"Ana…"
Suara ibunya yang lembut menyapanya. Ana berpaling memandang ibunya yang tersenyum bahagia. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman yang berada di depan sebuah kapel di tepi padang rumput. Bangunan kapel itu seperti kubah yang melengkung dengan ukiran yang indah. Disampinnya terdapat menara dengan lonceng yang besar.
Suara lonceng dari menara itu pun berdentang. Setelahnya, suara musik terompet pun terdengar dengan nyaring, melengking tinggi, dan meliuk-liuk. Perpaduan suara itu sangat merdu. Para pemusik meniup terompet itu dengan riang. Penduduk kota pun menari membentuk sebuah lingkaran yang menghubungkan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Apabila ada orang yang ingin masuk ke dalam lingkaran tarian, mereka berputar berpindah pasangan menari agar orang itu dapat masuk ke lingkaran tarian tapi merusak tarian mereka. Penduduk kota itu menyanyi dengan riang.
Ana melihat ke arah Jenice yang sedang menari di tengah-tengah lingkaran dengan indah. Kecantikannya memang luar biasa dan tarianya juga sangat memikat. Senyumannya menggoda para lelaki yang sedang duduk-duduk di kursi taman di depan kapel. Dengan segera pada pemuda bergejolak dan berdiri dari kursi mereka. Mereka membetulkan pakaian mereka dan berlomba mengajak menari bersamannya.
Sang ibu tertawa melihat tingkah laku Jenice. Kepalanya menoleh ke arah Ana sambil menunjuk Jenice.
"Lihatlah, dia begitu cantik."
Sang Ibu memandang Jenice yang sedang tertawa melihat reaksi para pemuda di hadapannya. Salah seorang pemuda berambut bergelombang berhasil masuk ke dalam lingkaran tarian dan mengulurkan tangan mengajaknya menari. Jenice tersenyum bahagia dan menerima uluran tangan itu. Mereka mulai menari bersama.
Ana memandang Jenice kemudian bergumam perlahan, "Iya, dia sangat cantik."
Sang ibu menaikan alisnya dengan heran mendengar suara tidak bersemangat darinya.
"Hei, kenapa anak ibu bersedih? kau tidak senang di hari perayaan ini?"
"Aku senang," ujarnya santai kemudian mengangkat bahunya dengan ragu, "Hanya saja, banyak orang membandingkanku dengan kecantikan Jenice. Aku tidak secantik dia dan tidak pandai bergaul seperti dia."
Sang ibu memandangnya dengan sedih. Tanganya langsung meraih wajah Ana dan memegangnya dengan kedua tanganya.
"Kau juga cantik Ana."
"Aku tahu aku cantik, tapi… "
"Tidak ada tapi, jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Setiap orang di dunia ini cantik dengan kelebihannya masing-masing. Jenice pandai bergaul dan menari. Dia menggunakan segala pengetahuan yang ia dapatkan hanya untuk merias wajahnya dari pada pembelajarannya. Kau juga cantik Ana, kau pandai dalam mata pelajaranmu dan kau pandai dalam berkelahi, menggunakan pedang dan panah."
Ana terdiam sesaat sebelum tertawa terpingkal-pingkal mendengar penjelasan ibunya.
"Aku pandai membuat onar, ibu. Apa ibu ingat?"
Sang ibu tersenyum menyetujuinya,
"Tentu saja ibu ingat, kau juga pembuat onar. Waktu kecil kau selalu mengajak berkelahi anak-anak lelaki seumuranmu dan memukuli mereka."
Sang ibu hanya menggelengkan kepalanya sambil membuang nafas panjang. Mereka saling menatap kemudian tertawa bersama mengingat kenangan masa kecil. Tangan sang ibu menyentuh pundak Ana. Matanya menatap mata Ana lekat-lekat.
"Ana, ingatlah, tidak perlu membandingkan dengan orang lain. Kau spesial apa pun kata orang. Dan ibu percaya ada masa depan yang luas membentang dihadapanmu. Kau akan melakukan perkara-perkara yang besar jauh melebihi apa yang bisa kau pikirkan."
Ana menatap sejenak wajah ibunya dan mengangguk perlahan. Sang ibu kembali tersenyum dan menarik tangan Ana untuk bangkit berdiri dan bergabung dengan tarian perayaan.
