Chereads / I Love My Professor / Chapter 11 - BAB 11

Chapter 11 - BAB 11

Mata Rowandy terfokus pada rumah itu, dia tidak menunjukkan tanda-tanda mendengarkan percakapan Samuel dengan adik-adiknya.

Samuel mengalihkan pandangannya. Sulit dipercaya bahwa hanya beberapa jam yang lalu, dia memiliki pria berpakaian rapi dan berwajah tegas mencium dan bergerak di atas tubuhnya.

"Tapi aku tetap tidak menyukainya," kata Emma keras kepala dengan merendahkan suaranya. "Tidak suka bagaimana dia memandang Kakak."

"Memangnya bagaimana dia menatapku?" Samuel bertanya.

"Seperti Barbie sedang melihat pancake."

Samuel memaksakan diri untuk tersenyum. Ini adalah tingkat kecanggungan yang sama sekali baru. "Kamu baru saja membayangkannya seperti labu."

"Tapi….."

"Kamu baru saja membayangkannya," Ulang Samuel, berharap Rowandy tidak mendengar kata-kata Emma.

Wajah Rowandy terlihat keras dan dingin, tanpa warna sama sekali di mukanya. Ini adalah seorang pria yang pulang ke rumah ayah dan keluarganya setelah lima belas tahun. Dia tampak bahagia seperti seorang pria dalam perjalanan ke penjara.

Seorang kepala pelayan, kepala pelayan sialan membuka pintu dan menyapa Rowandy dengan pelan, "Tuan Daniel."

Samuel memimpin adik-adiknya masuk. Mereka tampak malu dan gugup, dan Samuel harus mengakui bahwa dia tidak kalah gugupnya dengan mereka, dia hanya terlihat lebih baik dalam menyamarkan kegugupannya.

Kesan pertamanya tentang aula rumah itu adalah luasnya, dari marmer dan pilar, patung klasik serta kubah yang menjulang tinggi.

"Daniel!"

Samuel mendongak. Seorang wanita tinggi berambut hitam sedang berjalan menuruni tangga, senyum samar-samar lega tampak di bibirnya. Dia memeluk Rowandy dan mencium pipinya.

"Vivian," gumam Rowandy. "Kamu terlihat baik."

Jadi ini adalah saudari Rowandy yang meyakinkannya untuk datang.

Samuel menatapnya dengan rasa ingin tahu. Dia pasti bisa melihat kemiripan dalam keluarga. Dia tampak beberapa tahun lebih tua dari kakaknya, mungkin tiga puluh lima tahun.

Vivian menarik diri dan menatap Samuel serta gadis-gadis kecil di atas bahu Rowandy, tetapi sebelum dia atau Samuel bisa mengatakan apa-apa, dua pria tua memasuki rumah.

Salah satunya yang lebih tinggi, memiliki kemiripan yang luar biasa dengan Rowandy. Bahkan, mereka bisa saja kembar jika pria itu tidak sekitar tiga puluh tahun lebih tua. Samuel memutuskan ini pasti ayah Rowandy, Joseph Rowandy.

"Anak yang hilang sudah kembali," kata Joseph sambil mencibir. "Aku tahu hari ini kamu akan datang."

"Kalau begitu kamu salah," kata Rowandy dengan dingin. "Aku datang hanya karena Vivian tidak mau berhenti mengomeliku…. Rupanya, Kamu hampur praktis berada di ranjang kematianmu."

"Daniel!" Kata Vivian tampak marah.

"Kalau begitu, aku harus mengecewakanmu," kata Joseph. "Aku dalam kesehatan yang sangat baik." Dia berbohong. Dia memiliki semburat abu-abu di kulitnya. "Jadi, Kamu tidak akan mendapatkan uangku dalam waktu dekat."

"Kau tahu, aku tidak butuh uangmu," kata Rowandy.

Mereka saling melotot dengan dingin, dan kemiripan yang mereka miliki sangat mencolok. Samuel bertanya-tanya apakah Rowandy membencinya.

Pada saat ini, Joseph mengalihkan pandangannya ke Samuel.

Mata gelapnya yang tajam menyapu dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuat Samuel sangat sadar akan pakaiannya yang murah dan usang.

Bibir Rowandy langsung terpelintir karena ejekan. "Dan ini?"

Rowandy mengambil langkah ke arah Samuel dan meletakkan tangan di bahunya. "Dia adalah kekasihku, Samuel William."

Pria tua lainnya langsung menarik napas dengan tajam.

Wajah Joseph tidak menunjukkan apa-apa, namun entah bagaimana, suhu di ruangan itu sepertinya turun belasan derajat.

Samuel meringis di dalam dadanya, tapi bukannya dia tidak menduga hal ini.

"Samuel, ini ayahku, Joseph Rowandy," kata Rowandy, dengan suaranya yang tidak seperti biasanya. Bajingan itu benar-benar menikmati hal ini. "Dan teman lama ayahku, Nathan Brooks."

"Senang bertemu denganmu," Samuel berbohong, bertanya-tanya apakah Tuan Brooks adalah pria yang putrinya ingin dinikahkan oleh Joseph dengan putranya.

"Begitu," kata Joseph akhirnya sebelum mengalihkan pandangannya yang berat ke arah si kembar. "Dan ini?"

