[Kalla sudah bergerak lebih cepat. Bahkan aku sudah tidak memiliki karyawan di sini. Kantorku penuh bangkai.] Sebuah pesan, Elang kirimkan ke ponsel Abimanyu.
Dasi sudah Elang lepaskan dari lehernya. Kemeja ia berikan ke Lian yang sekarang sudah bersembunyi di ruangan Elang. Semua samurai sudah ada di tangan Adi dan Elang. Ruangan Elang memiliki sebuah lemari rahasia yang berisi beberapa senjata tajam.
Langkah mereka pelan, mendekat ke pintu pantry di sudut koridor lantai teratas gedung ini. Elang menaikan alisnya ke atas, mengisyaratkan Adi bersiap. Tapi tiba-tiba Elang menahan Adi yang hendak masuk. Adi bingung. Melihat Elang meletakan samurai di dekat pintu.
"Aku masuk dulu, kau serang saat dia lengah," bisik Elang. Adi mengangguk, bersembunyi di samping pintu.
Elang masuk, sambil berdeham. Toni yang dimaksud Lian tengah mengepel pantry. Elang berusaha terlihat santai agar tidak mencurigakan. Ia mengambil gelas dan mulai meracik kopi.
"Maaf, Pak Elang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Toni. Elang menoleh menatap tajam Toni yang masih memegang gagang kain pel.
"Oh, tidak perlu. Saya biasa membuat kopi sendiri," jawab Elang sambil tersenyum. Ia mulai mengendus bau anyir yang memang dimiliki Kalla ada di tubuh Toni. Elang menarik nafas panjang, menoleh ke pria yang memakai seragam berwarna orange,khas OB kantor ini. Toni sadar kalau keberadaannya sudah tercium sang pemilik gedung ini. Mereka berdua saling tatap, diam. Tanpa aba-aba apa pun Toni mengangkat gagang pel itu dan menyerang Elang secara brutal.
Adi masuk tanpa diduga, lalu menebas kepala Toni hingga menggelinding ke lantai. Cairan kental berwarna hitam mulai membanjiri lantai. Elang mengambil pematik dan membakar tubuh Toni yang sudah berubah menjadi Kalla.
Alarm kebakaran berbunyi. Adi dan Elang segera keluar, dan menjemput Lian yang masih bersembunyi di ruangannya. "Ayo kita pergi!" ajak Elang menarik tangan Lian yang masih ketakutan. Mereka bergegas keluar menuju lift. Tapi saat pintu lift terbuka, Kalla lain sudah bersiap menghadang mereka. Kematian jelmaan Toni akan membuatAdi menendang Kalla yang hendak keluar dari lift. Hingga mereka tersungkur, dan pintu lift kembali tertutup.
"Bagaimana ini? Mereka ada di mana-mana!" rengek Lian. Ia terus memegang tangan Adi. Sementara Adi menatap Elang sebagai permohonan agar segera dilepaskan dari situasi aneh ini.
"Bagaimana kalau lewat tangga darurat saja?" tanya Adi karena melihat Elang hanya diam saja.
"Kau mau bunuh diri atau apa? Sudah jelas mereka menunggu kita di tangga dan lift! " bentak Elang, frustasi. Jumlah mereka dibanding musuh sangat tidak imbang. Logika mengatakan jika mereka berdua nekat melawan, sama saja dengan bunuh diri.
"Jadi?"
Elang menoleh ke jendela. Ia sesaat mendapat sebuah ide gila. "Ke ruanganku!" suruhnya sambil berlari kecil, diikuti mereka berdua.
Ruangan Elang memang cukup luas. Jendela sampingnya seluruhnya terbuat dari kaca tebal. Bahkan ia mendekorasi ruangannya dengan pelindung anti peluru. Otomatis kaca di samping sangat kokoh. Ada sebuah balkon kecil tempatnya melepas penat karena tumpukan pekerjaan.
"Lian, ambil tali di lemari paling bawah kamar saya! Cepat!" jerit Elang.
Sang Ceo lantas membuka pintu balkon. Angin berhembus cukup kencang karena mereka berada diketinggian yang cukup membuat jantung berdegup kencang. Di tempat mereka berdiri kini, cukup membuat rambut Elang yang sudah dilapisi pomade sedikit goyah. Sementara anak rambut Adi bergerak bebas.
"Lang, jangan bilang kita akan turun lewat sini," tukas Adi, melihat ke bawah dengan tatapan ngeri.
"Kalau kau bisa terbang, silakan saja, Di." Elang menoleh ke dalam, menunggu kedatangan Lian.
Dengan tergopoh-gopoh Lian muncul, ditangannya ada segulung tali yang terlihat cukup berat. "Ini, Pak."
"Lang ... Kau yakin tali ini akan sampai di lantai dasar? Kau lupa kalau kita ada di lantai berapa, hah?"
Elang tidak memghiraukan kata-kata Adi. Ia mengikat satu ujung tali ke pilar besi yang menjadi pagar balkon ini. Tali itu ia jatuhkan ke bawah.
"Ah, Sial! Tidak terlalu panjang," jerit Elang, frustasi. Ia menjambak rambutnya sendiri sambil mondar-mandir di balkon.
Lian menatap ke bawah, melihat sejauh mana tali ini terjulur. Ia nampak berfikir sebentar sebelum akhirnya menarik ujung kemeja Elang.
"Pak, coba lihat!"
"Apa sih?"
