Chereads / Supernatural (pancasona season 3) / Chapter 22 - 21. desa terkutuk

Chapter 22 - 21. desa terkutuk

Ada sebuah foto John yang ada di dinding, yang menunjukan kalau ia adalah veteran.

4 cangkir kopi tersaji di meja. Empat pria itu hanya diam. Mempersiapkan semua diskusi yang pasti akan berbuntut panjang.

"Jadi, kalian anggota Argenis yang baru?" tanya John mengawali pembicaraan.

"Iya. Dan anda? Juga argenis? Apakah ada argenis lain selain kami?" Adi lebih mendominasi karena ia juga yang lebih dahulu dirangkul Elang membasmi Kalla.

"Kalla sudah ada sejak jaman dahulu. Entah sudah berapa manusia yang mereka bunuh. Semua berawal dari desa sebelah. Di sana awal mula Kalla ada. Saya tidak tau dari mana mereka datang, tapi yang jelas, desa itu telah dikutuk. Sejak 1 orang di sana meninggal dengan kondisi aneh, warga lain perlahan juga mati secara mendadak. Kondisinya kering. Bagai tersengat listrik. Padahal desa itu belum mengenal listrik. Kematian yang makin hari makin banyak, membuat desa itu menjadi desa terkutuk. Banyak yang pindah, bahkan sampai ke sini."

"Tapi, paman...." Adi menatap keluar jendela. "Kenapa aku merasa tempat ini berbeda. Bahkan saat pertama kali menginjak pantai. Semua terasa menguar. Rasa sakit, pengap, dan semua hal buruk tidak lagi terasa. "

"Tentu saja. Kalian tidak tau? Kalau pulau ini adalah titik nol kehidupan manusia?"

"Titik nol kehidupan? Maksudnya? " tanya Gio.

"Di sini lah tempat lahirnya Argenis. Pendahulu kami berasal di desa ini. Dan Kalla tidak akan mampu masuk ke tempat ini. Bahkan hanya sampai pantai saja, tubuh mereka akan terbakar sendiri."

"Waw. Keren. Bagaimana itu bisa terjadi, paman?"

"Karena tugu batu saphire. Tugu ini ada di tengah desa. Kilau birunya tertutup karang batu, dan itu sengaja kami lakukan. Di sana adalah sumber inti kehidupan. Dan Kalla yang sumber kematian tidak akan bisa mendekatinya."

"Ini luar biasa. Eh, Di, apakah Elang tau hal ini?" tanya Gio.

"Entahlah. Sepertinya dia tidak tau. Kalau dia tau, pasti dia sudah menceritakannya padaku."

"Lebih baik kalian menghubungi Elang. Agar dia bisa datang kemari dan mungkin kita bisa merancang rencana untuk membunuh Kalla, " saran Vin.

Hari beranjak malam. Selesai makan malam, mereka duduk di teras. Menikmati angin laut yang terus menerobos tiap sudut ranting pohon ketapang. Sejuk dan dingin. Jaket sudah mereka kenakan. Menikmati secangkir teh rupanya membuat tubuh lebih santai.

Obrolan ringan tercipta dari tiap mulut. Membahas hal tidak penting menjadi penting. Semua hal yang Vin alami serta pengalaman John. Juga ditambah cerita dari Adi saat berjuang hanya berdua bersama Elang.

Bahkan nama Arya muncul dari mulut John. Hal itu membuat Gio dan Adi terkejut.

"Kau mengenal Arya, Pak tua?" tanya Gio. Yang mulai seenaknya memanggil orang.

"Tentu saja. Dia dan seorang kawannya pernah datang ke sini. Mereka kami sebut pelancong. Pria satunya, mencari pemimpin Argenis, karena mereka meminta bantuan kami karena penyerangan musuh mereka."

"Tunggu! Pria satunya?  Siapa? "

"WIRA. WIRASENA."

Cangkir teh Adi jatuhkan. Gio ikut melongo dibuatnya.

"Di, yang ia maksud Wira asli atau pengikut Black Demon?"

