Abimanyu duduk di kursi samping ranjang Ellea. Wajah gadis itu pucat, tak segar seperti biasanya. Tubuhnya lemah. Bahkan sejak semalam ia belum membuka matanya. Abi rindu rona merah pipi Ellea saat mereka berdekatan. Rindu suara cempreng gadis itu yang membuatnya sebal. Rindu sikap manjanya dan semua hal tentang Ellea. Dia gadis pertama yang ia temui setelah ibunya. Gadis pertama yang membuatnya jatuh cinta. Banyak gadis di desanya dulu, tapi tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.
Abi menggenggam tangan Ellea. Tangan yang lemah tak berdaya, membuatnya iba. Ia meletakan punggung tangan Ellea di pipinya. Mengelus pipi Ellea lembut. Abi memang khawatir, sangat.
Di sisi lain, Shanum sudah terbangun. Ia masih duduk di ranjangnya ditemani Elang. Elang dengan telaten menyuapi Shanum. Memberinya nutrisi yang cukup agar tubuh Shanum lebih bertenaga setelah mengalami hal sulit semalam.
Pagi ini suasana rumah John agak ramai. Beberapa warga memang ada di halaman. Ia mengerahkan mereka untuk memeriksa tiap sudut pulau. Dan menggalakan sistem ronda saat malam hari. John yakin, kalau penyusup itu akan kembali datang. Terlebih kemunculan Kallandra menjadi momok yang cukup ditakuti.
"Lang, kau mau ke mana?" tanya Gio saat melihat Elang sudah rapi.
"Aku harus kembali ke kantor. Pekerjaan menumpuk. Sepertinya Lian harus aku pekerjakan kembali. Biar Shanum di sini saja dulu. Lebih aman. Walau sedikit." Wajahnya terlihat lesu. Ia tidak tidur semalaman, menjaga Shanum.
Pulau Saphire tak lagi aman. Sejak Kallandra muncul itu membuat tugu batu saphire seolah tak lagi berhasil melindungi mereka.
"Hati-hati, Lang. Kau akan kembali lagi ke sini, kan?" tanya Gio.
"Tentu saja. Hari ini ada meeting penting yang harus aku hadiri."
"Aku ikut, Lang," cetus Adi. Ia memang cukup dekat dengan Elang. Sejak lama. Elang adalah orang kedua Arya. Adi juga sebenarnya dekat dengan Wira, tapi tidak sedekat seperti dengan Arya. Setelah Arya menikah dengan Nayla, ia menjadi kaki tangan Elang. Dan mereka terus bersama sampai sekarang.
"Tidak usah, Di. Kau di sini saja. Bantu mereka."
"Sudah terlalu banyak orang di sini. Di luar sana Kalla jauh lebih banyak. Lagi pula aku yakin mereka tidak akan muncul siang hari."
"Begitu juga Kalla, bukan?"
"Aku tetap ikut. Setidaknya aku membantumu menyetir. Kau tidak tidur semalaman, bodoh!" Adi meraih jaketnya dan berjalan keluar. Elang hanya menarik satu sudut bibirnya ke atas melihat sikap Adi yang kadang over protectif.
____
Abimanyu duduk di sebuah bongkahan batu, bawah pohon. Menatap lurus ke pantai yang sepi. Ia masih terbayang kejadian demi kejadian yang ia alami. Terlebih tato ditangannya yang kini makin jelas polanya. Bahkan warnanya juga tidak pudar. Berkali-kali Abi mencuci tangannya bahkan menyiramkan bensin agar noda itu hilang. Namun hasilnya nihil.
"Apa mungkin tato ini salah satu cara untuk membasmi Kallandra?" Bayangan saat Kallandra mati masih, tercetak jelas diingatannya. Telapak tangannya terus menekan tubuh Kallandra dan berhasik membakar makhluk itu hingga menjadi abu. Lebih mudah daripada membunuh Kalla itu sendiri.
"Tunggu! Jika Kallandra mampu musnah hanya karena tato ini, pasti ini akan berguna juga untuk Kalla!"
Dalam pergumulan pikiran dan hatinya sendiri, Abi tidak menyadari kehadiran Vin di sampingnya. Sampai Vin berdeham. Abi baru menoleh walau hampir saja memukul Vin.
"Astaga! Kau mengaggetkan ku saja, Vin!" omel Abimanyu. Ia kembali duduk dan menatap deburan ombak di depan. Baginya ini caranya untuk me-recharger tubuhnya. Melihat pantai. Menikmati keindahan air laut dengan pasir putih yang indah, mencium bau air laut, itu adalah caranya memperbaiki moodnya. Membuatnya lebih tenang.
"Lagi pula kau sendirian saja di sini."
"Yah, aku suka pantai di sini. Sama seperti di kampung halamanku." Abi menoleh ke Vin dengan tatapan sendu. Vin tersenyum. "Kau beruntung, Bi. Memiliki sebuah kampung halaman yang benar-benar kau rindukan. Sementara aku ... Tidak ada." Vin menunduk. Membayangkan nasib dirinya yang sebatang kara. Baginya semua pantai adalah kampung halamannya. Semua tempat adalah rumah, asal ia nyaman di dalamnya.
