Ia segera beranjak. Berjalan ke arah pantai. Saat sampai di tengah, antara pantai dan tempat tiga orang temannya duduk, ia memejamkan mata. Merentangkan kedua tangan ke samping. Ia mencoba merasakan energi yang tidak ia sadari.
Elang keluar dari tubuhnya, terbang ke atas, melihat raganya di bawah, lalu pergi menelusuri seisi pulau. Mencari sumber energi yang memang ia rasakan kini. Di kejauhan, ia melihat sebongkah batu besar. Dengan sinar biru terang. Jika jiwanya masuk ke raganya, pasti tidak akan melihat sinar biru ini dengan indera penglihatannya. Ada hal aneh lagi di sekitarnya yang membuat perhatiannya teralih. Beberapa pasukan berpakaian perang, keluar dari semak pepohonan dan mengitari batu besar itu. Seolah merasa kehadiran Elang adalah ancaman. Mereka menatap Elang dengan tatapan tajam.
Elang turun ke bawah. Mencoba menyapa orang-orang itu. Orang-orang tak kasat mata. Penjaga pulau Saphire.
Seorang penjaga mendekat saat Elang sudah menginjakan kaki di tanah.
"Mau apa kau?" tanyanya lantang.
"Maaf, saya hanya penasaran, apa yang membuat pulau ini begitu terang dengan warna biru, seperti kalung ini," kata Elang menunjukan kalung yang ia pakai.
"Kau Argenis?!"
Elang mengangguk. Barisan orang itu menguar, saat langkah kaki seseorang terdengar di belakang mereka. Elang memiringkan kepalanya, berharap segera tau siapa orang itu. Karena ia seperti mengenal bau tubuhnya.
Seorang pria tinggi dengan pakaian khas kerajaan muncul dibalik penjaga pulau ini. Hal ini membuat Elang tercengang. Seluruh tubuhnya lemas, hingga ia luruh ke tanah.
"WIRA?!" pekiknya seolah tidak percaya pada apa yang ia lihat.
Pria yang ia panggil tersenyum. Tatapannya teduh. Senyumnya membuat hati siapa saja merasa damai. Ia mengulurkan tangannya ke arah Elang. "Apa kabar, Lang?"
Elang meraih uluran tangan itu, ia lantas berdiri. Mereka berhadapan. Matanya berkaca-kaca. Ia sangat merindukan Wira. Wira sahabatnya. Tubuhnya bersinar terang. Wajahnya teduh dan menenangkan. Wira lantas menarik Elang, dan mereka berpelukan.
"Ternyata kau di sini? Kenapa kau tidak kembali dan menemuiku?!" kalimat Elang penuh dengan emosi. Marah, sedih, rindu, bahagia, semua bercampur menjadi satu.
"Maaf, aku mempunyai tugas baru di sini. Menjaga tempat ini. Ternyata aku berhasil membuatku menemuiku, ya." Wira tertawa lepas. Seolah puas mempermainkan Elang.
"Kau bodoh, Wira! Kubunuh kau!"
"Kau yang bodoh. Aku, kan, sudah mati."
Spontan tawa Elang membuncah. Sebuah pertemuan yang di luar dugaan. Pertemuan kembali dengan orang yang sangat Elang rindukan. Pasti Adi dan Gio tidak mengetahui hal ini.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?! Bukannya kau sudah mati? "
"Benar. Aku memang sudah mati, bahkan kehadiranku tidak akan bisa sembarangan dilihat manusia biasa. Kematianku saat itu, bukan akhir dari hidupku. Pendahulu Argenis datang menyelamatkanku saat jiwaku hendak diambil Black Demon. Dan aku berakhir di sini. Menjaga pulau ini dari serangan musuh mereka. Itulah perjanjian kami saat itu. Aku harus menebus kesalahanku, dengan mengabdi untuk melindungi tempat ini. Karena ras Kalla akan membuat onar kehidupan manusia. Itu sebabnya aku nemilihmu sebagai pasukan Argenis yang baru. Aku percaya kemampuanmu, dan dedikasimu. Terima kasih, Elang. Karena kau selalu berjuang di jalan yang benar. Selalu menjadi Elang yang sejak awal kukenal. Terima kasih kau sudah menjaga Nayla."
