Aku mengutuk ketika dia melemparkanku ke punggungku untuk kedua kalinya; angin menerpaku saat aku terengah-engah dan masih menolak untuk mengetuk jariku.
Tinjunya turun berikutnya, tapi itu pukulan lembut, aku tahu itu, dia tahu itu, yang membuatku kesal. "Kamu dulu memukul lebih keras."
"Bajingan, Sherly, serius." Darah mengucur dari alis kanannya. Semoga saja, aku mematahkan hidungnya—lagi.
Kami berdua terengah-engah saat dia menjepit lenganku di atas kepalaku. Aku menggeliat di bawahnya, mencoba membaliknya dengan kakiku, menggali tumitku tetapi hanya bertemu otot.
Dia mengeluarkan erangan tercekik ketika aku mendorong pinggulku ke atas lagi dalam upaya untuk mendapatkan beberapa pemisahan sehingga aku bisa mendapatkan tanganku di antara kami.
Dia bergidik. "Berhentilah bermain kotor."
