Singa itu tergeletak lemah di dalam hutan yang gelap. Tubuh atas sebelah kiri hingga perut sebelah kanan terluka terkena sabetan sebuah pedang. Luka itu membuat sebuah garis yang panjang dan darah yang keluar dari lukanya meresap ke dalam tanah. Napasnya menjadi berat. Pertarungan yang baru saja ia lakukan menguras hampir seluruh energi dan kekuatannya. Singa itu merintih. Kelelahan dan kesakitan yang dirasakan membuatnya lemah dan hampir tidak sadarkan diri. Ketika ia hampir tertidur, terdengar langkah kaki seorang manusia berjalan mendekatinya. Dengan sisa kekuatan matanya terbuka lebar. Dari kejauhan, ia melihat seorang gadis yang berjalan mengendap-endap menghampirinya. Gadis cantik berambut gelap itu membawa pisau pendek di tangannya dan berjalan ke arahnya dengan waspada. Singa itu tertawa, menertawakan dirinya sendiri.
[Oh, hebat. Apakah sekarang aku harus bertarung dengan seorang gadis kecil? Biarkan aku beristirahat sebentar] ujar sang singa dalam hati.
Ia sudah sangat enggan untuk bertarung meskipun itu dengan manusia biasa. Rasa malas menanggapi seorang gadis kecil muncul di hatinya. Geraman keluar dari mulutnya.
"Pergi kau!"
Gadis itu menghentikan langkahnya. Matanya terbelalak terkejut. Mulutnya terbuka lebar.
"Kau... kau bisa bicara!"
Gadis itu mengerjapkan matanya menatap singa lekat-lekat. Tangannya mengusap telinga, tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
[Bagaimana mungkin seekor singa bisa berbicara?] pikirnya.
Singa itu kembali menggeram kesal memperlihatkan taringnya. Jika Ia bisa bangkit saat itu, pasti ia akan langsung menerkam gadis itu.
"Pergi kau atau aku akan memakanmu!"
Suara geraman singa yang nyaring membuatnya mundur beberapa langkah dan mengambil sikap waspada kembali. Tangan kanannya yang memegang pisau pendek berada di depan. Namun, matanya tidak bisa lepas memandang keindahan singa yang berwarna keemasan itu. Melihatnya yang terluka parah rasa iba muncul di hatinya.
"Tapi kau terluka."
"Itu bukan urusanmu!" sergahnya geram.
Sang singa spontan marah sambil mencondongkan badannya ke arah gadis itu untuk menakutinya.
Gadis itu mengerutkan alis matanya, menatap sikap singa itu. Kewaspadaannya tidak menurun, tangannya masih memegang pisau. Akan tetapi, ia tidak mundur selangkahpun.
"Baiklah kalau begitu," ujarnya menenangkan singa itu.
Singa itu kembali ke posisinya yang semula. Kepalanya berpaling ke arah yang lain. Menggerakan badan untuk mengancam gadis itu sangat menyakitkan. Tubuh singa itu seakan menjerit-jerit tidak mau berhenti.
Gadis itu menghela napas panjang dan mengambil tas kain yang berada di punggungnya. Ia berjongkok dan mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam tasnya. Singa itu berpaling menatap gadis itu dengan rasa ingin tahu. Mungkin saja gadis itu mengeluarkan alat yang bisa membunuhnya dalam keadaan tidak berdayanya. Kemarahan mulai menjalar di hatinya. Suara geraman perlahan terdengar kembali. Seringai dengan gigi taringnya yang tajam terlihat. Namun barang-barang yang gadis itu keluarkan adalah botol-botol obat dan sebuah perban.
"Aku bisa merawatmu, aku membawa obat-obatan."
Gadis itu tersenyum lembut sambil menunjukan botol obat dan perban itu. Sang singa tertegun memandang benda-benda yang berada di tangannya. Ia memutar bola matanya.
"Tidak perlu!"
"Aku juga membawa perban."
"Diam!" sergah singa itu. Yang ia butuhkan adalah istirahat. Seiring berjalannya waktu lukanya akan membaik dan kekuatannya akan pulih. Seringai kembali muncul dari wajah singa itu.
"Apa kau tidak takut padaku?"
"Tentu saja aku takut, tapi kau akan mati kehabisan darah kalau aku tidak menolongmu."
Gadis itu menanggapi perkataan sang singa dengan santai.
"Cih." Singa itu menggeram kesal.
"Aku akan menolongmu tapi kau harus berjanji padaku."
Gadis itu menatap mata sang singa lekat-lekat. Singa itu terpojok. Ia menghela napas panjang dan menyerah pada gadis itu. Biarkan sajalah jika ia ditolong gadis itu. Gadis itu terlihat tidak berbahaya dan lukanya juga dibalut.
"Baiklah, apa yang kau mau?"
"Berjanjilah padaku kau tidak akan memakanku setelah aku menolongmu."
Sang singa tertegun sejenak kemudian tertawa mengejeknya.
[Ternyata anak ini takut juga] pikirnya.
"Baiklah." Singa itu menyetujuinya.
