Ana berjalan melewati jalan setapak sambil memandang hamparan luas padang rumput yang hijau. Sisa-sisa embun pagi yang basah di rerumputan terlihat seperti butiran-butiran mutiara bening yang bercahaya oleh pantulan sinar mentari. Kesegaran udara pagi terasa di seluruh tubuhnya. Matanya tertutup sejenak. Berat rasa hatinya meninggalkan Kota Wayshire. Namun, ia percaya, suatu hari nanti, ia pasti akan kembali ke kota itu dan berkumpul dengan keluarganya. Kakinya berjalan menyusuri jalanan setapak menuju pusat kota dan melewati rumah-rumah penduduk. Jalan setapak itu lenggang dan tidak ada seorang pun yang berpapasan denganya.
Dari kejauhan terlihat bangunan besar Akademi Wayshire. Langkah kakinya berhenti. Matanya menatap lurus bangunan itu dengan penuh kesedihan seiring dengan angin yang berhembus mengibarkan rambut gelapnya. Ia menghembuskan napas panjang kemudian melangkah menuju pohon sycamore yang sering menemani tidur siangnya. Tangannya terulur menyentuh batang pohon yang tumbang itu.
"Ana?"
Terdengar suara seorang lelaki tua dari belakangnya. Ana memalingkan wajahnya dan mendapati Mr. Rupert sudah berdiri di belakangnya. Mata Mr. Rupert memandang Ana dengan heran karena ia sudah berada di halaman akademi padahal hari masih sangat pagi. Tanganya terangkat membetulkan letak kaca matanya dan berjalan menghampirinya dengan terpincang-pincang. Meskipun kakinya sudah sembuh tetapi sisa-sisa luka di kaki yang patah masih dirasakannya.
"Bukankah masih terlalu pagi untuk ke kelas?" ujarnya pada Ana.
Ana menatap Mr. Rupert sejenak kemudian menundukan kepalanya.
"Uhmmm, Aku tidak ikut kelas hari ini. Maafkan aku, Mr. Rupert. Aku hanya melewati akademi untuk berpamitan saja dengan akedemi ini."
"Kau akan pergi?" Mr. Rupert menaikan alisnya heran. Ana mengangguk dengan segera.
"Ke ibu kota."
Mr. Rupert terlihat terkejut mendengar jawaban singkat Ana lalu perlahan-lahan menghela napas panjang. Matanya melembut memandangnya dan tanganya menyentuh bahunya. Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu hal padanya tetapi Ana sudah mendahuluinya.
"Aku tahu apa yang akan Mr. Rupert katakan tapi aku tidak akan merubah keputusanku."
Ana menatap mata Mr. Rupert dengan penuh keteguhan yang tidak tergoyahkan. Kembali hembusan napas panjang keluar dari mulut Mr. Rupert dan matanya memandang wajah Ana lekat-lekat.
"Ana, apa yang kau pikirkan? itu sangat berbahaya! Oh, seharusnya aku tidak memberitahukan hal itu padamu. Lagipula, kemungkinan kecil untuk bisa menemukan bangsa kuno." Mr. Rupert berseru dengan khawatir.
"Aku tahu." ujar Ana santai.
Wajah Mr.Rupert yang khawatir perlahan-lahan melembut.
"Berhati-hatilah dalam mencari petunjuk untuk bangsa kuno dan sihir, Ana. Itu hal yang riskan."
Ana mengangguk.
"Jika kau tidak menemukan apapun di ibu kota, kembalilah ke kota ini."
"Aku pasti kembali."
Mr. Rupert menghembuskan napas panjang kembali kemudian mengangkat tangan memberkatinya.
"Semoga berhasil, Ana. Aku mendoakanmu. Kiranya diberikan perlindungan dalam perjalananmu."
Ana menunduk sejenak menghormatinya kemudian tersenyum ke arah Mr. Rupert.
"Terima kasih, Mr. Rupert."
