Satu bulan setelah kejadian itu, Kota Wayshire masih dalam masa berkabung. Ratusan lilin masih di letakkan di samping bangunan yang berada di pusat kota dan di rumah-rumah warga. Mereka melakukan hal itu untuk mengenang warga kota yang meninggal maupun yang hilang. Mereka masih tidak mempercayai dengan apa yang terjadi di kota itu. Ingatan tentang lubang hitam dan para monster yang menyerang seperti tidak nyata. Namun, bukti ratusan orang yang meninggal dan hilang, kerusakan bangunan, ladang, serta ternak mereka, menjadikan hal itu nyata dan tidak dapat dibantah. Berita penyerangan yang dialami kota Wayshire mulai menyebar ke kota tetangga dan terbawa sampai ke ibu kota. Orang-orang yang bersimpati dengan kejadian yang menimpa mereka masih tetap berdatangan membantu pembangunan kota kembali.
Ana melihat semburat awan kemerahan di langit dari jendela ruang perpustakaan akademi Wayshire City. Ia berdiri sambil menyentuh jendela besar yang berbentuk melengkung dengan ukiran berwarna merah di sudut ruangan. Meskipun kaca jendela itu sudah buram tetapi masih terlihat jelas hamparan padang rumput yang luas di hadapannya. Perpustakaan itu berada di lantai tiga dari bangunan akademi yang berada di sayap timur sehingga masih utuh, tidak ikut runtuh seperti bangunan di sayap barat. Namun, jembatan yang mengubungkan gedung akademi dan pusat pemerintahan yang berada di sayap barat telah roboh. Kedua bangunan itu menjadi bangunan yang terpisah.
Semua aktivitas di kota itu menjadi lumpuh, baik itu perdagangan, penggarap ladang gandum, pekerja pemerintahan, maupun kegiatan belajar di akademi. Ana memfokuskan diri membantu di klinik di tempat ibunya bekerja selama dua minggu dan hanya bisa pergi ke perpustakaan dua hari sekali. Setelah dua minggu berkutat di klinik untuk membantu orang lain dan sekaligus juga menjauhkan dari rasa sedihnya, ia mulai lebih sering pergi ke perpustakaan. Tentu saja, izin sudah didapatkan dari Mr Rupert. Saat ini, tidak ada yang menjaga perpustakaan, hanya beberapa pasukan keamanan kota yang sesekali berpatroli ke gedung akademi. Tujuannya di perpustakaan itu hanya untuk mencari buku tentang bangsa-bangsa kuno yang mendiaminya benua Evergreen serta kekuatan sihirnya. Namun, karena sihir sudah dilarang maka buku-buku tentang itu pun sangat sulit ditemukan. apalagi mencari bangsa-bangsa kuno. Di dalam perpustakaan itu, ia tidak menemukan apapun. Seluruh katalog sudah dicarinya. Berurutan dari sudut ruangan hingga ujung ruangan tetapi tidak ada petunjuk apapun. Buku yang menurutnya dapat membantu adalah Kamus Bahasa Kuno dan sebuah peta benua Evergreen yang ia temukan. Selain itu, hanya terdapat buku-buku sejarah terbentuknya benua, astronomi, aritmatika, musik, dan geografi.
Hari sudah mulai sore. Ana menghela nafas.
"Haaaah… aku harus pergi dari kota ini."
Tubuhnya berbalik dari jendela besar itu dan menuju ke ruangan baca sambil meletakan buku yang ada di tanganya. Sebuah suara menyapanya,
"Ana, kau belum keluar? hari sudah sore."
Seorang lelaki paruh baya yang merupakan pasukan keamanan kota menyapanya. Ana memalingkan wajahnya menatapnya dan mengangguk.
"Aku sudah selesai. Aku akan meminjam buku ini." ujarnya sambil mengacungkan buku Kamus Bahasa Kuno dan sebuah peta di depan lelaki itu lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Baiklah, ingatlah besok kelas sudah mulai dibuka kembali," tegur lelaki itu berseru sambil memandang tubuh Ana yang berjalan menjauh. Ana menengok sejenak dan sebuah senyuman tersungging di wajahnya. Kakinya melangkah melanjutkan perjalanannya kembali.
Ia berjalan pulang melewati jalan setapak menuju rumahnya. Pagar rumahnya yang roboh sudah ditegakkan kembali. Sebagian rumahnya yang roboh sudah diperbaiki. Semua berkat para sukarelawan dari kota tetangga yang membantu memperbaiki rumah-rumah warga kota.