"Dan satu hal lagi, berjanjilah padaku kau akan melindungiku saat kau sudah sembuh."
Sang singa memutar bola matanya dengan kesal.
"Baiklah."
Gadis itu melangkah perlahan-lahan menuju singa itu. Tangannya membawa obat dan perban. Sesampai di depan singa, tangannya terulur perlahan-lahan dengan ragu-ragu dan waspada.
Singa itu berdecak mengejeknya tapi ia tidak bergerak. Dibiarkannya tangan gadis itu menyentuh tubuhnya. Dengan perlahan tangan gadis itu membelai tubuhnya dan tersenyum. Saat keraguan dan kewaspadaan gadis itu hilang dan yakin bahwa singa itu tidak akan menyerangnya. Ia mulai membantu mengobati lukanya. Dioleskannya obat salep itu di lukanya. Tak lupa, luka dikakinya pun ia obati. Sang singa menggeram perlahan menahan sakit sambil memperhatikan wajah anak itu. Mata gadis itu memandang lukanya dengan serius. Tangan gadis itu dengan terampil memperban lukanya. Butir-butir keringat mulai bermunculan di dahinya.
Waktu terus bergulir. Tak terasa hari sudah mulai gelap. Gadis itu mengusap keringat di dahinya dan tersenyum lega. Akhirnya, ia selesai membalut seluruh luka singa itu.
"Sudah selesai. Kau sudah baik-baik saja sekarang."
Sang singa melihat hasil balutan gadis itu sejenak lalu tersenyum.
"Hmm, cukup bagus," ujarnya tersenyum memperlihatkan taringnya. Matanya beralih menatap gadis itu dan mulutnya terkekeh-kekeh.
"Sekarang, apa yang harus kulakukan padamu?"
Sang singa mencoba berdiri dan tersenyum lebar. Puas akan hasil balutan dari gadis itu, mulut sang singa terbuka lebar memperlihatkan taring-taringnya yang tajam seakan-akan hendak memakan gadis itu. Mata gadis itu membelalak. Ia salah mengira bahwa sang singa akan memakannya.
"Kau sudah berjanji padaku!" serunya ketakukan sambil mundur beberapa langkah kemudian berlari menjauh.
Gadis itu meninggalkan singa yang melongo beberapa saat. Ia berdecak kesal lalu menggelengkan kepalanya.
"Yang benar saja, memangnya aku memakan manusia?"
Singa itu tertawa konyol.
"Bodoh!"
Perlaha-lahan singa itu berdiri. Tubuh indahnya yang berwarna emas berubah menjadi sesosok pemuda yang tampan. Tubuhnya tegap dan tinggi. Rambutnya berwarna emas dan matanya berwarna coklat keemasan. Tanganya memegang ke bagian perutnya dan meringis kesakitan. Tak beberapa lama kemudian, muncul sebuah lingkaran yang bersinar disertai simbol-simbol kuno di depan pemuda itu. sesosok lelaki berjubah hitam muncul di depannya. Lelaki itu berlutut memberi hormat padanya kemudian berdiri. Dibukanya jubah hitam itu dan terlihat seorang lelaki dengan rambutnya berwarna hijau. Lelaki itu memandang luka pada pemuda berambut emas itu lalu menghampirinya.
"Yang Mulia, anda terluka."
"Aku tidak apa-apa."
Tangan pemuda itu melambai menandakan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Badannya berbalik dan kakinya mulai berjalan dengan bergegas.
"Kita harus segera mencegah mereka," seru pemuda itu.
Lelaki berjubah hitam itu menghentikannya.
"Sudah terlambat, Yang Mulia. Gerbang sudah terbuka!"
"Apa!?"
Lelaki berambut emas itu menghentikan langkahnya dan berpaling menatapnya. Orang berjubah itu menghampirinya.
"Kita harus segera pergi dari sini! Para monster akan segera datang"
Umpatan keluar dari mulut lelaki berambut emas itu. Kemarahan terlihat dengan jelas di wajahnya. Ia menyadari betapa gentingnya hal yang akan terjadi jika gerbang sampai terbuka. Hal yang ia takutkan pun terjadi. Dengan penuh penyesalan matanya tertutup sejenak. Ia mengepalkan tangannya dengan erat.
"Dunia akan berubah mulai saat ini. Kita harus bersiap!"
Matanya terbuka lebar penuh dengan tekad. Tangan kanannya terangkat dan keluarlah sinar yang membentuk lingkaran berwarna emas di tanah di tempatnya berdiri. Di dalam sinar lingkaran terdapat simbol-simbol kuno yang susah dimengerti. Sedetik kemudian, muncul lingkaran cahaya kedua yang lebih besar dari yang pertama penuh dengan simbol yang lebih rumit. Sinar cahaya dalam lingkaran itu naik melingkupi tubuhnya dan segera ia pun lenyap. Muncul juga tiga lingkaran berwarna biru di bawah kaki lelaki penjaganya dan kemudian tubuhnya pun menghilang. Saat sinar itu redup dan padam, kedua orang itu sudah tidak berada di dalam hutan itu. Meninggalkan kesunyian hutan dengan sisa-sisa darah yang berada di tanah.