Tanganya mengangkat tas ransel untuk bersiap lalu berpaling. Kakinya melangkah menjauhi pohon sycamore dan Mr. Rupert. Ana melanjutkan perjalanannya. Ia bimbang sejenak. Untuk pergi ke kota terdekat yang bernama Iberian, ia harus mengambil jalan memutar, melintasi pusat Kota Wayshire, menuju jalan yang berada di pinggir hutan kemudian barulah sampai di kota itu. Namun, ia juga bisa mengambil jalan lain dengan cara menerobos jalan setapak di dalam hutan gelap di dekat rumahnya, melewati desa tak bernama dan langsung sampai di Kota Perlaine, tanpa melewati kota Iberian. Hal itu akan membuatnya jauh lebih cepat sampai di ibu kota. Ia kembali menuju jalan setapak yang mengarah ke hutan gelap. Di perjalannnya, ia melewati ladang gandum milik Tuan Swagyer. Kakinya berhenti. Alisnya berkerut. Ia bisa membayangkan keterkejutan di wajah Nell, kebingungan, kemarahan, dan kekecewaannya jika ia mengetahui bahwa Ana telah pergi ke ibu kota tanpa bersamanya. Ana membuang napas.
[Nell pasti mengamuk,] pikirnya.
Ia masih teringat masa kecil bersamanya. Nell semasa kecil sangat lemah dan cengeng sehingga sering mengalami perundungan oleh teman-temannya. Diingatnya saat Nell kecil yang sedang terduduk sambil menangis di rerumputan. Di hadapannya empat orang anak yang jauh lebih besar darinya tertawa terbahak-bahak sambil melemparkan kotoran kuda padanya. Mereka mengolok-oloknya.
"Lihat, Nell nangis lagi, cengeng!"
"Hahahaha…"
Suara tawa mereka semakin keras dan tangisan Nell semakin menjadi. Ingusnya keluar memenuhi wajahnya. Ana yang saat itu sedang berjalan pulang kembali ke rumahnya, tak sengaja melihat kejadian itu. Ia yang tomboy dan sering menantang anak laki-laki sebayanya tidak senang melihat anak lain ditindas. Segera kakinya berlari dan menghadang anak-anak pengganggu itu. Tubuhnya berdiri di hadapan Nell yang menangis sesenggukan.
"Hei, kalian! Beraninya menganggu yang lemah!" terikan Ana menantang mereka.
Keempat anak bongsor itu terbengong sejenak melihat seorang anak gadis kecil berambut pendek seperti lelaki berteriak kepadanya. Tawa terbahak-bahak langsung pecah pada ke empat orang itu. Ana memandang mereka dengan kesal. Kantong plastik yang berisi sarang lebah hasil tangkapannya hari itu yang diminta oleh ibunya dibukanya.
"Lihat apa kalian masih bisa tertawa."
Tangannya membuka kantong itu dan melemparkankannya kepada empat anak itu. Empat anak yang terkena sarang lebah itu terkejut saat ratusan lebah kecil keluar dan mengelilingi mereka. Mata mereka terbelalak dan mulut mereka terbuka lebar karena terkejut. Mereka semua berteriak panik sambil lari terbirit-birit dan puluhan lebah mengikuti mereka. Segera tangan Ana meraih tangan Nell dan menariknya berdiri. Mereka berlari menjauhi tempat itu. Sesampainya di sebuah padang rumput yang cukup jauh dari lokasi mereka sebelumnya, Ana melepaskan tangan Nell dan mulai tertawa terpingkal-pingkal dan berguling-guling di tanah. Nell tercengang melihat hal itu sehingga melupakan tangisnya.
"Hahahaha…. kau lihat wajah mereka? lucu bukan?"
Ana berseru disela-sela tawanya sambil mengusap air mata yang keluar dari matanya karena lelucon yang ia buat. Nell yang masih tertegun perlahan-lahan tersenyum. Sejak saat itu, Nell sering mengikutinya kemanapun ia pergi. Suatu ketika, Ana bertemu kembali dengan keempat anak nakal itu dan mereka mengajaknya berkelahi. Dengan senang hati Ana meloncat ke arah mereka dan memukulnya. Salah satu anak itu berteriak dan membalas pukulan Ana.
