"Kau berbohong?" seru Ana tidak percaya.
Anak kecil itu menghabiskan rotinya dengan cepat dan menangkupkan tangannya meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf, soalnya aku lapar."
Ana mendengus kesal. Ia harus terlibat dalam suatu hal yang tidak perlu untuk hal yang salah sedangkan hari sudah mulai sore. Ana menengadah ke atas. Semburat awan kemerahan perlahan-lahan muncul di langit.
"Siapa orang-orang tadi?"
"Orang-orang Perlaine. Kau lihat sendiri, desa kami sangat miskin, tumbuhan saja kering dan sebagian besar orang-orang desa bekerja di Kota Perlaine."
Anak kecil itu melihat langit dan meraih tangan Ana.
"Hari mulai petang, beristirahatlah di rumahku. Jaraknya tidak jauh dari sini. Aku Tobias, siapa kau? aku baru melihatmu di kota ini. Kau dari mana?"
Anak kecil itu bertanya sambil meraih tangan Ana. Dia mengajak Ana berjalan melewati gang sempit di antara rumah-rumah kayu yang berjejer. Mereka berbelok menuju jalan sempit yang kering.
"Aku Ana. Wayshire."
"Wayshire? kota di seberang hutan?"
Matanya terbuka lebar terkejut sedangkan Ana tersenyum singkat.
"Berita hancurnya kota itu sampai di desa kami. Aku bahkan pernah menyeberangi hutan untuk melihat reruntuhannya secara langsung." ujarnya penuh semangat seakan-akan menganggap kemalangan orang lain sebagai cerita yang luar biasa. Ana hanya tersenyum masam.
"Lalu kau akan pergi ke mana?"
"Perlaine."
Tepat saat Ana menjawab pertanyaan anak itu, mereka sampai di sebuah rumah kecil tanpa halaman depan. Dinding rumah itu berada persis di depan jalan sempit. Anak kecil itu membuka pintu rumahnya. Ana mengikutinya dari belakang. Ruangan itu kosong hanya terdiri dari meja di tengah ruang tamu serta kursi-kursi kecil mengelilinginya. Seorang ibu keluar dari ruang dalam membawa semangkuk sup kacang polong.
"Ibu, aku pulang."
Sang ibu berpaling menatap anaknya dan beralih pandanganya menatap Ana. Ana menganggukkan kepala menyapanya. Saat sang ibu mendekat padanya, terlihatlah wajah familiar seorang wanita yang ia temui di depan sumur. Rupanya, dia adalah wanita yang dibantunya mengambil air.
Anak kecil itu mengeluarkan sepotong roti lagi dari sakunya dan memberikannya pada ibunya. Sang ibu menerima roti itu dengan kesal.
"Sudah kubilang berapa kali untuk tidak mencuri, tapi kau masih saja mencuri, bagaimana kalau orang-orang Perlaine mengejarmu kemari?"
Sang ibu terlihat sangat marah dan berseru menaikkan suaranya kepada anaknya. Anak kecil itu hanya mengangkat bahunya dengan santai.
"Mereka sudah mengerjarku kemari."
"Apa!?"
"Tapi Ana menolongku," belanya dengan segera. Anak kecil itu menunjuk Ana yang sedang berdiri di belakangnya. Ana yang merasa dirinya ditunjuk olehnya segera tersenyum. Sang ibu melihatnya sejenak sambil menggumamkan suatu kata yang tidak jelas kemudian berjalan ke arah meja.
"Ibu, bolehkah Ana menginap malam ini?"
Tangan ibu yang mengambil mangkuk untuk membagi sup kacang polong pada anaknya terhenti. Matanya menatap wajah Ana.
"Menginap?"
"Boleh ya, hanya malam ini saja, besok aku akan mengantarnya ke Perlaine."
Sang anak merajuk pada ibunya sambil menarik-narik bajunya. Sang ibu membuang napas kesal kemudian mengangguk. Ia mengambil satu mangkuk lagi di sudut ruangan dan membagi sup kacang polong yang berada di mangkuknya menjadi dua. Tobias mengajak Ana duduk. Sang ibu meletakan satu mangkuk sup kepada anaknya dan satu mangkuk lagi pada Ana.
"Makanlah."
Ana melihat sup itu dan mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih."
Mereka bertiga makan dalam tenang di ruangan itu. Ana memasukan sup ke dalam mulutnya dengan diam. Suara ibu dari anak kecil memecah keheningan ruangan itu.
"Apa kau tahu jalan menuju Kota Perlaine dari sini?"
"Hmm, jika ku lihat di peta menuju barat."
"Benar. Kau akan menemui sungai kering yang terhubung dengan jembatan kecil menuju Kota Perlaine."
Ana mengangguk. Sang ibu itu menunjuk ke sudut ruangan, "Kau bisa tidur di sudut ruang ini. Tidak ada kamar lagi. Apa kau mau?"
"Iya, tidak apa-apa. Terima kasih."
Sang ibu menyelesaikan makannya kemudian ke dapur. Anak kecil itu tersenyum padanya kemudian mengucapkan selamat beristirahat. Ana tersenyum padanya lalu bangkit dari kursi itu. Ia menuju sudut ruangan dan duduk di lantai kayu. Disandarkan badannya ke dinding dan mencoba memejamkan matanya. Meskipun matanya terpejam tetapi ia masih dalam keadaan tersadar dan waspada. Ia memeluk tasnya. Namun, segera setelah itu ia pun terlelap.
