aku mengalah. Dia membalikkan tubuhku sedikit, meletakkan satu tangan di pinggulku, yang lain di rahangku. Wajahnya mencari wajahku. Kemudian dia melakukannya lagi. Aku hampir tidak bisa melihat, tapi aku bisa merasakannya. Matanya melihat ke dalam inti diriku. Roh kerabat kami mengenali potongan-potongan yang rusak satu sama lain. Hanya untuk sesaat.
Bibirnya menyentuh bibirku. "Sampai jumpa," dia berjanji
aku berdiri kaku sesaat sebelum berjalan keluar pintu.
Aku berhasil sampai ke rumahku tanpa berpikir. Aku bahkan memeriksa Lexie sekali lagi, lalu sampai di kamarku. Aku kemudian tenggelam ke lantai aku, kepala aku pergi ke kerah kemeja, menghirupnya.
"Brengsek," gerutuku dengan suara keras.
Persetan itu benar. Aku takut aku entah bagaimana baru saja melompat dari ujung yang dalam. Dan aku adalah perenang yang buruk.
"Sudah diurus," sebuah suara memberitahuku di ujung telepon.
"Sudah diurus?" Aku mengulangi, mataku melotot tak percaya.
