Namun Rafael tak bereaksi lagi setelah mendengar alasannya yang panjang. Pria itu masih saja duduk dengan tenang, dengan wajah yang tampak tak bersahabat itu.
'Dia benar-benar sangat berbeda. Rafael yang kukenal walaupun dia terkenal kaya dan tampan, namun dia nggak bersikap angkuh sama sekali. Dia adalah pria yang supel dan senang bergaul dengan siapa saja tanpa memandang golongan. Dia juga selalu bersikap sopan pada semua orang.' Luna memikirkan semua itu sambil memandang sang mantan pacar dengan diam-diam. 'Sepertinya memang ini dampak dari kecelakaan itu. Dia pasti mengalami benturan yang begitu keras sambil berubah dengan sangat ekstrim begini. Aku janji padamu, Raf. Aku akan bantu kamu sembuh lagi. Walaupun sulit dan harus menguak lagi kisah cinta kita yang sudah lalu, tapi aku pasti akan bisa membuat kamu sehat dan kembali seperti semula.'
Entah kenapa Luna jadi sedikit emosional saat memikirkan hal itu. Mungkin karena dia masih memendam kepedulian pada Rafael, walau cinta itu sudah tak lagi ada.
"Apa yang kamu dengar saat mendapatkan tawaran pekerjaan ini?"
Lamunan Luna buyar lagi saat mendengar sang CEO muda bicara. Lagi-lagi masih sambil mencorat-coret buku gambar di tangannya. Lagi-lagi tanpa menatap ke arah Luna.
"Untuk kamu ada di sini dan bahkan menemui saya yang seperti disembunyikan dari dunia ini, kamu pasti sudah tahu keadaan saya saat ini. Tentang bagaimana kurang baiknya fungsi kerja dari otak ini. Tentang bagaimana kini aku tak lebih seperti seorang idiot. Sehingga kamu pasti sudah mengetahui segalanya kini."
Rafael kemudian melayangkan pandangannya pada Luna. Kini menatapnya dengan cukup tajam.
"Saya ingin tahu bagaimana kamu mendengar hal ini dari Mama."
'Gila. Itu pertanyaan apa? Mana ada di internet.'
Para operator itu langsung ketar-ketir. Dengan bingung mereka berusaha untuk berunding mencari tahu, karena internet sudah tak bisa dimanfaatkan lagi kini. Menyisakan Honey yang tak lebih dari sebuah robot yang diabaikan oleh pengaturnya.
Sementara Rafael terus menatap kedua matanya. Pria itu menunggunya untuk bicara. Untuk menjawab apa yang kini tampaknya menjadi hal yang paling mengganggu pikirannya.
'Pikirkan jawabannya juga, Nona Luna. Coba usaha sendiri. Karena kalau tidak… kita semua bisa terkena masalah dan dipejat. Camkan itu, jangan main-main.'
Tentu Luna jadi semakin gugup mendengar desakan itu. Dia jadi semakin kalang kabut dan tersudut, oleh segala hal yang ada. Namun dia setuju dengan ucapan pihak operator. Kalau dia juga harus memutar otaknya sendiri untuk segera menjawab pertanyaan itu, sebelum Rafael bosan menendangnya keluar dari rumah ini.
"Kenapa kamu diam?" Rafael akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda bosan menunggu. "Kamu bahkan nggak bisa menjawab pertanyaan sederhana seperti itu? Bagaimana mungkin saya bisa mempercayakan rahasia dan bahkan kehidupan saya terhadap kamu."
"N-Nyonya Bertha… mengatakannya dengan berterus terang, Tuan."
Entah ini akan berhasil. Namun kini benar-benar hanya inilah cara yang terpikirkan olehnya.
"Saat pertama bertemu saya, beliau langsung menjelaskan tugas dan situasinya. Di sana tentu saja beliau akhirnya mengatakan tentang kondisi kesehatan Anda saat ini – secara garis besar. Sehingga sedikitnya saya tahu tentang penyakit—"
'Apa yang kamu lakukan? Apa yang ingin kamu katakan pada beliau? Jangan aneh-aneh. Hentikan omong kosong ini.'
Para operator itu berteriak-teriak tepat di telinganya, sehingga membuat Luna nyaris membanting alat yang terpasang di telinganya itu. Namun kini apa lagi yang bisa mereka lakukan memangnya? Di saat tadi mereka nyaris menyerah untuk membantunya? Saat dia disuruh bertindak sendiri? Sekarang jangan salahkan cara yang akhirnya dia ambil.
