"Otot di gedein, pegang cangkir kecil aja sampai pecah gitu? Kenapa sih, loyo sekali kak?" ejek Natasya. Suara kecil di balik pintu itu membuat Daniel terkekeh malu.
"Natasya? Masuk sini!" Sanggah Daniel menghela napas panjang. Helaan napas itu mewakili perasaannya yang pura-pura baik-baik saja di hadapan adik kesayangannya.
Walau Daniel pasang badan santai di depan Natasya, tapi otaknya berkeliaran tak tentu. Sekarang tubuhnya sudah merunduk turun membersihkan pecahan kaca dari cangkir itu.
"Biar Natasya bantu kak?"
"Gak usah! Ini 'kan keteledoran kakak, jadi biar kakak yang bereskan. Kamu tolong bawakan saja sapu di dapur sana!"
Satu persatu serpihan cangkir itu dikumpulkannya. Hingga potongan terakhir yang terlihat mengkilat dan sangat runcing. Di sela lamunan Daniel tak sengaja tajamnya serpihan cangkir itu mengigit ujung telunjuk Daniel.
"Aw!" Daniel mengejang.
Daniel kembali tak enak hati. 'Ada apa ini? Mudah-mudahan semua ini bukan pertanda buruk buat aku,' gerutu hatinya terus memijit-mijit telunjuk supaya darah segar itu cepat terhenti.
Sebelum Natasya masuk kedalam kamarnya, matanya mengintip menerawang melihat Daniel di bibir pintu.
Keceriaannya sedikit menurun saat melihat wajah Daniel tak selepas biasanya. 'Sepertinya kak Daniel menyembunyikan sesuatu?' pikir Tasya menenteng-nenteng sapu.
"TASYA! Cepetan sapunya!" teriak Daniel mengejutkan gadis cantik berhijab itu.
Tasya terburu-buru mendobrak pintu menggunakan ujung jari kakinya, yang menghasilkan suara menggema di kedalaman kamar.
Brak!
"Suara apa itu?" serogoh Gathan berteriak sambil mendongakan kepala ke atas. Matanya menelusuri arah suara menggema itu dari satu persatu anak tangga rumahnya.
"Ssttt!" Sesegera mungkin Daniel membungkam bibir Tasya hingga polesan lipstik merah mudanya sedikit terhapus.
"Gak ada apa-apa, Pi!" balas Daniel menimpali teriakan Papinya.
Sesaat keduanya mematung memberikan suara hening agar Gathan tidak menaiki anak tangga untuk menghampiri kedua anaknya. Kalau saja sampai Gathan tahu, ada salah satu anaknya berdarah, pasti ceritanya akan semakin repot saja. Mulai dari menyiapkan P3k, memanggil mantri atau dokter dan sebangsanya.
Memang Gathan termasuk Papi yang sangat over protektif terhadap anak-anaknya. Itu semua ia lakukan atas dasar sayang.
Setelah suara Gathan menghilang, Daniel menarik Natasya duduk bersampingan di bibir ranjang yang berhadapan langsung dengan cermin besar.
"Kakak ini, kebiasaan deh kalau sudah bohong? gak baik tahu!"
"Kalau bohong demi kebaikan gak apa-apa ya sayang! oh ya, kapan kamu akan pergi ke Inggris?" Daniel mengelokan pembicaraan agar Tasya gak bawel lagi dengan semua aturan yang selalu profesional.
Satu alis Tasya terangkat, ia mulai menggeser tubuhnya jadi saling berhadapan. Tasya tahu pertanyaan terakhir kakaknya hanya untuk mengelak saja, tapi memang Tasya sudah gak mau memperpanjang wacana itu. Tasya tahu kakaknya kuat. 'Darah satu tetes saja gak bakalan membuat Daniel sampai kehilangan nyawa.'Pikirnya.
Tasya fokus pada tujuan awalnya mencari Daniel ke kamar itu.
"Kak tahu gak sih,"
"Apa?"
"Semua syarat dan pasfor sudah selesai, besok aku sudah bisa terbang. Yeeeeyyy!" sorak sorai Tasya tak bisa ia bendung lagi. Kebahagiaan yang ia tunggu selama ini akhirnya datang juga. Rok Tasya mengembung saat ia mulai bangkit dari ranjang dan melompat kesana kemari kegirangan.
"Hahaha, bagus! Kakak ikut senang, Sya. Tos!"
Kedua telapak tangan kakak beradik itu saling beradu, pertanda kekompakan keduanya benar-benar sangat lekat sekali.
***
Pada waktu bersamaan, Citra membuka matanya. Yang ia lihat pertama kalinya adalah cahaya lampu yang terpasang di atap langit-langit sebuah kamar. Setelah beberapa jam ia tak sadarkan diri, dan akhirnya sekarang sudah bisa membuka mata lagi, jelas cahaya terang itu menyorot membuatnya silau.