Baru saja ia melangkah masuk membuka pagar rumahnya, sesosok bayangan hitam di belakangnya menyerangnya. Sebuah pedang mengarah padanya. Ana segera berpaling sambil membelalakan matanya. Badanya bergeser ke kanan menghindari serangan itu. Kakinya menendang sebuah batang kayu yang digunakan untuk membangun pagar rumahnya. Batang kayu itu melayang ke atas dan secepat kilat tangan Ana menangkapnya. Ia mengayunkan kayu itu menangkis pedang yang mengarahnya.
Prak!
Kayu itu patah karena berbenturan dengan pedang. Namun, tubuhnya segera menunduk dan melayangkan kakinya ke arah kaki lelaki yang menyerangnya.
"Ouch. Sakit!"
Terdengar teriakan kesal suara seorang lelaki. Terlihat wajah tampan Nell yang kemerahan diantara sinar cahaya matahari yang menerobos sela-sela pepohonan. Wajahnya mengernyit kesakitan sambil mengusap kakinya yang terkena pukulan kayu itu. Kepalanya terangkat menatap Ana dan siulan penuh kekaguman terdengar.
"Wooow, kau ada kemajuan. Kau bisa mengenaiku."
Senyuman senang merekah di wajahnya.
Ana mendengus kesal melihat tingkah Nell dan dilemparkannya kayu yang patah itu ke tanah. Tentu saja ia ada kemajuan, hampir setiap malam sesudah pulang dari klinik atau perpustakaan, ia berlatih menggunakan pedang kayunya. Tengah malam baru ia akan tidur. Tanpa sepatah katapun menanggapi perkataan Nell, ia berbalik menuju pintu rumahnya.
"Hei, jangan marah. Aku cuma bercanda."
Nell menyarungkan pedangnya ke sarung pedang yang berada di pinggangnya kemudian berlari mengejarnya. Tangan Nell menyentuh pintu rumah Ana dan menghalanginya masuk ke dalam rumah. Ana berbalik dan memandangnya lekat-lekat. Tubuh mereka berhadapan.
"Aku tahu, aku tidak marah. Kau dari mana?"
Mata Ana memperhatikan baju yang dikenakan pemuda itu. Wajah tampan Nell tersenyum bangga. Ia mengenakan baju pasukan keamanan kota dan menggunakan padang dipinggangnya. Baju coklat gelapnya sangat cocok dengan rambutnya yang berwarna coklat. Ia tersenyum konyol sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Hari ini cuma ikut berpatroli saja."
Ana menganggukkan kepalanya lalu membuka pintu rumahnya. Nell mengikutinya dari belakang dan dengan santainya langsung duduk di kursi di dalam rumah. Serasa seperti rumah sendiri Nell di sana, karena ia sudah sejak kecil bermain di rumah itu. Nell mengingat masa kecilnya bersama Ana yang sering berkelahi dan wajah tomboy Ana saat masih kecil. Ia pun tersenyum.
Ana berjalan ke belakang dan mengambilkan minuman dingin padanya. Nell menatap wajah Ana lekat-lekat. Tangannya mengetuk-ketuk meja itu.
"Sekarang katakan, kenapa kau berlatih tiap malam?"
Ana mengangkat kepalanya dan menatap langsung mata Nell.
Senyuman senang Nell terkembang di wajahnya. "Kau pasti heran kenapa aku bisa tahu?"
Namun, raut wajah Ana tidak berubah.
"Tidak. Aku sama sekali tidak heran."
Wajah kecewa Nell langsung terlihat. Ia bergumam perlahan kepada dirinya sendiri, "Padahal aku sering memperhatikannya dan berjalan ke rumahnya untuk melihat apa dia sudah baik-baik saja."
Alis mata Ana terangkat mendengar gumaman Nell. Ia tersenyum. "Aku tahu. Terima kasih Nell."
"Jadi kenapa? Jangan katakan kau akan mendaftar sebagai pasukan pelindung kerajaan di ibu kota?"
Mata Nell melebar. Mulutnya terbuka dan ia bisa membayangkan tubuh kecil dan pendek Ana mengenakan baju seragam pasukan elite pelindung kerajaan yang kebesaran. Membayangkan hal itu membuat Nell tertawa terbahak-bahak.
Ana hanya terdiam. Melihat sikap diam Ana, senyuman di bibir Nell perlahan-lahan menghilang.
"Apa itu benar?"
"Tidak. Aku bukan akan mendaftar menjadi pasukan tapi ya, aku akan ke ibu kota."
"Apa!?"
Nell segera bangkit dari kursinya.