"Ayah!"
Suara Tobias membuat lelaki bertubuh besar yang sedang memperhatikan Ana berpaling. Pandangan mata yang sebelumnya melihat Ana beralih ke wajah Tobias. Sang ayah menghampirinya. Tobias memberikan tas kecil pada ayahnya.
"Ibumu mengatakan sesuatu?"
"Iya, ibu meminta ayah pulang nanti sore."
Sang ayah mengangguk sambil menerima tas kecil itu dan membukanya. Dua buah roti terlihat dari dalam tas kain. Tangannya yang besar mengambil satu roti dan memasukannya ke dalam mulutnya sedangkan roti lain diberikannya kepada anaknya. Wajah Tobias seketika berubah menjadi cerah saat menerima makanan itu. Ia buru-buru memasukan ke dalam tasnya.
"Apa kau akan membantuku lagi?"
"Tidak ayah, aku mengajak temanku berkeliling Perlaine. Sore nanti aku pulang bersama ayah."
"Baiklah." jawab ayahnya santai.
Ana yang sedari tadi tertarik memperhatikan pedang yang ada di depannya berpaling mendengar pembicaraan mereka. Kakinya melangkah menghampiri mereka. Senyuman dan anggukan kepala diberikanya ke pada ayah Tobias. Sang ayah mengangguk membalas salamnya.
"Kuperhatikan kau melihat pedang dari tadi?"
Ana mengangguk dengan senang. Ia memang memperhatikan semua pedang yang ada di toko itu. Dari pedang yang indah sampai dengan pedang yang sederhana. Tanganya menunjuk ke arah sebuah pedang penjang sederhana yang dipajang di dinding.
"Pedang di toko ini semuanya dari bahan yang bagus." Ana tersenyum dengan mata yang berbinar binar
"Mata yang bagus. Semua pedang di sini dengan kualitas terbaik meskipun pedang yang sederhana sekalipun."
"Apakah mahal?"
"Tentu saja. Minimal 200 ditra."
Ana mengerutkan alisnya. Ditra merupakan mata uang paling tertinggi di daratan itu. Bisa dibilang 1 ditra sama dengan 10.000 binner. Rasa keinginan untuk membeli salah satu pedang sederhana diurungkan niatnya. Bukan karena ia tidak memiliki uang di tasnya tetapi ia harus mengatur keuangannya untuk perjalanan yang panjang. Lagi pula, ia telah memiliki belati milik ayahnya yang sangat cocok ia gunakan untuk menjaga diri. Ana hanya tersenyum kecut sedangkan ayah Tobias tertawa dengan keras.
"Hahahaha… itu harga yang standar dengan kualitas logam yang bagus."
Tobias yang memperhatikan mereka berdua berbincang langsung menarik tangan Ana dan berpamitan pada ayahnya. Ia tidak sabar mengajak Ana berkeliling. Tangannya melambai ke arah ayahnya dan mereka keluar dari toko itu.
Ana mengikuti Tobias menuju ke jalan yang ramai. Kembali hingar-bingar suasana kota yang ramai seperti festival menyapanya. Ana mengikuti Tobias ke sebuah lokasi yang penuh dengan orang berdesakan. Sebuah panggung berdiri di tengah-tengah jalan itu. Di atas panggung, seorang lelaki berbaju merah dan lelaki berbaju biru saling mengacungkan pedangnya masing-masing. Rupanya ada pertandingan pedang. Orang-orang di sekeliling panggung bersorak sorai memberi semangat pada kedua orang itu.
Ana dan Tobias tidak dapat melihat dengan jelas karena kerumunan orang-orang yang berada di depannya. Ana melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah bangunan dengan tepian yang sedikit tinggi dan cukup untuk duduk. Ia naik ke tepian rumah itu. Tobias yang berada di bawahnya mencoba naik tetapi tidak berhasil. Ana mengulurkan tanganya membantunya naik ke atas. Tobias duduk di sebelah Ana. Saat ini mereka dapat melihat dengan jelas pertarungan itu. Lelaki berbaju merah itu terlihat lebih unggul. Gerakannya lebih gesit dari pada lelaki berbaju biru. Lelaki berbaju merah mencibir lelaki berbaju biru. Ana melihat pertunjukan itu dengan kagum. Untuk pertama kalinya ia melihat pertandingan pedang yang jarang di kotanya. Seorang lelaki berjubah abu-abu menyerukan taruhan yang ia pasang untuk lelaki berbaju merah. Diikuti sorakan yang lain.
