya Romeo pada Axel.
Axel mengeluarkan kunci dari sakunya. Langsung Romeo rampas, setelahnya tangan Aurora yang dirampas, namun hangat.