"Citra? are you oke?"
"Aunty, I'm fine thank's!"
Senyumnya sedikit memudar di sela bibir Citra yang sangat pucat. Perlahan Citra membetulkan posisinya tidur agar sedikit terangkat dan mendongak ke atas bantalan berbungkus serba putih.
Di benaknya, ia sudah ingat peristiwa sebelum ia sampai di tempat itu. Jadi, Citra cukup tahu siapa pamannya, lalu ia membungkam saja.
"Sorry! Pamanmu memang seperti itu. Hampir satu tahun dia seperti orang tidak waras. Dia mengkonsumsi minuman keras, dan bermain dengan banyak wanita. Bagaimanapun juga, he's my husband."
Margaret membanggakan suaminya hanya untuk menutupi kekurangannya. Kurangnya ia sebagai perempuan yang tidak bisa memberikan buah hati untuk suaminya di masa perkawinan mereka.
Citra memejamkan mata bumi seperti berputar, lalu mulutnya mengembang kempis mengeluarkan angin yang terus membuatnya sesak di tenggorokan. Seperti ada yang mengganjal dan tidak keluar di langit rahangnya, membuat dia selalu mual.
"Uook!"
"Why?" Sentak Margaret seketika terhenti melihat kondisi Citra yang semakin memburuk. "Wait!" Lanjut Margaret membuat Citra menunggu.
Dalam waktu yang sangat singkat, Margaret sudah menjinjing seorang paramedis yang berkuasa di klinik itu. Dia nampak sangat akrab. Mana mungkin Margaret merangkul lelaki berseragam putih itu dengan sangat dekat? Pastinya ada hubungan tersendiri antara Dokter dan tantenya itu. Citra hanya memendam pertanyaan itu dan ia simpan sampai mual itu hilang nanti.
"Oh, anda sudah sadar? bagaimana keadaan anda sekarang?" Lelaki gagah berseragam putih itu membuat Citra melongok.
"Anda bisa bahasa indonesia?" Tanya Citra.
"Pasti bisalah. Karena memang saya berasal dari Jakarta?"
"Oh ya?"
Citra hampir melupakan rasa mual dan segala sakit yang bersarang di badannya kali ini. Benar-benar bahagia terpancar di wajah Citra. Dirinya merasa punya kerabat satu wilayah di negri sebrang itu. Dan dia bisa berkomunikasi dengan lancar walau sedang berada di tanah asing tersebut.
"Ia, kebetulan saya sedang melakukan beberapa riset dan study banding di sini. Syukurnya orang-orang di sini sangat baik. Termasuk tante Margaret."
"Terimakasih, Dok?" Citra menghentikan kata-katanya karena tidak tahu nama kepanjangan dari dokter tampan di hadapannya itu.
"Perkenalkan! Saya dr. Azen Salim melakukan praktik di Rumah Sakit Pondok Indah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Selain merupakan anggota Ikatan Dokter Indonesia, saya juga adalah seorang Ahli Obstetri dan Ginekolog."
"Apaan tuh dok?" tanya Citra sedikit rileks mendengar paparan dokter Azen yang sangat sejuk.
"Obstetri itu, ilmu yang berhubungan dengan kehamilan, termasuk persalinan bayi. Sedangkan ginekologi mencakup pemahaman terhadap sistem reproduksi perempuan."
"Maksud Dokter?" Sontak rileks Citra hilang dan menegang saat mendengar dokter di hadapannya adalah ahli kehamilan dan persalinan.
"Ya ... Selamat mbak! Anda akan jadi seorang ibu. Makanya saya yang akan menangani anda dengan khusus." Jelas Dokter Azen sambil memberikan beberapa suntikan kedalam selang infus Citra.
"Sss-saya hamil, Dok?" Citra ingin lebih tegas lagi mendengar hasil diagnosis dokter yang sebenar-benarnya.
"Iya, Setelah Anamnesis yang di lakukan dokter sebelumnya tadi, akhirnya kami mendapatkan hasilnya. Bahwasannya anda sedang mengandung." Tegas Dr. Azen langsung keluar setelah menyelesaikan tugasnya memberikan obat dan meyakinkan pasiennya sudah aman.
'MENGANDUNG! MENGANDUNG!'
Suara terakhir Dr. Azen terus terngiang di telinga Citra yang membuatnya sangat syok seperti tersambar petir.
Mata Citra kosong menyawang langit-langit dengan kedua tangan di lipat di atas perut lepeknya. Seketika itu juga, otak Citra benar-benar tidak bisa berfikir jernih.
Sedangkan Margaret hanya duduk santai tidak mengerti semua penjelasan Dr. Azen yang menggunakan bahasa indonesia secara keseluruhan.