Samuel menekan keinginan untuk menyembunyikan gadis-gadis di belakang punggungnya. "Ini adalah saudara perempuan ku, Tuan Rowandy. Emma dan Melissa." Untuk sekali ini, Barbie tetap diam dan tidak memperdebatkan namanya. Kedua gadis itu mendekat ke Samuel.

"Begitu," kata Joseph Rowandy lagi sebelum berbicara kepada seorang pelayan. "Siapkan kamar untuk tamu kita."

"Siapkan kamar di sebelah kamarku untuk anak-anak," potong Rowandy. "Jelas Samuel akan tinggal di kamarku."

Samuel sedikit mengernyit.

Pembuluh darah di pelipis Joseph berdenyut-denyut. Vivian memperhatikan ayahnya dengan cemas. Tuan Brooks memiliki ekspresi jijik di wajahnya yang tidak mau dia sembunyikan.

"Lakukan apa yang dia katakan," Joseph Rowandy menggigit, memecah kesunyian. "Tunjukkan mereka ke kamar mereka. Makan malam setengah jam lagi dimulai. Daniel, aku ingin bicara."

Samuel berbalik untuk mengikuti pelayan ketika sebuah tangan meraih lengannya dan menghentikannya.

"Sampai jumpa lagi," kata Rowandy dan memberinya ciuman singkat.

Atau setidaknya itu mungkin seharusnya ciuman singkat, tetapi Samuel mendapati bibirnya menempel dan berpisah, terasa bersemangat. Dia merasakan keterkejutan Rowandy sebelum Rowandy meraih lehernya dan menciumnya secara nyata. Ciuman itu sepertinya terlihat berlangsung untuk selamanya.

Pada saat Rowandy akhirnya mundur, Samuel hampir tidak bisa bernapas.

Samuel tidak melihat sekeliling untuk mengetahui reaksi semua orang, dia bisa membayangkannya dengan baik.

Samuel meraih adik-adiknya, lalu dia mengikuti pelayan itu.

Wajahnya terlihat sangat hangat.

********

Mengatakan makan malam itu sangat canggung bahkan akan terlihat meremehkan. Bukan hanya canggung, ini menyakitkan.

Baru sepuluh menit dan Samuel sudah melirik jam kakek di dinding.

Suasana beracun di ruangan itu begitu tebal sehingga bisa diiris. Dia belum pernah melihat begitu banyak gerakan pasif dan agresif di antara anggota keluarga. Sekarang Samuel senang Emma dan Barbie tidak diizinkan makan bersama dengan orang dewasa.

Bagian yang menjengkelkan adalah, tidak ada yang mengatakan apa-apa secara langsung, semuanya dengan hati-hati tersembunyi di balik senyum lembut dan sopan santun. Adam, suaminya Vivian, adalah satu-satunya yang tampak berjuang untuk menyembunyikan ketidaksukaannya pada saudara iparnya.

Rowandy tidak terlalu memperdulikan Adam, komentarnya yang paling tajam ditujukan kepada ayahnya. Rowandy agak terkenal karena kekejamannya di perguruan tinggi, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan kekejaman terhadap ayahnya. Samuel akan merasa kasihan pada Joseph Rowandy jika orang tua itu tidak lebih buruk. Dalam sepuluh menit pertama, Joseph telah berhasil menghina segala sesuatu mulai dari kecerdasan putranya hingga seksualitasnya, nadanya penuh ejekan dan penghinaan.

Melihat mereka, Samuel mulai mengerti mengapa Rowandy meninggalkan rumahnya dan tidak kembali dalam lima belas tahun. Dia juga mulai mengerti mengapa Rowandy begitu gila kontrol. Kepribadian ayahnya begitu mendominasi sehingga kemungkinan besar dia mengembangkan kebutuhan yang sama untuk mengendalikan segala sesuatu sebagai mekanisme pertahanan.

"Mereka menyadari betapa miripnya mereka, kan?" Samuel bergumam pada Vivian, memastikan bahwa Rowandy, yang duduk di sisinya yang lain, tidak bisa mendengarnya. Vivian tampaknya menjadi satu-satunya wajah ramah di meja makan.

Vivian menghela nafas. "Aku pikir itu adalah sebagian alasan mengapa mereka saling membenci," gumamnya. "Meskipun jauh di lubuk hati, mereka sebenarnya saling peduli satu sama lain."

Samuel memandang ayah dan anak itu saling menembak dan memberinya pandangan skeptis.

Vivian tersenyum tanpa humor. "Aku tahu, sulit dipercaya, tapi Ayah benar-benar peduli dengan Daniel." Matanya menjadi terlihat jauh. "Ketika kami masih kecil, Ayah sangat bangga padanya. Aku dulu iri pada Daniel. Segalanya menjadi… sulit ketika Ayah mengetahui tentang seksualitas Daniel, tapi aku yakin dia masih peduli. Jika tidak, dia akan menyangkalnya berabad-abad yang lalu dan menghapusnya dari wasiat." Vivian melirik suaminya, dia langsung merendahkan suaranya. "Adam benar-benar marah karenanya. Dia telah bekerja di perusahaan keluarga selama bertahun-tahun dan berpikir dia pantas untuk mewarisinya."

"Hah…," kata Samuel. Ini menjelaskan permusuhan antara Adam terhadap Rowandy.

Berbicara tentang pria itu, Adam memilih saat itu untuk menoleh ke Samuel dan bertanya, "Jadi, apakah kamu masih bekerja? Atau apakah saudara ipar ku ini membayar tagihanmu karena merentangkan kakimu untuknya?"