Lelaki berbaju merah itu melangkahkan kaki ke depan dan mengayunkan pedangnya menebas lelaki berbaju biru. Lelaki berbaju biru berusaha menangkis serangnya tetapi pedangnya terlempar dan jatuh. Lelaki berbaju biru tertunduk kalah sedangkan lelaki berbaju merah mengangkat tangannya berseru kemenangan. Tepuk tangan riuh terdengar di sekitar panggung. Ana ikut tertawa melihat hal itu dan ikut bertepuk tangan.
"Seru sekali!"
Tobias mengusap hidungya sambil memandang wajah Ana.
"Lebih seru saat kau berkelahi," ujar Tobias bersemangat memandang wajah Ana dengan polosnya. Ana memiringkan kepalanya ke samping memandang wajahnya dengan heran.
"Kau terlihat keren, Ana."
"Keren apa?" cibir Ana sambil menepuk dahi anak itu perlahan. Tobias cemberut kesakitan lalu mengusap-usap dahinya perlahan. Sesudah pertandingan itu selesai, Ana turun dari tepian bangunan. Lompatan indah kakinya menyentuh jalanan sedangkan Tobias membalikan tubuhnya dan turun secara perlahan-lahan ke bawah. Ana berjalan kembali ke sekeliling alun-alun kota dan melihat para penjual perhiasan di pinggir jalan. Mereka menjual berbagai macam perhiasan seperti kalung, gelang, hiasan kepala, dll. Kaki Ana terhenti melihat hiasan pengikat kepala yang berbentuk tali dihiasi mutiara-mutiara kecil menjuntai dari tempat perhiasan itu.
Senyuman di wajahnya perlahan-lahan memudar. Wajah Jenice muncul di benaknya. Jenice yang mengenakan kalung mutiara menarik tanganya dan mendudukannya di depan meja. Ana meronta dan berdiri.
"Jenice, apa yang kau lakukan?"
"Diamlah. Aku akan mendandanimu," seru Jenice kesal sambil mencegahnya berdiri.
Ana mendengus kesal dan akhirnya menyerah dengan tingkah laku Jenice. Kedua tangan Jenice memegang rambut hitam Ana kemudian menaikannya ke atas. Kepang-kepang kecil dari rambut di dekat pelipisnya ditariknya kebelakang, Tangannya dengan cekatan memutar-mutar rambut Ana membentuk rambut gelombang di depan kedua telinganya. Hiasan rambut tali yang dihiasi mutiara-mutiara putih terpasang mengikuti lekukan garis kepang rambut menjuntai ke bawah. Jenice tersenyum bangga akan hasil karyanya dan mengambil cermin di meja. Ana mengambil cermin itu dan melihat wajahnya di kaca. Ia tampak sangat cantik dan anggun. Alisnya berkerut.
"Aku tampak menggelikan," ujar Ana melihat wajah anggunnya di cermin.
"Kau tampak cantik,"sanggah Jenice, "Tapi tidak lebih cantik dariku."
"Pftt!" Ana tersenyum.
Ingatannya bersama kakak perempuan yang menyebalkan tetapi sangat ia sayangi muncul di kepalanya. Kesenduan perlahan-lahan terlihat di matanya. Tubuhnya berdiri membatu. Sebersit rasa kesendirian muncul di tengah-tengah keramaian.
"… Na, Ana!" seru Tobias membuyarkan lamunannya.
Tubuh Ana tergoncang karena guncangan tangan Tobias. Segera kesedihan di mata Ana menghilang dan berganti degan senyuman manis yang merekah di wajahnya.
"Tobias, apa kau tahu sebuah penginapan yang murah?"
"Tentu saja. Aku bisa mengantarmu ke sana."
Tobias mengangkat wajahnya. Kebanggaan karena mengetahui banyak hal di kota itu terpancar. Kakinya melangkah dengan lebar di depan Ana. Mereka keluar dari wilayah alun-alun dan berjalan menuju sebuah gang kecil dengan deretan rumah bercat warna-warni. Keluar dari gang itu mereka menemukan sebuah deretan toko kue dan roti. Baru saja mereka menginjakan kaki di lokasi itu, seorang lelaki bertubuh besar menunjuk ke arah mereka.
"Kau! Pencuri!"
Ana dan Tobias menghentikan langkah mereka dan berpaling. Lelaki itu melotot ke arah mereka. Tangannya berkecak pinggang. Mereka mengenali lelaki itu adalah lelaki yang mengejar Tobias sampai ke desa tanpa nama. Dengan segera keempat orang lelaki dewasa bertubuh besar yang merupakan anak buahnya, muncul di belakang lelaki itu menghadang mereka.