"Tapi Nayla.... "
"Yah, aku tau. Itu bukan salahmu. Semua takdir. Dia sudah bahagia di sana bersama Arya. Kau tidak usah merasa bersalah lagi."
"Wira ... Terima kasih, kau masih menjaga kami."
Wira tersenyum. "Aku juga pernah mengacaukan segalanya."
"Tapi kau tetap yang terbaik."
Wira menepuk bahu Elang. "Lebih baik kau kembali ke tubuhmu. Adi dan Gio sekarang cemas."
Elang menghapus air matanya. Mengangguk. "Sampaikan pada mereka, agar jangan terus bertengkar. Jangan sampai pertengkaran itu berubah menjadi cinta. "
Elang tertawa keras. Candaan Wira mampu membuat rasa sedihnya luruh. "Kau bisa saja!"
Wira tersenyum dan melambaikan tangan pada Elang. Melepas kepergian sahabatnya. Elang segera kembali ke tubuhnya.
_____
"Elang! Hei! Kau kenapa?!" jerit Gio sambil menampar wajah Elang.
"Jangan terlalu kencang, bodoh!"
Elang membuka matanya. Menatap Gio sebal. Bugh! Satu pukulan mendarat di perut Gio.
"Dasar bodoh! Kau menamparku terlalu keras! "
Gio tersungkur ke pasir pantai. Hal itu membuat mereka tertawa. Adi tepuk tangan dan mulai menyusul perpecahan. "Pukul lagi, Lang. Jangan biarkan dia begitu saja! Dia berkali-kali menampar wajahmu. Bahkan lihatlah, pipimu merah karena ulahnya!"
"Brengsek kau, Di!" Saat ingin membalas ejekan Adi, Abimanyu menahan tubuh Gio. "Sudahlah, Paman. Jangan bertengkar terus. Ayo kita ke rumah Pak John. Aku sudah lapar! "
Gio yang mendengar itu, menoleh ke Abimanyu. "Kasihan sekali. Ya sudah, ayok. Aku juga lapar. "
Dipandu Adi dan Gio, mereka sampai di rumah John. Vin menyambut mereka hangat. Sementara sang tuan rumah langsung keluar dengan senyum mengembang. Sudah lama rumahnya tidak seramai ini. Sejak istrinya meninggal, putri tunggalnya pergi merantau ke kota. Padahal ia bersikeras melarangnya, karena tau kota bukan tempat yang aman. Dan sekarang terbukti. Putrinya meninggal, bahkan John tidak bisa melihat jenazahnya.
Semua makan bersama di meja makan. Berbagai pengalaman memenuhi riuh ruangan ini. Semua cerita bermacam-macam jenisnya, tapi akan bersumber pada satu hal, yaitu Kalla.
"Maaf, Pak John, sejak kapan tugu batu saphire pulau ini ada? Para penjaga itu, apakah anggota Argenis terdahulu?" Pertanyaan Elang mampu menarik perhatian John.
"Penjaga? Apa yang kau bicarakan, Pak Ceo? " tanya Gio sambil berbisik.
Elang tak menanggapinya, dan terus menatap John dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
"Kamu sudah tau, tentang tugu batu itu?"
"Hm, iya. Energi pulau ini sungguh kuat. Bahkan Abimanyu mampu melihat dari kejauhan. Benar begitu, Bi? " Netra Elang kini mendarat ke pria yang duduk di samping Adi. Abimanyu mengangguk sambil mengunyah makanannya. Dia sudah menambah dua piring. Nafsu makan Abi terkadang cukup gila.
"Tapi, paman... Aku tidak mengatakan soal penjaga pulau. Bagaiman kau tau? " Kini Abi dibuat penasaran. Begitu juga John dan yang lain.
"Aku menemui mereka tadi. Ruh ku mengitari tempat ini, dan mencari sumber kekuatan itu. Rupanya berasal dari tugu batu besar di tengah pulai sana. Dan, di sana... Aku bertemu... Wira."
Gio dan Adi melotot bahkan sendok yang mereka pegang, terjatuh.