Jauh berada di ujung barat benua Evergreen. Di sebuah lembah pegunungan Bal-Hezer yang kelilingi danau yang tenang dengan tebing-tebing tinggi menjulang mengelilingi lembah itu. Air terjun yang jernih turun dari tepian tebing mengalir ke arah sungai di sekeliling lembah. Burung-burung camar berterbangan di atas tebing. Pohon-pohon pinus dan cemara yang berada di dasar lembah dan tanah yang subur serta taman yang indah mengelilingi lembah itu. Pemandangan lembah itu sangat indah sehingga ketika masuk ke dalam akan seperti berada di dunia yang lain. Namun, tentu saja, jika mata orang biasa yang melihat tempat itu hanya terlihat seperti lembah yang gersang karena ada tembok besar tak kasat mata mengelilinginya. Sihir pelindung melindungi lembah itu dari serangan luar. Hanya para penyihir dan bangsa kuno saja yang dapat melihat tembok pelindung berdiri tegak bersinar berwarna putih mengelilinginya dari dasar lembah hingga jauh ke atas menembus awan-awan.
Di tengah-tengah lembah berdiri sebuah bangunan menara yang menjulang tinggi hingga ke awan-awan. Ujung atas menara itu bahkan tidak dapat dilihat dari bawah lembah. Bangunan itu dinamakan Magic Tower. Menara itu merupakan tempat pusat kegiatan seluruh penyihir yang ada di benua Evergreen. Meskipun jika dilihat dari luar menara itu tidak terlalu besar tetapi saat masuk ke dalam, seluruh ruangan di menara itu merupak ruang dimensional yang di pimpin oleh Klan Wizard tertinggi yaitu Golden Wizard. Para wizard penjaga menempati lantai pertama, dan setiap lima lantai berikutnya. Para pelajar dan akademi menempati di lantai dua, para guru akademi, para peneliti, para ksatria wizard dan masih banyak banyak lagi hingga Klan Golden Wizard yang menempati beberapa lantai paling atas.
Seorang pemuda duduk di tepian jendela melengkung sambil memandang kumpulan awan-awan yang berada di bawahnya. Angin bertiup mengibarkan rambutnya yang berwarna kuning keemasan. Matanya menerawang jauh melihat petir dari awan yang berada di bawahnya menjangkau bumi. Tanganya meraba bekas luka panjang dari dadanya hinga perutnya.
Ia menghela napas panjang. Ingatanya melayang pada kejadian satu bulan yang lalu saat berada di puncak pegunungan di sisi timur. Alisnya berkerut menahan sakit. Tanganya memegang luka sabetan di dadanya. Darah keluar dari mulutnya, hembusan napasnya memburu dan matanya menatap dua puluh penyihir tingkat tinggi sihir hitam yang mengelilinginya. Sebelum para penyilir hitam itu menyerangnya kembali, kedua tanganya terangkat ke atas dan berseru
"Abrefrum tantrum!"
Pancaran energi berwarna keemasan keluar dari keluar tubuhnya.
Bledar…!
Tiba-tiba awan putih yang terpisah-pisah di langit mulai menyatu menjadi awan gelap di atas kepalanya dan ratusan petir kilat menyambar di sekelilingnya. Para penyihir hitam itu terbelalak terkejut. Mereka panik dan bersiap melarikan diri tetapi petir-petir itu menyambar meraka satu persatu tanpa henti. Raungan kesakitan terdengar dari para penyihir hitam dan mereka semua roboh di tanah. Perlahan-lahan awan gelap itu memutih dan berpencar kembali ke tempat semula. Tangan pemuda yang naik ke atas tadi terkulai di samping tubuhnya. Tubuhnya terjatuh di tanah. Darah kembali keluar dari luka di dadanya. Kekuatan besar tadi dapat mengundang para penyihir hitam yang lain, sedangkan ia terluka parah. Ia harus segera pergi dari tempat itu dan hanya bisa berharap pasukannya dapat menghentikan gerbang dimensi yang akan terbuka. Dengan sisa kekuatannya, cahaya keemasan melingkupi tubuhnya dan berteleportasi ke lokasi di dekat gerbang hitam.
