Anasthasia berjalan melewati jalan setapak meninggalkan Kota Wayshire. Ini merupakan perjalanannya yang pertama keluar dari kota tempat ia dilahirkan. Dengan langkah kaki yang pasti, ia menelusuri jalan yang berbatu di dalam hutan gelap. Hewan-hewan kecil berlompatan menyeberang jalan dan kelinci mengintip dibalik semak dengan malu-malu. Bunga-bunga liar tumbuh di sepanjang jalan dan ular-ular membelit dahan-dahan yang menjuntai ke arah jalan. Ia memperhatikan ular itu sejenak kemudian segera melanjutkan perjalanan dengan menghindarinya. Kota tetangga yang akan ia tuju adalah Kota Perlaine. Sayangnya, ia harus melewati sebuah desa tak bernama yang terkenal dengan orang-orang tidak ramah. Orang-orang di desa itu terkenal sangat pemarah, berbeda dengan penduduk Kota Wayshire yang terkenal ramah. Sebenarnya, bisa saja ia tidak melewati desa itu. Namun, ia harus memutar melewati jalanan pinggir hutan di sisi lain dari kotanya menuju kota Iberian terlebih dahulu barulah sampai di Kota Perlaine. Jarak tempuh yang jauh dan memutar membuatnya enggan melewati Kota Iberian. Ia mempercepat tujuannya ke Kota Perlaine dengan menerobos jalan di hutan menuju desa tak bernama.
Setelah setengah hari berjalan menuysuri jalan setapak, rasa lelah pun ia rasakan. Ia duduk di sebuah batu besar di tepi jalan dan membuka tasnya. Roti daging yang ada di dalam tasnya dimakannya dengan lahap. Ia menghela napas.
[Saat ini pasti Nell sedang heboh mengenai dirinya dan marah padanya,] pikirnya.
Segera digelengkan kepalanya. Ia harus berhenti mencemaskan Nell dan fokus pada tujuannya. Pandangan matanya melihat di kejauhan telah berganti dengan hamparan tanah kering. Setelah merasa istirahatnya sudah cukup, dilanjutkannya perjalanannya. Ia melangkahkan kaki kembali menyusuri jalan setapak dan menemukan sebuah desa. Desa itu mempunyai tanah yang tidak rata dan begitu kering. Tanah tempat ia berpijak terlihat berwarna putih pucat dan pecah-pecah, seperti tidak pernah turun hujan. Ia mencoba menuangkankan air ke tanah dan tetesan air itu langsung terserap ke dalam tanah, secepat menyerap ke dalam pasir. Pohon-pohon di kota itu kering, mereka tegak berdiri dan tidak memiliki daun. Bunga-bunga pun tidak ingin tumbuh dan rumah-rumah tersusun berantakan.
Ia melihat seorang lelaki keluar dari dalam rumahnya, bajunya tipis, dan ia memakai penutup kepala untuk melindungi dari terik matahari. Lelaki tua itu membawa kapak dan berjalan ke samping rumahnya. Tumpukan-tumpukan kayu menggunung tinggi dan balok kayu yang telah di potong berserakan di tanah. Ia terlihat sangat kerepotan. Ana berjalan perlahan-lahan mendekatinya.
"Maaf, apakah anda -" belum selesai ia berbicara, lelaki itu berpaling ke arahnya dengan cepat dan membentak.
"Maaf, maaf! Tidak lihat aku sedang kerja!" ujar lelaki itu marah. Ia mengacungkan kapaknya ke arah Ana. Ana terkejut dan mundur beberapa langkah. Lelaki itu menaki-maki marah kemudian berpaling kembali ke pekerjaannya. Ana terpaku sejenak dan berdecak kesal.
"Aku kan hanya bertanya, harusnya tidak perlu marah," gerutu Ana perlahan.
Ia kembali menyusuri jalan itu dan melihat ke sekeliling. Pandanganya terhenti di sebuah sumur yang besar di sudut jalan. Seorang ibu sedang menimba air dengan kesusahan. Ana yang melihatnya berjalan menuju ke arahnya. Ia akan mengisi botol air minumnya. Sang ibu yang melihat Ana berjalan ke arahnya mendengus kesal dan berujar dengan ketus.
"Siapa kau? sedang apa kau ke sini?"
"Aku mau mengambil air. Ibu terlihat sedang kesusahan, mari aku bantu mengambil airnya."
