"Sayang, kamu kenapa di sini sih? Anginnya kan kencang. Ntar kamu malah sakit."
Saat Rafael Abraham menoleh, dia menemukan seorang wanita yang melenggang anggun kepada dirinya. Tersenyum dengan sangat manis dan perhatian kepada pria itu.
Dan inilah kebingungan lain yang Rafael rasakan. Yaitu fakta kalau dia memiliki seorang wanita yang dipanggilnya sebagai calon istri, di mana kata orang seharusnya mereka menikah di beberapa hari sebelum kecelakaan.
Tapi masalahnya Rafael tak mengingat semua itu sama sekali. Ia tak memiliki kenangan soal hubungan mereka, ataupun cinta yang seharusnya dia rasakan terhadapnya. Sehingga kalau ditanya bagaimana perasaannya saat memandang wanita ini, jawabannya hampa. Tak ada hal yang istimewa.
Namun walau begitu Rafael tetap memaksakan senyuman padanya. Apalagi saat wanita yang bernama Serra itu menyerahkan secangkir teh hangat kepada dirinya.
"Aku hanya ingin sedikit menghirup udara segar. Seperti yang kamu tahu, aku baru saja bebas dari kursi roda. Sehingga aku mulai lebih mendapatkan kebebasan dalam bergerak, walau… tetap saja aku tak bisa mengingat apapun."
"Semua butuh waktu. Kamu nggak perlu terburu-buru."
"Masalahnya aku sudah menunggu terlalu lama."
Empat bulan lamanya setelah dia bangun dari koma. Rafael menemukan dirinya dalam keadaan sulit bergerak, serta ingatan yang hilang sempurna. Tak mau menerima keadaan dia berusaha menempa dirinya untuk dapat kembali bangkit dan pulih seperti semula. Di mana kemudian diketahui kalau kemampuan akademiknya tidak sepenuhnya menghilang, terbukti dari pengetahuannya yang masih cukup tajam seperti biasanya. Namun semua itu tak sempurna. Masih banyak bagian yang hilang, masih terlalu banyak ingatan yang terhapus. Sehingga terus menghambatnya untuk dapat kembali beraktifitas seperti semula.
Kini para keluarga pun sedang berusaha. Mamanya, Bertha, berkata kalau mereka sedang mencari cara untuk menyembuhkannya. Hal yang sampai sekarang tak Rafael ketahui cara dan lanjutannya.
'Semoga memang ada cara. Menyebalkan sekali karena harus hidup seperti ini.'
"Tapi sayang, sekarang kita masuk yuk? Sebentar lagi jam makan malam. Anginnya juga sudah mulai kencang. Biar kamu nggak tambah sakit."
Rafael kembali memandang Serra.
Sebenarnya kalau diperhatikan wanita ini bisa dikatakan sangat sempurna. Walau Rafael tak ingat dengan tipe idealnya terdahulu, namun dia yakin pria manapun aku terbutakan oleh pesonanya. Bahkan tak hanya karena dia cantik dan memiliki bentuk tubuh yang indah, dia juga berasal dari keluarga yang kaya dan terpandang. Bahkan lebih dari itu dia punya kepribadian yang lembut dan perhatian.
Tapi lagi-lagi Rafael tak yakin sama sekali dengan hubungan dan percintaan mereka di masa lalu. Lagi-lagi karena dia tak memiliki ingatan apapun tentang dirinya serta kenangan mereka.
Di saat itulah tiba-tiba terlihat sebuah mobil yang hendak memasuki perkarangan rumah. Rafael dan Serra serempak melirik, menyaksikan penjaga pintu yang segera bergegas untuk memberikan jalan.
"Gino sudah di sini. Dia pasti datang untuk memberikan laporan," kata Serra sambil melirik pemuda itu lagi.
Gino adalah teman sekaligus asisten Rafael terdahulu. Mereka ternyata berteman sejak SMP, karena kebetulan mendiang ayahnya Gino adalah asisten dari Papanya Rafael. Gino bahkan juga setia membantu dan mendampinginya dalam membina perusahaan IT besutannya, Raftech.
Lalu saat kecelakaan itu menimpa, Gino akhirnya ditunjuk sebagai CEO sementara. Pria itu biasanya akan selalu datang hampir di setiap harinya untuk melaporkan progres perusahaan. Apalagi karena kebetulan rumahnya terletak tak jauh dari kompleks perumahan yang ditempati oleh keluarga Abraham. Sehingga dia bisa menyempatkan datang barang beberapa menit, setelah menyelesaikan rutinitas harian.