"Itu," tunjuk Lian, ke arah tali yang menjuntai bebas di bawah mereka. "Kita bisa turun sampai tali itu habis. Lalu masuk ke dalam, atau mungkin kalau bapak mau, kita bisa berjalan di pinggir gedung. Masih ada sisa tembok di sana, sepertinya muat untuk kita pijak."
"Dia benar, Lang. Sebaiknya kita bergerak cepat." Adi menoleh berkali-kali ke arah pintu ruangan ceo. Berkali- kali pintu itu di dobrak dari luar. Suara ketukan palu dan besi membuat otak mereka tidak bisa berfikir lebih lama lagi.
"Ya sudah, kau duluan, Li."
Tanpa disangka Lian segera mengikuti instruksi Elang. Tak membantah atau bahkan cemas dan menunjukan rasa takut. Sepatu heels ia lepas dan dibuang asal. Rok pendek ia naikan sedikit ke atas agar dapat melompati balkon. Adi dan Elang segera menoleh ke arah lain.
Lian mulai turun berpegangan erat pada tali itu. Kedua kakinya menapak kompak ke tembok di depannya. Mulai berjalan seperti agen FBI di film-film yang ia tonton selama ini. Turun perlahan bagai orang berjalan di tembok.
"Waw," seru Adi menatap kagum pada gadis itu.
"Giliranmu selanjutnya," cetus Elang.
Adi menelan ludah sambil menatap rekannya dengan iba. Elang merasa diperhatikan seperti itu lalu melirik Adi, tajam. "Mau turun sendiri atau kudorong?"
"Kau tidak berperikemanusiaan, Lang." Adi mulai turun. Sementara pintu ruangan Elang terus didobrak paksa. Elang masih santai karena ia sengaja membuat ruangannya spesial. Pintu dan temboknya yang sulit ditembus membuatnya jauh lebih aman saat di kantor. Walau hal ini tidak akan bertahan lama. Maka dari itu, sebelum pintu itu roboh sepenuhnya, mereka harus segera turun ke bawah. Apa pun caranya.
Dengan menahan segala rasa takut. Adi turun. Matanya terpejam. Tak mau melihat ke bawah dengan pemandangan yang cukup mengerikan. Ia agak takut ketinggian.
Engsel pintu mulai lepas. Di saat bersamaan Elang segera turun ke bawah menyusul Adi dan Lian. Elang cukup cekatan untuk hal seperti ini. Saat SMU Elang adalah ketua MAPALA di sekolahnya. Bahkan setelah kuliah ia masih sering ikut kegiatan pecinta alam.
Lantai 20. Tali hanya bisa sampai di lantai 20 saja. Lian sudah lebih dulu masuk ke sebuah ruangan di sana. Sepi. Seluruh penghuninya tidak nampak batang hidungnya.
"Bagaimana?" tanya Elang saat sudah masuk ke dalam.
"Ruangan ini tidak ada orang, Pak. Sepertinya mereka ada di lantai atas, atau sedang berpencar mencari kita?" sahut Lian dengan pertanyaan yang sebenarnya membuat dirinya sendiri ketakutan.
"Kita harus segera keluar dari sini. Cari senjata apa pun yang bisa digunakan," suruh Elang, mengedarkan pandangan ke sekitar.
Mencari senjata di lingkungan perkantoran bukanlah hal mudah. Yang mereka dapat hanyalah tumpukan buku, komputer, dan sejenisnya.
"Saya dapat, Pak, " seru Lian dengan busur panah di tangannya. Adi dan Elang menoleh, mereka kembali tertegun melihat Lian.
"Memangnya kau bisa memakai benda itu?" tanya Elang.
"Tentu saja. Sejak kecil ayah sudah mengajari saya dan kakak saya teknik memanah. Jadi bagian mana yang harus saya tembakan pada tubuh makhluk itu?" tanya Lian, lantang.
"Kakak?"
"Iya, saya punya kakak perempuan. Setelah menikah dia tinggal bersama suaminya."
"Ya sudah. Ayo cepat kita bergerak. Lian jangan jauh-jauh dari kami," suruh Adi. Mereka keluar dengan cara mengendap-endap. Koridor lantai ini terasa sunyi. Bahkan sangat sunyi.
"Aneh."
"Apanya?"
"Terlalu sunyi. Ini aneh," ujar Elang dengan terus fokus pada sekitar. Beberapa ruangan memang tidak menampakan tanda-tanda adanya kehidupan. Bahkan perusahaan ini yang seharusnya memiliki karyawan ratusan, tidak terlihat satu pun batang hidungnya.
"Kita ke mana?"
Elang dan Adi nampak berfikir keras dengan pertanyaan Lian.
"Kalau kita naik lift untuk turun, pasti mereka sudah menunggu kita di lobi bawah. Aku takut, kita tidak mampu bertahan. Mengingat kita tidak tau seberapa banyak jumlah mereka," tutur Elang.
"Bagaimana dengan tangga darurat?"
"Sepertinya sama saja."
"Apakah hanya dua jalan saja untuk kita keluar dari tempat ini?" Adi mulai kesal.
"Pak, saya punya ide."
"Apa itu?"
"Tempat pembuangan sampah," cetus Lian dengan yakin.
"Apa? Tempat pembuangan sampah?"
"Betul, Pak. Setiap lantai memiliki lorong tersendiri untuk membuang sampah. Semua ada di pantry."