Kedua mata Luna bertemu lagi dengan Rafael beberapa saat kemudian. Di mana pemuda itu menunggu lanjutan dari penjelasannya tadi.
"Kenapa kamu berhenti tiba-tiba?" tanyanya dingin. "Lanjutkan apa yang mau kamu katakan tadi? Mama saya bilang apa saja ke kamu? Hal yang akhirnya membuat kamu menerima tawaran ini? Padahal kamu udah mendengar soal penyakit saya."
Kenapa Rafael seperti tengah menyindirnya? Apa Honey sudah mulai salah bicara?
"P-Pertama-tama saya minta maaf kalau telah menyinggung perasaan Anda, Tuan." Luna membungkukkan badannya tak enak. "Tapi saya pikir… untuk dapat memberikan kepercayaan kepada seseorang, kita harus memastikan kalau mereka memiliki kualifikasi yang baik dulu. Di mana salah satu syaratnya adalah dengan memastikan mereka tahu apa yang akan mereka hadapi, serta bagaimana mereka akan melaluinya. Sehingga saya pikir udah selayaknya bagi Mama Anda untuk memberitahukan tentang kondisi Anda kepada saya, sehingga kita bisa melakukan tugas saya untuk mendampingi Anda."
Hening.
Tidak hanya Rafael, namun juga para operator di line seberang.
Tapi kenapa? Padahal Luna merasa telah melakukannya dengan benar. Dia merasa memang harus mengatakan hal itu sebagai jawaban dari pertanyaan Rafael tadi. Tapi apa dia salah?
"Ya sudah. Sekarang kamu boleh pergi."
Luna tampak sangat terkejut. "P-Pergi, Tuan? P-Pergi maksudnya saya… diusir dari sini, Tuan? Anda nggak menerima saya sebagai asisten?"
Rafael menghela napas pelan. Pandangan matanya yang sedikit tajam itu kembali pada Luna. Sukses membuatnya sedikit gugup sehingga harus menundukkan kepalanya.
"Pokoknya kamu pergi saja dulu. Temui Mama dan tinggalin saya sendiri. Karena saya sudah merasa cukup menginterview kamu."
Rasanya menyebalkan sekali. Tak peduli betapa kayanya dirimu ataupun betapa tingginya kedudukanmu dibanding orang lain, seharusnya Rafael memakai cara yang lebih benar untuk menyelesaikan pembicaraan ini. Dia seharusnya bisa menjadi lebih sopan.
Namun lagi-lagi Luna mencoba untuk memahami keadaannya. Lagipula dia memang berada di posisi paling rendah kini, sehingga bisa dengan mudah diinjak-injak.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Luna akhirnya pamit dari sana, lalu berjalan kembali menuju dalam rumah. Di dalam perjalanan dia sempat berbisik kepada para operator untuk menanyakan pendapat mereka soal kebohongannya tadi. Dia sedikit tak menyangka kalau ternyata responnya sangatlah positif. Mereka memuji Luna dengan bilang kalau dia telah melakukan dan mengatakan hal yang benar.
Sementara itu Rafael mengambil ponsel dari sakunya untuk menghubungi sang Ibu. Setelah memastikan Luna semakin menjauh.
'Iya, Raf. Ada apa? Ada masalah?' Bertha terdengar panik tanpa alasan.
"Ini mengenai calon asisten baruku itu…."
Rafael melayangkan pandangannya kembali sambil memandang punggung Luna yang semakin menjauh. Ia tampak sedikit ragu pada awalnya, namun akhirnya kembali bersuara pada ibunya dengan yakin.
"Untuk saat ini aku akan menerimanya sebagai asistenku. Tapi perlu Mama tahu kalau ini belum mutlak, di mana artinya masih bisa berubah di lain waktu. Jadi tolong buktikan kalau dia ada gunanya di rumah ini, serta tidak akan membuat masalah ke depannya."
Rafael dapat mendengarkan ungkapan senang ibunya saat mendengar hal itu.
'Pasti, sayang. Kamu jangan khawatir. Mama pastikan anak itu nggak akan bertingkah, bahkan bekerja dengan baik untuk membantu kesembuhan kamu. Jangan khawatirkan soal itu, oke?'
***