Tubuh Ana yang kecil tidak sempat menghindar sehingga terpelanting jatuh di tanah. Nell yang melihat hal itu mulai berlari dan memukul salah seorang dari keempat anak nakal sambil berteriak mengumpulkan keberaniannya. Pukulan itu mendarat dan memantul di perut gemuk anak yang penuh dengan lemak. Mata Nell terbuka lebar melihat hal itu. Si anak menyeringai melihat Nell sedangkan Nell berkeringat dingin sambil mundur selangkah. Senyuman kecut muncul di wajahnya saat melihat senyuman lebar anak gendut itu sambil melayangkan pukulannya dan membuat Nell terjatuh. Ana berpaling memandang Nell dan tanganya menangkap Nell yang terhuyung ke belakang. Mereka terlibat dalam perkelahian itu sampai ada seorang pasukan keamanan kota yang tak sengaja melewati tempat itu dan berseru untuk menghentikan mereka. Perkelahian itu berhenti dan mereka semua kabur ke segala penjuru.
Tangan Ana menangkap tangan Nell dan mengajaknya berlari. Hembusan angin menerpa wajah mereka. Sesampainya di jalan tepi hutan yang sudah cukup jauh, Ana melepaskan tangannya. Tubuh Nell langsung terkulai di tanah, pingsan.
"Dasar! tidak bisa berkelahi malah ikut-ikutan. Siapa suruh mengikuti aku terus?"
Tangan Ana mengusap rambutnya dengan kesal. Darah perkelahian ada di seluruh bajunya. Ia mendengus kesal dan melihat Nell yang pingsan di tanah. Ia berjongkok dan memiringkan kepalanya melihatnya. Jari telunjuknya menyentuh pipi bulat Nell. Nell mengernyit.
"Bangun!" seru Ana.
Nell hanya mengerutkan alis tetapi tidak bergerak dari tempatnya. Ana membuang napas kesal. Tangannya mengangkat tubuh Nell dan menggendongnya.
"Ah, menyebalkan!"
Ana berseru dengan kesal sambil bersusah payah menggendong Nell di belakang punggungnya. Nell terbangun menyadari sudah berada di punggung Ana. Mulutnya terbuka, suara lirih terdengar dari mulutnya.
"Ana, aku akan belajar berkelahi supaya kalau besar aku bisa melindungimu juga." gumamnya lirih.
"Terserah," ujar Ana kesal.
***
Angin berhembus menerpa wajahnya. Dipalingkan pandangan matanya dari hamparan ladang gandum yang ada depannya. Ingatan masa kecil bersama Nell membuatnya tersenyum. Nell kecil yang cengeng dan lemah saat ini sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, tegap, dan pandai berkelahi. Bahkan Nell lebih hebat darinya sekarang dan ia sering kewalahan menghadapinya.
Bukanya ia tidak mau Nell mengantarkannya ke ibu kota. Hanya saja, ia tidak bisa mengajaknya pergi mengikuti keinginanya untuk mencari cara menyelamatkan ibu dan kakaknya. Ia menyadari jika mungkin perjalanannya tidak akan berhasil. Kekuatan tidak dimilikinya. Pengaruh dan pengetahuan untuk menyelamatkan keluarganya tidak dimilikinya. Ia tidak memiliki apapun saat ini sedangkan bahaya dan masa depan yang tidak pasti menyertai di dalam perjalanannya. Mana mungkin ia membahayakan Nell yang ia sayangi dalam hal itu. Ia tersenyum.
"Aku harap kau akan baik-baik saja, Nell. Selamat tinggal."
Bisikan lirih keluar dari bibir merahnya. Ana membalikan tubuhnya dan melangkahkan kaki dari tempat itu.