Dengan bantuan Serra, Rafael menemui pria itu. Lagi-lagi harus melakukannya dengan perlahan karena tubuhnya masih dalam tahap membiasakan diri. Namun dengan tekadnya, Rafael yakin dia dapat segera sembuh. Karena dia tidak akan membiarkan dirinya terus terpuruk dan dibatasi oleh keadaan ini.
"Hai, Raf. Gimana keadaan kamu hari ini?" tanya Gino saat melihat dirinya mendekat. Menunggu sahabatnya itu mendekat dengan didampingi oleh sang tunangan.
"Yah, seperti biasanya. Masih mencoba mencari ingatan yang entah hilang di mana." Rafael mengangkat bahu. Lalu kembali fokus pada pria di depannya. "Jadi bagaimana Raftech hari ini? Semua lancar, bukan?"
Lihatlah bagaimana Rafael bisa dengan cukup tanggap mengikuti pembicaraan Gino. Dia bisa paham dengan bahan pembicaraan bisnis yang mereka katakan. Pengetahuannya perlahan mulai kembali, namun kenapa ingatannya tidak menunjukkan tanda-tanda yang sama? Apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan semua itu kembali?
***
Luna akhirnya sampai di sebuah kontrakan sederhana yang dia huni bersama dengan kedua orang tuanya. Akhirnya dapat pulang setelah menjalani hari yang cukup panjang.
Gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur begitu sampai di dalam. Lantas dengan cepat dia memeriksa isi tasnya, menemukan sebuah dokumen yang berada di dalamnya. Surat berisi kontrak atas penawaran yang tadi diberikan langsung oleh Bertha.
'Sampai sekarang aku masih belum dapat percaya. Rafael kecelakaan dan bahkan amnesia? Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi.'
Wanita itu ingat akan sesuatu. Membuatnya mengeluarkan ponselnya dari tas yang tadi. Lantas dia langsung membuka aplikasi internet, lalu mengetikkan hal yang saat ini paling membuatnya ingin tahu.
'Kecelakaan pimpinan Raftech.'
Itulah yang dia ketikkan. Lalu tak lama setelahnya, menampilkan hasil dari pencarian.
Luna terkejut karena ternyata memang ada artikel mengenai itu yang rata-rata dibuat sekitar empat bulan yang lalu. Bahkan ada beberapa gambar yang disewakan, di mana terlihat sebuah mobil sedan mewah berwarna silver yang tampak mengalami kerusakan akibat benturan.
Luna membaca dengan seksama beberapa judul artikel yang ada.
'Kecelakaan tunggal Mobil Mewah di Dini Hari.'
'Sebuah Sedan Mewah Terguling di Kawasan Serpong.'
'Sedan Mewah yang Terguling Diketahui Milik Seorang CEO Perusahaan IT Terkenal.'
'Pengemudi Sedan Dilarikan Ke Rumah Sakit Dalam Keadaan Terluka Parah.'
Seketika Luna bergumam prihatin. Untuk pertama kalinya benar-benar percaya dengan apa yang tadi didengarnya dari Bertha. Lantas diperiksanya lagi isi kontrak tadi. Mencoba mempelajarinya lagi untuk lebih memahaminya.
'Sejujurnya ini menggiurkan. Tak hanya mendapatkan bayaran yang besar, aku bahkan juga mendapatkan pekerjaan yang bisa dikatakan cukup bergengsi. Tapi… aku takut risikonya akan sangat besar. Terutama karena aku terlibat lagi dengan keluarga Abraham yang dulu pernah menghinaku. Apalagi karena Mamanya Rafael masih sama galaknya seperti dulu. Aku takut tak bisa mengimbangi kepribadiannya yang begitu keras.'
Namun kemudian hal lain teringat olehnya. Gadis itu mengambil sesuatu yang lain dari saku tasnya. Kali ini memeriksa catatan tagihan rumah sakit yang tadi diberikan oleh pihak administrasi rumah sakit untuknya.
'Namun aku tak punya banyak pilihan. Justru di saat sulit begini, aku seharusnya bersyukur karena ditunjukkan sebuah jalan oleh tuhan.' Luna menggigit bibir bawahnya. Dengan ragu memeriksa isi kontrak itu lagi. 'Haruskah aku menerimanya? Kira-kira apa nanti hidupku akan baik-baik saja saat setuju melakukannya?'
***