Tiba-tiba mata Ana terbuka lebar. Ia melihat ke sekelilingnya. Tasnya masih berada di pangkuannya. Dinding kayu dan meja kursi pendek masih berada di tengah ruangan. Cahaya terang pun memenuhi ruangan itu. Rupanya, hari sudah pagi. Perlahan-lahan ia berdiri dari duduknya dan membuka pintu depan. Udara kering langsung menyapanya hingga membuatnya mengernyitkan alisnya. Sang ibu keluar dari rumahnya dan mendapati Ana sedang berdiri di depan pintu.
"Apa yang kau lakukan?"
Ana terlonjak kaget mendengar suara ketus dari belakangnya. Ia berpaling dan mendapati sang ibu sudah membawa ember di dua tangannya.
"Tunggu sebentar lagi, Tobias belum bangun. Ia akan mengantarkanmu ke Perlaine."
Ana mengangguk kemudian tersenyum.
"Mau aku bantu mengambil air?" ujar Ana menawarkan bantuan. Sang ibu menyerahkan satu ember padanya. Mereka berdua berjalan terdiam menyusuri jalan sempit dan menuju jalan besar. Melewati rumah-rumah kayu yang berhimpitan dan pohon-pohon kering yang berada di sepanjang jalan itu.
"Terima kasih sudah menyelamatkannya." ucap sang ibu dengan suara yang datar.
Ana tersenyum "Aku hanya tidak sengaja bertemu dengannya."
Mereka sampai di sumur besar tempat pengambilan air. Rupanya sumur itu merupakan sumur dengan air yang tidak mengering meskipun sekeliling sumur itu kering. Orang-orang warga desa sudah memenuhi tempat itu dan berjejer mengambil air. Mereka berdua masuk ke dalam antrian. Mata orang-orang yang mengambil air di sumur melihat Ana dengan pandangan tidak suka tetapi sang ibu berdiri di depan Ana dengan wajah garangnya, menutupi tubuh Ana. Sesampainya di antrian terakhir, Ana mengambil tali ember dan melemparkannya ke dalam sumur. Ia mencuci wajahnya kemudian membantu ibu itu memenuhi kedua ember. Setelah terisi penuh, diambilnya salah satu ember dan dibawanya. Sang ibu tersenyum kecil. Ana tertegun sejenak.
[Orang-orang di desa ini ternyata bisa tersenyum juga,] pikirnya.
Ana membalas senyumannya kemudian mereka berdua berjalan bersama-sama kembali menuju rumahnya dalam diam. Tobias sudah menunggu mereka duduk di depan rumah, berdiri dan melambaikan tangannya.
"Ana!"
Ana membalas lambaian tangannya. Sang ibu cemberut memandang Tobias sedangkan anaknya tersenyum lebar. Mereka membawa dua ember itu masuk ke dalam rumah dan mengisinya ke sebuah ember besar di belakang rumahnya. Air itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Ana memandang Tobias yang sudah rapi menggunakan kemeja lengan pendek, celana pendek, sepatu, dan tasnya.
"Kau rapi sekali, Tobias?"
"Tentu saja, soalnya aku akan mengantarkanmu ke Perlaine." ujarnya bangga. Sang ibu keluar dari belakang rumah dan menyerahkan tas kecil yang berisi kue kering pada Tobias.
"Makanlah dulu dan bawakan ini untuk ayahmu."
Tobias tersenyum memperlihatkan giginya dan dengan segera menyambar kue itu dari tangan ibunya. Ia memakannya dengan lahap. Tangan yang lainnya mengambil tas yang diminta ibunya menyerahkan ke ayahnya. Sang ibu juga memberikan kue kering kecil pada Ana. Ana menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Ana pun memakan roti itu dan mengambil tasnya yang berada di sudut ruangan. Mereka berpamitan pada sang ibu. Tak lupa Ana mengucapkan terima kasih padanya karena sudah memperbolehkannya menginap di rumahnya. Sang ibu hanya mengangguk.
Ana dan Tobias berjalan melewati jalan kecil. Mereka melangkah santai. Tobias melihat wajah Ana yang memandang lurus ke depan dan rambut hitamnya yang tergerai tertiup angin hangat. Tobias teringat Ana yang terlihat cantik saat sedang bertarung melawan gerombolan laki-laki kemarin. Gerakan kaki yang halus dan loncatan yang indah tergiang di kepalanya. Perlahan-lahan wajah Tobias memerah. Ana berpaling ke arah Tobias.
"Apa Kota Perlaine masih jauh dari sini?"
Tobias yang terkejut, menjawab pertanyaannya dengan terbata-bata,
"Ti - tidak jauh, Ana. Hanya melewati jembatan saja, setelah itu sampai di kota."
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka mulai keluar dari desa itu. Deretan rumah berjejer mulai jarang terlihat. Tobias menunjuk ke depannya. Mereka sampai di tepi sungai kering yang luas. Terlihat sebuah jembatan kayu bertali yang bergoyang perlahan tertiup angin. Ana menatap jembatan itu dengan nanar.