Ana membalas pertanyaannya dengan tersenyum. Wajah ibu itu cemberut. Namun, tetap menyerahkan ember yang ada di tangannya. Ana menerima ember itu dengan tersenyum. Ia segera melemparkan ember itu ke dalam sumur dan memegang talinya dengan erat. Dipenuhinya ember besar milik ibu itu terlebih dahulu. Setelah sudah cukup penuh, ia berhenti. Sang ibu mengambil embernya dan pergi begitu aja tanpa mengucapkan terima kasih. Ana memandangnya dengan heran kemudian menghela napas. Orang-orang di desa itu sungguh pemarah dan tidak ramah.seakan-akan rasa kemarahan telah mengakar begitu dalam di desa sehingga sedikit api saja akan membakar habis baik pepohonan kering di desa itu maupun orang-orang di desanya. Ana melanjutkan menimba air untuk memenuhi botol minumnya. Setelah selesai, kakinya melangkah meliwati tengah desa. Rumah-rumah yang kecil berjejer-jejer rapi di desa itu. Orang-orang berlalu lalang melakukan aktivitas mereka masing-masing. Ana berjalan menuju ke arah barat, saat seorang anak lelaki yang berumur sekitar 10 tahun berkulit coklat berlari menabraknya.
"Tolong aku, orang-orang itu akan memukulku."
Anak kecil itu bersembunyi di belakangnya. Belum sempat Ana memahami apa yang terjadi, segerombolan orang berlari menghampirinya. Seorang lelaki bertubuh besar maju beberapa langkah di depan Ana.
"Dia pencuri, serahkan anak itu!" dengan marah lelaki itu menunjuk anak kecil yang bersembunyi di belakangnya.
Anak kecil itu berseru menyanggahnya "Aku bukan pencuri. Aku tidak mencuri roti itu!" serunya tak kalah kerasnya.
Anak kecil itu menarik baju Ana dan memandang wajahnya dengan tatapan mata yang berkaca-kaca.
"Aku benar-benar tidak mencuri roti itu."
Ana menatap wajah anak kecil itu sejenak.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, apakah bisa kita bicarakan baik-baik?" ucapan Ana tidak didengar sama sekali oleh gerombolan orang-orang itu.
"Tangkap anak itu!"
Seru lelaki tadi menyuruh orang-orang yang lain bergerak maju menangkap mereka. Ana yang terjebak diantara mereka tentu saja tidak ingin tertangkap. Ia segera menghindari tangkapan seorang lelaki yang berusaha menangkapnya. Tubuhnya berputar dan kakinya melayang tinggi menyentuh leher seorang lelaki dewasa dan menjatuhkannya ke tanah itu. Tiga orang lelaki lain maju ke arahnya. Ana menunduk dan mengayunkan kakinya membenturkan kaki orang dewasa itu sehingga membuatnya oleng dan jatuh. Seorang lagi melebarkan kedua tangannya dan berusaha menangkapnya dari belakang. Ana berlari ke depan dan menjejakan kakinya ke dinding kayu yang berada di depannya. Tubuhnya melompat, kakinya mendarat di pundak lelaki itu sehingga membuatnya jatuh tertelungkup di tanah.
Anak kecil yang ditolongnya tadi melihatnya dengan mulut terbuka lebar. Ia mengagumi gerakan lincah Ana yang menjatuhkan tiga orang dewasa. Ana segera berpaling melihat anak itu dan menarik tangannya untuk berlari bersama. Lelaki bertubuh besar yang memberikan perintah untuk menangkapnya memaki ketiga orang yang terjatuh di tanah dan segera memerintahkannya untuk mengejarnya. Tiga orang lelaki yang berada di tanah berdiri dan berlari mengejar mereka. Ana dan anak kecil itu berlari melewati jalan berbatu yang berada di desa itu.
"Apa-apaan ini?" gerutu Ana kesal dalam pelariannya.
Anak kecil yang berlari di sampingnya menunjuk sebuah gang sempit.
"Ke arah sana, Kak!"
Tanpa pikir panjang Ana mengikuti keinginan anak itu dan berbelok ke kanan menuju gang sempit untuk bersembunyi di belakang rumah kayu yang menjorok ke depan. Mereka berdua menahan napasnya. Tiga orang lelaki tadi berlari melewati gang sempit. Beberapa saat kemudian suara tiga orang lelaki tadi sudah tidak terdengar. Ana membuang napas panjang.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya pada anak kecil itu. Ana berjongkok dan kedua tanganya menyentuh pipi anak kecil itu.
Anak kecil itu mengangguk. Senyuman merekah di wajahnya. Tanganya langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah roti dengan senang. Dengan rakus ia memakan roti itu. Ana melihatnya dengan heran.
"Roti? bukankah kau bilang tidak mencuri roti?"
"Aku berbohong," ujar anak kecil itu dengan santai. Ana terperangah.