"Nah, benar. Black demon. Mereka datang kemari untuk meminta pertolongan tentang black demon. Musuh mereka."

"Berarti Wira sebelum menjadi bagian black demon, Gi."

"Apa maksud kalian, Wira asli dan pengikut black demon?"

Mereka secara bergantian menceritaka kejadian naas itu. Saat wira mati dan tak lama setelahnya ia kembali muncul sebagai pengikut balck demon. John berdacak tak percaya. Karena Wira yang ia kenal dulu, adalah pria pemberani dan ksatria. Bahkan dia adalah pria yang cukup pandai. Beberapa hari tinggal di desa ini, ia banyak membantu warga. Bahkan Wira yang menyuruh mereka menutup batu saphire besar itu dengan karang. Wira bilang, " Batu ini memiliki kekuatan yang maha dahsyat. Benda ini yang melindungi pulau dari pengaruh jahat luar. Kalian beruntung."

Adi diam. Ada sedikit nyeri di dadanya mendengar nama Wira kembali di sebut. Wira memang pemimpin terbaik. Adi yang dulu bukan siapa-siapa, kini berubah. Dan itu berkat Wira.

"Sayang sekali kalau mereka harus mati dengan cara seperti itu," tukas John, ikut larut dalam kesedihan Adi dan Gio.

Waktu berjalan terasa lambat. Sementara mereka belum juga merasakan kantuk. Padahal perjalanan tadi cukup melelahkan.

"Baiklah, kalian beristirahat saja dulu.  Saya akan ke pantai. Ada bongkar muat kapal ikan di waktu ini."

"Eum, kami ikut saja, Paman. Rasanya berada di luar jauh lebih menyenangkan," kata Adi.

"Ah, aku di rumah saja. Mataku mulai lelah, aku harus tidur," elak Gio, menggeliat.

"Tidur saja, kau, sampai mati!" ejek Adi.

"Kauu!"

"Hey, kalian tidak bisa, ya, sehari saja tidak bertengkar?" hardik Vin.

"Ayo, ayah. Kita ke pantai. Biar kami bantu," tambah Vin.

Gio ditinggalkan di teras seorang diri. Bunyi burung hantu membuat bulu kuduknya meremang. Dalam beberapa detik, ia segera berlari menyusul John dan yang lain.

"Hey, tunggu aku!"

_____

"Cih, dasar pengecut! Gio takut pada hantu?  Haha!!" ejek Adi tertawa puas.

"Diam, kau, idiot! Kau tidak merasakan saja, bagaimana menyeramkan nya barisan pohon ini kalau dilihat-lihat!"

"Tetap saja, kau, pengecut!"

Begitulah mereka. Selalu bertengkar. Vin dan John hanya menanggapi dengan satu bibir di tarik ke atas.

Langkah mereka santai, hingga tak terasa sampai di barisan pohor terakhir yang akan mengarah ke bibir pantai.

Tapi, tiba-tiba John merentangkan kedua tangannya. Memberikan isyarat ketiga orang di belakangnya untuk berhenti.

Beberapa kapal di depan mereka menurunkan orang-orang aneh. Tapi saat kaki mereka menginjak pasir putih di sana, tubuh mereka langsung terbakar, dan hangus menjadi abu.

"Apa itu, ayah? Apakah mereka .... "

"Kalla." John terus menatap pantai dan sengaja menyembunyikan diri diantara batang pohon. Mereka bertiga juga melakukan hal yang sama. Menyaksikan pemandangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Begitu kaki menapak pasir, tubuh Kalla, baik yang sudah kembalu ke wujud semula, atau yang masih berwujud manusia, akan terbakar. Abu mereka segera terbang terbawa angin laut yang memang cukup kencang.

"Mau apa mereka ke sini? Bukan, kah,  mereka tau, kalau pulau ini tidak akan bisa mereka datangi?  Lantas kenapa mereka memaksakan diri?" pertanyaan Adi memang tepat.

John diam. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Sambil mengamati keadaan pantai. Memastikan bahwa tidak ada satu pun dari kalla yang mampu masuk ke pulau ini. Pulau dengan titik nol kehidupan