Chereads / Anasthasia and the Golden Wizard / Chapter 1 - Bab 1. Anasthasia Meyer

Anasthasia and the Golden Wizard

🇮🇩asthery_elizabeth
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 54.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1. Anasthasia Meyer

Anak itu bernama Anasthasia Meyer. Dia seorang gadis yang cantik, rambutnya berwarna gelap, bermata hijau besar, bibir yang merah, dan tubuhnya sedikit lebih pendek dari pada anak seusianya. Umurnya 16 tahun. Rambutnya berkibar tertiup angin saat ia duduk di bawah pohon besar sycamore yang berada di belakang bangunan akademi di Wayshire City. Matanya tertutup sambil menikmati semilir angin lembut yang menyapa wajahnya. Kedamaian sangat ia rasakan di kota tempat ia tinggal. Mengingat Wayshire City adalah kota kecil dengan jumlah penduduk yang sedikit, tak banyak bangunan yang digunakan untuk akademi. Sebagian besar kota itu diisi oleh padang rumput, rumah-rumah penduduk, beberapa buah kapel, dan ladang gandum yang luas milik orang terkaya di kota itu. Hanya kejahatan ringan yang pernah terjadi. Satu-satunya kejahatan besar yang terjadi di kota itu adalah pencurian yang terjadi di bangunan pusat kota. Para pencuri bersembunyi di hutan gelap yang berada di sebelah barat kota. Pasukan keamanan kota berusaha mati-matian untuk menangkap mereka. Hasilnya, masyarakat kota itu bersorak sorai saat para pencuri tertangkap. Berita tentang keberhasilan pasukan keamanan kota masih terus diceritakan meskipun sudah dua puluh tahun berlalu sejak kejadian itu.

"Hai, Ana!"

Ana membuka matanya perlahan-lahan mendengar seseorang memanggil namanya. Tiba-tiba matanya terbelalak. Belum sempat ia menghindar, batang dan butiran-butiran gandum berhamburan menghujani tubuhnya. Segera dengan umpatan kesal, ia berdiri dari tempat duduknya dan menatap tajam pada orang yang berada depannya. Seorang lelaki tampan sebaya berambut coklat tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk wajah dan baju Ana yang kotor terkena batang dan butiran gandum itu.

"Nell Swagyer!" serunya kesal.

Ana melayangkan tinjunya ke arah Nell. Dengan sigap tangan Nell menangkap tangan Ana, membalikkan tubuhnya, dan memuntir tangannya ke belakang punggungnya.

"Kau tidak masuk kelas kan tadi? Mr. Rupert mencarimu."

Nell menanggapi serangan Ana dengan santai kemudian mendorong tubuh Ana ke depan. Ia mengangkat kedua tangannya menandakan ia menyudahi hal itu. Ana membalikkan badannya, menatap lurus mata Nell dengan pandangan tajam dan mendengus. Tangannya mulai membersihkan debu gandum dari rambut dan bajunya.

"Kau keterlaluan. Lihat, semua jadi kotor," protes Ana

Ana menatap wajah Nell dengan marah sedangkan Nell hanya tersenyum usil. Ia melihat ada kesempatan terbuka dari diri Nell dan kakinya melayang tinggi menuju sisi kiki tubuh Nell. Namun seperti sebelumnya, secepat kilat tangan Nell menangkis kakinya dan membuatnya mundur beberapa langkah.

"Ayolah, Ana. Kau tidak bisa menang melawanku. Akademi sudah usai, pulanglah sekarang, jangan lupa besok temui Mr. Rupert."

Nell melangkahkan kaki dan mulai berlari menjauh. Ditinggalkannya Ana yang kesal sendirian. Dikejauhan Nell berteriak dengan keras.

"Lupakan belajar berkelahi, lebih baik kau berdandan cantik seperti kakakmu, hahaha.."

Ana terbengong sejenak mendengar ucapan Nell. Wajahnya kembali memerah kesal dan tangannya langsung mengambil batu dan melemparkannya ke arah Nell. Tetap saja, batu itu tidak mengenalnya karena ia sudah menghilang dari pandangan. Tatapan mata Ana menengadah melihat langit yang biru. Helaan nafas terdengar. Ia memang berkebalikan dengan kakaknya, Jenice Meyer yang terkenal sebagai wanita tercantik di kota itu. Jenice selalu mengenakan gaun linen yang lembut dan sering membuat para lelaki menoleh memandangnya.