"Oh, ayolah, senyum Ana, bersenang-senanglah hari ini!"
Ana membuka matanya perlahan-lahan meskipun terasa berat. Kenangan akan percakapan dengan ibunya yang masuk ke dalam mimpi membuat air matanya kembali mengalir. Kedua tangannya menutupi wajahnya dan mengusap air matanya. Matanya bengkak karena tangisan terbuka. Ia menatap langit-langit atap yang terbuat dari kayu. Wajahnya berpaling dan pandanganya menyapu sekeliling kamar itu. Sebuah gelas air mineral dan sebuah buku berwarna coklat tebal berada di meja di samping tempat tidurnya. Dinding batu bata yang berwarna coklat kemerahan. Almari kayu yang besar dan gantungan baju yang tersampir baju anak laki-laki berada di samping pintu kamar itu.
Ia berusaha bangkit dari tidur dan duduk di kasur. Rasa sakit dari luka di lengannya yang terabaikan, saat ini mulai ia rasakan. Ia mengernyit merasakan nyeri dari lenganya. Matanya melihat lengan yang terkena cakaran monster semalam sudah terbalut perban dengan rapi. Disentuhnya luka itu perlahan. Lukanya tidak terlalu dalam. Ia mulai mengingat kejadian malam itu. Kota yang tebakar, bangunan kota yang runtuh, monster yang menyerang, ibu dan kakaknya yang lenyap, dan raungan tangisannya yang nyaring. Air matanya kembali mengalir mengingat hal itu tetapi segera ia menghapusnya kembali.
Teringat Nell yang memeluknya dengan erat dan ia yang menangis sampai tertidur dalam pelukannya. Nell yang mengendongnya menuju kamarnya dan menidurkannya di tempat tidur. Ana menghela napas panjang. Kakinya melangkah dari tempat tidur. Tanganya membuka pintu kamar Nell dan berjalan keluar.
Ia melihat seorang pelayan wanita di kediaman Tuan Swagyer yang sedang membawa roti panjang di sebuah nampan menuju ruang makan. Di letakkanya roti itu di meja. Ana mengikutinya ke ruang makan. Wanita itu memberikan sebuah roti padanya. Ana memandangnya sejenak kemudian menerima roti itu sambil mengucapkan terima kasih dengan berbisik.
"Kau sudah bangun?" sapanya dengan lembut. Ana mengangguk sambil duduk di kursi. Wanita itu memberikan segelas air putih padanya. Ana bertanya, "Dimana semua orang?"
"Mereka semua berada di pemakaman di atas bukit. Banyak warga kota yang meninggal akibat serangan monster tadi malam dan mereka menguburkannya di sana."
Wanita itu menggelangkan kepalanya sambil melanjutkan perkataannya, "Kejadian semalam benar-benar seperti mimpi buruk. Aku bahkan tidak percaya hal itu terjadi. Banyak warga desa juga yang menghilang ke dalam lubang hitam. Tubuh mereka langsung lenyap seperti ditelan monster besar. Mungkin mereka semua sudah meninggal."
Wanita itu menghela nafas panjang dengan sedih.
"Walikota kita, Tuan Swagyer sedang berada di atas bukit sekarang untuk memimpin penguburan massal untuk warga kota yang meninggal. Aku dengar jumlah penduduk kota kita saat ini hanya tersisa sepertiga saja dari total sebelumnya."
Ana terdiam mendengar penjelasan dari wanita itu sambil memakan roti yang diberikannya. Roti itu keras tetapi ia juga tidak memiliki selera untuk makan.
"Aku minta maaf atas kehilangan Ana. Padahal ibumu sangat baik dan sering membantu warga kota dan kakakmu juga sangat ceria. Kita semua berharap mereka bisa beristirahat dengan tenang."
Ana memandangnya dan mengangguk perlahan. Ia mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang sudah diberikan padanya. Ana menyelesaikan roti itu dan meminum air yang ada di meja kemudian bangkit dari kursinya.
"Terima kasih makanannya, Bibi."
"Kau akan kemana?"
"Ke pemakaman," jawabnya singkat sambil melangkahkan kakinya. Sesaat sebelum keluar dari pintu ruangan, langkah kakinya berhenti. Tanpa menoleh ke belakang ia bergumam lirih, "Mereka masih hidup. Ibu dan kakakku masih hidup. Aku bisa merasakannya."