Ia sampai di tepi hutan gelap kota kecil Wayshire. Tubuhnya rebah di tanah dan tidak dapat bergerak. Terluka parah dan hampir kehilangan nyawanya. Ia mendapatkan serangan dari penyihir hitam sehingga membuatnya lengah dan seorang penyihir hitam itu menyabetkan pedang panjang yang melukainya. Karena ia seorang Golden Wizard, maka senjata yang dapat melukainya pun bukan senjaga pedang biasa tetapi pedang itu diambil dari bahan metal yang sudah diberi sihir hitam selama ratusan tahun. Dengan sisa kekuatanya ia mengubah wujudnya menjadi seekor singa agar tidak menimbulkan kecurigaan pada penduduk sekitar. Saat ia merasa sangat lelah dan hampir saja pingsan, seorang gadis remaja menghampinya yang membuatnya terpaksa terjaga. Gadis itu sudah menolongnya hingga ia memiliki tenaga kembali ke Magic Tower.
Lingkaran-lingkaran cahaya berwarna keemasan muncul di depan Magic Tower. Seorang pemuda muncul setelah sinar tersebut perlahan menghilang. Pemuda itu membuka matanya perlahan dan tubuhnya terhuyung kerena teleportasi yang ia gunakan sedangkan tenaganya hampir habis. Bawahan setianya, Nazriel, langsung menangkap tubuhnya yang hampir jatuh.
"Yang Mulia,"
Tangan pemuda berambut emas itu terangkat menandakan bahwa ia baik-baik saja. Perlahan-lahan tubuhnya ditegakkan kembali dari pegangan Nazriel. Pintu gerbang Magic Tower terbuka lebar. Para penyihir penjaga berdatangan dan memberi hormat padanya. Pemuda itu mengangguk. Tiba-tiba muncul puluhan lingkaran cahaya teleportasi berada di belakangnya dan puluhan penyihir berjubah hitam. Pemuda itu berpaling melihat mereka. Puluhan penyihir itu berlutut dan salah seorang dari mereka membuka jubahnya. Ia memberi hormat.
"Yang Mulia Arlen."
"Dimana Edmund?" tanya pemuda itu padanya.
"Yang Mulia Edmund masih di selatan."
"Bagaimana dengan gerbang di selatan?"
"Berhasil dicegah. Tapi gerbang dimensi di timur tidak sempat dicegah."
"Sial!"
Sang pemuda berambut emas mengumpat dengan amarah yang luar biasa. Tangannya mengepal erat dan matanya merah membara.
"Mereka berani bertindak saat kita lengah!"
Puluhan penyihir menunduk dengan wajah yang mengeras. Keheningan menyelimuti suasana itu. Tidak ada satu pun yang menyangka bahwa para pengikut sihir hitam akan bangkit dan mencari kesempatan untuk membuka gerbang dimensi di benua itu kembali. Dua gerbang dimensi sihir terbuka pada saat bersamaan sehingga menimbulkan getaran kekuatan dasyat yang dirasakan oleh para penyihir. Penyihir Magic Tower segera mereka mengutus orang-orang terbaik menuju lokasi itu untuk mencegahnya. Kakak Arlen, Pangeran Edmund serta pasukan penyihir terlatih menuju di sisi selatan benua itu sedangkan Arlen memimpin pasukan menuju di sisi timur. Namun, sebelum sampai di daerah Wayshire yang berada bagian timur, pasukan yang dipimpin Arlen mendapatkan serangan dari para pengikut sihir hitam sehingga gerbang dimensi di timur tidak berhasil dicegah. Ia menyadari bahwa kurangnya kesiapan dari Magic Tower mengambil peranan akan hal itu. Mereka semua berpikir bahwa para penyihir hitam berserta pengikutnya sudah musnah pada peperangan besar ratusan tahun yang lalu. Namun, hari itu mereka sadar bahwa sisa-sisa dari pengikut sihir hitam masih ada dan mulai bangkit kembali.