Rasa gatal mulai memenuhi tubuh Ana karena butiran gandum yang tersisa. Karena tubuhnya sudah terlanjur kotor dengan sisa-sisa gandum, maka ia berlari dengan cepat mengambil jalan pintas dengan menerobos ladang gandum milik Tuan Swagyer, ayah Nell. Keluar dari ladang gandum, terlihat jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Pondok itu terlihat nyaman dengan kursi bundar di bagian depan rumahnya dan dihiasi bunga-bunga lili putih yang indah. Tangannya membuka pagar kayu yang mengelilingi rumah itu. Terlihat seorang gadis juga berjalan menuju rumahnya sambil membawa tas yang berisi tanaman obat-obatan. Gaun birunya bergerak mengikuti gerakan tubuhnya saat berjalan. Langkahnya terhenti. Gadis cantik berambut coklat itu memandang ke arah Ana dari kaki hingga kepala kemudian menyeringai.

"Oh, lihat penampilanmu sekarang, Ana."

Ana hanya mengangkat bahunya. Janice mendengus kesal sambil membuka pintu rumah lalu meletakkan tas itu di meja dan mengeluarkan isinya.

"Aku sudah membawakan tanaman obatnya tetapi tidak menemukan jamurnya."

Ibunya yang sedang duduk merajut kain wol, berpaling.

"Kalau begitu cari lagi."

Jenice terperangah mendengar tanggapan ibunya yang santai.

"Suruh saja Ana yang mencarinya. Aku sudah lelah."

Kaki Jenice melangkah ke arah adiknya sambil tersenyum dengan sangat manis. Ana menatapnya sejenak kemudian menaikan alis matanya. Ia mengetahui bahwa senyuman manis Janice memiliki maksud tertentu. Pastinya, ia akan memberikan tugas itu padanya. Sang ibu meletakkan rajutannya dan berdiri dari tempat duduknya.

"Ibu tidak mau tahu, pokoknya setelah ibu pulang dari kediaman Tuan Swagyer, jamur itu sudah ada di meja."

Sang ibu adalah seorang dokter tradisional yang meracik obat untuk mengobati sakit Tuan Swagyer. Persediaan jamur di rumahnya tinggal sedikit dan ia tidak mau mengambil risiko menunggu sampai kehabisan. Ana tidak mau ambil pusing mendengar perdebatan antara kakaknya dan ibunya. Bertepatan dengan sang ibu yang keluar rumah, Ana melangkah kaki beranjak dari ruangan itu. Rasa gatal yang dirasakannya, membuatnya ingin segera membasuh tubuhnya. Baru saja ia melangkah beberapa langkah, tangannya ditarik oleh Janice. Janice menyerahkan tas kosong itu padanya.

"Kau tidak dengar apa yang ibu katakan barusan? jamur itu sudah harus ada di meja begitu ibu pulang nanti."

"Lalu?"

Ana menatapnya dengan santai.

"Kalau begitu tunggu apa lagi? ayo cepat cari! Aku terlalu cantik untuk pergi ke hutan, lagi pula para lelaki sudah menungguku di pusat kota."

Senyuman merekah di wajah Janice. Ia mengibaskan rambut coklatnya yang lembut dengan gerakan menggoda kemudian berbalik dan keluar dari rumah itu sambil bernyanyi riang.

Ana tertegun sejenak dengan sikap kakaknya dan menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia sudah menduga hal itu, kakaknya pasti menimpakan tugas kepadanya. Ditaruhnya tas itu di atas meja dan berlari menuju ke belakang untuk membasuh tubuhnya. Guyuran air dingin membuat tubuhnya segar kembali. Setelah selesai bersiap, diambilnya tas yang selalu menemaninya ketika pergi dan keluar melalui pintu belakang. Ia berjalan menelusuri jalan setapak kecil menuju ke arah hutan. Matahari mulai terbenam, sinar-sinar cahaya kemerahan mulai menerobos dari sela-sela pohon sycamore yang berada di pinggiran hutan itu. Rencananya, ia hanya akan berada di pinggir hutan namun karena terlalu asyik mencari jamur kakinya melangkah masuk ke dalam hutan. Di sanalah ia pertama kali melihatnya. Seekor binatang yang tergeletak tak jauh dari tempatnya. Matanya terpukau melihat keindahan bulu binatang yang berwarna kuning keemasaan, Binatang itu seperti sihir. Indah, hidup, dan sedang terluka. Kekaguman, kebingungan, dan ketakutan merayap masuk ke hatinya.

"Singa? bagaimana bisa ada singa di hutan ini?"