"Aku bahkan sekarang merasa tidak punya kampung halaman dan rumah lagi, Vin. Semua hancur sejak kematian kedua orang tuaku. Aku merindukan ayah. Dia yang selalu ada untukku. Dia selalu membantuku saat aku dalam kesulitan. Saat aku kebingungan seperti sekarang. Aku benar-benar membutuhkan dia. Terkadang aku ingin menyerah. Aku lelah, Vin."
"Aku menghabiskan beberapa tahun mengabdi pada negeri ini. Pergi mencari orang-orang yang membutuhkan bantuanku. Tanpa peduli keselamatan diriku sendiri. Sampai akhirnya, aku bertemu Gwen. Dia mampu mengalihkan pandanganku saat itu. Membuat nyawaku seolah berharga. Agar terus bisa menjaganya. Walau sekarang dia sudah pergi selamanya, aku tetap berjuang. Agar tidak ada lagi pasangan yang terpisah karena ulah makhluk keji itu. Kau masih punya Ellea untuk kau lindungi, Bi. Jangan sampai kau menyerah begitu saja. Terlebih sekarang kau memiliki tato itu. Tato Adalbaro."
"Adalbaro? Apa itu?" tanya Abi sambil memandangi telapak tangannya.
"Tato itu dirancang oleh pejuang jaman dulu. Mereka memakai simbol itu untuk memenjarakan iblis. Simbol itu sudah dikeramatkan. Jadi sehebat apa pun Kallandra, tidak akan bisa melawanmu. Asal simbol itu terus ada di tanganmu."
"Benar, kah, Vin? Kalau begitu, aku juga bisa membunuh Kalla dengan tato ini, bukan?"
"Tentu saja. Kau bahkan menjadi satu-satunya manusia yang bangsa Kalla hindari sekarang. Aku yakin, mereka sudah tau tentang simbol itu. Dan untuk sementara waktu, pergerakan mereka akan terbatas. Malah aku yakin kalau mereka tidak akan menyerang untuk saat ini."
"Ah, Vin. Aku penasaran, apa yang mereka incar dari batu saphire?"
"Kau ini bodoh, ya? Tentu saja memusnahkannya."
"Iya, aku tau memusnahkan batu saphire, tapi Vin, kau tau bukan, kalau tugu itu sangat besar? Mereka akan meledakannya? Begitu?"
"Yah, benar. Ayah bilang bukan batu saphire itu yang menjadi incaran utama mereka. Tapi sesuatu di dalamnya."
"Maksudmu?"
"Darah lapetus, dewa keabadian, ada di dalam batu saphire itu. Kalla mengincarnya untuk mendapat keabadian. Jadi mereka harus meluluh lantakan tugu batu saphire terlebih dahulu."
"Lalu kenapa batu saphire membuat mereka tidak bisa mendekat?"
"Dulu saat Kalla datang ke bumi kita, Zarion, adalah orang pertama yang bertarung melawannya. Ia seorang pemimpin perang saat itu. Bertahun-tahun ia dan pasukannya mencari keberadaan Kalla. Tapi suatu ketika, ia terpojok. Ia hampir kalah berperang. Lalu bersembunyi di sebuah gua. Gua itu gelap. Dan memiliki setitik sinar terang di kejauhan. Zarion terus mengikutinya sampai di sebuah ujung gua. Tempat yang asing bahkan hutan di sana tak sama seperti di tempat asalnya. Ia baru tau kalau itu adalah tempat asal Kalla. Zarion terus menelusuri tenpat itu. Hingga ia bertemu seseorang tua renta. Membawa Zarion ke sebuah gue lain. Di sana dia melihat dua buah kristal. Satu berwarna hitam dan satu berwarna biru terang. Dengan sebuah catatan di sana. Keabadian dan perlindungan. Pria tua itu memberikan dua kristal itu pada Zarion. Dan berkata untuk melindungi kristal hitam itu. Jangan sampai jatuh ke tangan Kalla."
"Kristal hitam dan biru? Saphire, kah, yang kau maksud kristal biru?"
"Benar, Bi. Dan di pulau ini adalah satu-satunya tempat terbanyak terdapat batu saphire biru terang. Zarion memasukan kristal hitam ke dalam tugu batu itu. Mencoba menjaga nya hingga akhir hayat."
"Bagaimana kau tau?"
"Ayah yang menceritakannya. Dan legenda ini sudah ada turun temurun di pulau Saphire."
"Jadi tato ini?" tunjuk Abimanyu masih belum paham atas penjelasan Vin yang panjang lebar.
"Zarion mengabdi di pulau ini, menjaganya dengan simbol itu. Ia membuat simbol seperti ini dengan batu saphire di bawah pasir sana," tunjuk Vin ke hamparan pasir putih di depan mereka.
"Benar, kah?" Abimanyu masih tak percaya.
"Kau pikir apa alasan Kalla tidak bisa masuk? Batu saphire hanya perantara saja. Buktinya mereka tidak kepanasan saat melihat kalung yang kalian pakai, bukan?" Vin beranjak. Karena dirasa hari sudah siang.
"Jadi benar, kalau di bawah pantai ada batu saphire dengan simbol ini?" tanya Abi mengikuti Vin pulang.
"Kau gali saja sendiri kalau tidak percaya!"
Lorong waktu menjadi penghubung dua dunia ini. Zarion yang sudah membuktikan semua itu dan mencatatnya ke dalam sebuah buku. Dan buku itu ada di rumah John.
_____