Wajah masam terlihat jelas di wajah tampannya. Alisnya berkerut. Ia berjalan masuk ke dalam menara. Ruangan lobi yang besar serta atap-atap melengkung berwarna emas menyambutnya. Para penyihir penjaga yang berada di ruangan itu mengangguk. Meja besar dan terdiri dari dua orang penyihir yang mejaga pun mengangguk padanya. Suasana hatinya yang sedang buruk membuatnya berjalan tanpa memperhatikan mereka. Kakinya melangkah menuju sebuah lift di sudut ruangan.
Saat tangannya akan menyentuh pintu lift, tiba-tiba pintu itu terbuka dan dilihatnya seorang lelaki tua yang menggunakan jubah warna ungu. Wajah keriput terlihat dengan jelas meskipun sisa-sisa ketampanan masih terlihat. Orang tua itu memiliki warna rambut yang sama dengan pemuda itu, Rambut panjang lelaki tua itu terikat di belakang kepalanya. Matanya terbuka lebar dan seruan kekhawatiran keluar dari mulutnya.
"Arlen Xavier!"
"Kakek."
Tangan keriput sang kakek memegang kedua lengan pemuda itu.
"Kau terluka. Ayo cepat kemari aku obati lukamu."
Dengan segara sang kakek menarik tangan pemuda itu masuk ke dalam lift. Tanganya menekan tombol di dalam lift dan keluarlah sinar keemasan. Saat itu juga, lift langsung naik ke atas dengan kecepatan tinggi. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di puncak menara. Pintu lift terbuka dan mereka mendapati sebuah ruangan kamar yang megah. Kamar yang luas dengan pilar-pilar tinggi dan sebuah tempat tidur besar berada di tengah-tengahnya. Karpet permadani tebal berada di lantai itu. Lampu gantung dengan lilin besar melingkar di dinding.
Tangan sang kakek melambai dan lilin itu menyala menerangi ruangan. Sang kakek yang menopang pemuda itu menuntunnya ke tempat tidur. Pemuda itu mengernyitkan alis sambil duduk.
"Maafkan aku, Yang Mulia, tidak berhasil menjaga yang mulia dan menyebabkan yang mulia terluka."
Sang jendral menunduk dan berlutut di hadapan pemuda itu. Pemuda itu memandangnya sejenak kemudian tangannya terangkat memberi tanda agar semua orang dalam ruangnya itu bisa meninggalkannya. Sang jendral dan Nazriel keluar dari ruangan itu setelah memberi hormat padanya pemuda serta lelaki tua di sampingnya. Setelah pintu ruangan tertutup, Pemuda itu menghela napas panjang.
"Kakek, aku tidak berhasil menghentikannya,"
Pemuda itu berwajah sedih. Wajah sang kakek melembut mendengar perkataannya.
"Kali ini memang kita lengah tetapi kita harus lebih bersiap di kemudian hari. Sekarang, biar kulihat lukamu."
Tangan sang kakek berada di depan lukanya yang terbalut perban. Sinar keemasan keluar dari tanganya menyelimuti tubuh Arlen. Rasa hangat menyelimuti tubuhnya pemuda itu dan ia menutup matanya. Saat rasa nyaman mulai ia rasakan, tiba-tiba nyeri muncul dari telapak tanganya. Matanya terbuka.
Sang kakek yang sedang mengobatinya berhenti. Pandangan matanya beralih ke telapak tangan Arlen yang muncul sinar biru kehitaman membentuk simbol melingkar besar, tanda bintang, dan lingkarang kecil di tengahnya.
Sang kakek langsung meraih tangannya dengan tatapan mata tajam.
"Arlen, janji apa yang sudah kau buat?"
Pemuda itu membalas tatapan mata sang kakek dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Janji?"
"Janji yang akan berlaku selama kau hidup." jawab sang kakek dengan serius. Ia mengangkat tangan Arlen dan memperlihatkan telapak tangannya yang mengeluarkan simbol bercahaya. Mata pemuda terbelalak melihat telapak tangannya.