Chereads / Supernatural (pancasona season 3) / Chapter 16 - 15. Janin kalla

Chapter 16 - 15. Janin kalla

[Temui aku, di Toserba tadi! Ajak Gio dan Adi serta.]

Pesan masuk ke gawai milik Abimanyu. Ia yang tengah membuat pesanan kopi, langsung diam. Menatap gawai miliknya, hingga tepukan di bahunya membuyarkan lamunan pria itu.

"Fokuslah bekerja, anak muda." Nayaka kini ada di belakangnya, membuat kesadaran Abimanyu kembali sepenuhnya.

Ia tak menanggapi, hanya kembali melanjutkan aktifitasnya. Suasana cafe cukup ramai, membuat Abimanyu bekerja tak henti. Entah sudah berapa cangkir kopi ia buat sejak pagi.

Pukul 21.00 cafe ditutup lebih cepat, karena stok persediaan bahan makanan sudah habis. Abimanyu segera berganti pakaian dan pergi meninggalkan cafe, bahkan ia tidak ikut briefing malam karena benar-benar mencemaskan Elang. Takut-takut kalau Gio dan Adi belum bisa menyusulnya. Ia berlari sambil sesekali melihat ke sekitar, mencari taksi, yang sama sekali tidak terlihat sejauh mata memandang. Jalanan juga sudah tidak begitu ramai, karena bekas hujan masih basah menggenang di sepanjang ruas jalan.

"Butuh tumpangan?" tanya seseorang di balik mobil yang kini berhenti di sampingnya.

"Kenapa lama sekali?" Abimanyu segera masuk ke kursi belakang. Kemudian mereka bertiga segera pergi ke tempat yang Elang minta.

Mobil melaju kencang karena Gio yang memegang kemudi. Semua orang tau kalau Gio adalah raja jalanan. Dia orang yang seenaknya, dan tidak takut apa pun.

"Bi, kau punya teman yang sering mengajakmu mati?" tanya Adi yang duduk di samping Gio.

"Aku tidak punya teman dekat, Paman."

"Kalau begitu sekarang kau punya. Dan bersiaplah mati sewaktu-waktu," kata Adi yang mencengkram pegangan di atas pintu sampingnya.

Abimanyu ikut berpegangan seperti Adi. Laju mobil justru dipercepat hingga tak lama mereka berhenti di toserba itu. Daerah ini masih hidup, karena beberapa toko masih terlihat buka. Toserba ini juga termasuk toko yang buka 24 jam, alias tidak pernah tutup.

Elang masih setia di dalam mobil. Ia sudah mengintai sejak beberapa jam lalu. Tak lama mobil Gio nampak parkir di belakangnya. Elang hanya memandang dari kaca spion mobilnya saja.

[Bagaimana pengintaianmu, Pak Ceo?]

[Cukup menyita waktu. Sudah ada 11 gelas kopi yang kuminum dan beberapa bungkus camilan. Dia belum juga keluar. Benar-benar membosankan!]

[Baiklah. Abimanyu akan masuk ke dalam. Memeriksa keadaan di sana. Sekaligus membeli kopi ke 12.]

[Berhati-hatilah]

Pintu mobil dibuka. Abimanyu yang memakai jaket hoddie, keluar. Menatap sekitar, lalu menutup kepalanya memakai tudung yang tersampir di belakangnya. Kedua tangan ia masukan ke saku jaket.

Toserba itu adalah tempat paling terang diantara sekitarnya. Beberapa toko dan ruko sudah tutup karena hari hampir larut malam.

Gemerincing lonceng yang dipasang di atas pintu adalah salam penyambutan otomatis di tempat ini. Tak lama setelah itu, sapaan sang penjaga kasir menggema di sepanjang toko. "Selamat datang."

Abimanyu berdiri di dekat kasir, menatap sekitar. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Eum, kopi. Saya mau membeli kopi."

"Oh kopi ada di ujung sana," tunjuk penjaga kasir ke sudut belakang toserba. Di sana ada mesin pembuat kopi. Abi menatap sudut itu sejenak, kembali menatap sekitar. Netranya liar mencari wanita yang ia lihat pagi tadi.

Ketemu!

Wanita itu sedang memakai mantel bulu, dengan tas tersampir di pundak kanannya. Jam kerjanya sudah habis. Abi segera mengambil kopi dan membayarnya. Sementara wanita tadi baru saja berpamitan pada teman yang ada di meja kasir.

Abimanyu, meneguk kopi yang baru saja ia bayar. Mendorong pintu dan berdiri sejenak ke arah kawan-kawannya. Seolah saling memberikan isyarat, Abi mengangguk dan berjalan mengikuti wanita tadi. Berusaha menjaga jarak agar pengintaiannya tidak diketahui.

Jalanan sudah sunyi, hanya beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang. Mobil Elang dan Gio mengikuti Abimanyu dalam jarak jauh. Wanita tadi berbelok ke sebuah gang sempit. Abimanyu terus mengikutinya, namun dengan tetap menjaga jarak.

Memperhatikan terus semua gerak gerik wanita itu, saat ia mengelus perut yang buncit karena kehamilannya, saat ia membalas beberapa pesan di gawai miliknya, cara ia berjalan bahkan wanita itu tidak nampak aneh sejauh ini. Yah, bagi mata biasa. Tapi tidak bagi Abimanyu. Ia tetap melihat wanita itu dengan wujud Kalla. Rambutnya panjang bergelombang, kusut. Kulitnya hitam legam, giginya runcing  dan panjang, membuat air liurnya terus menetes ke bawah. Karena mulutnya yang tidak bisa menutup sempurna, maka suara geraman terus terdengar, walau samar, tapi itu juga salah satu ciri makhluk ini.

Langkah wanita itu makin dipercepat, ia sesekali menoleh ke belakang. Rupanya ia menyadari kalau tengah diikuti. Karena kini bukan hanya Abimanyu saja yang ada di belakangnya. Jauh beberapa meter dari Abi, ada Gio dan Adi yang juga melakukan hal yang sama.

Hingga saat sampai di ujung gang yang sudah tidak ada jalan lain lagi, ia segera berlari masuk ke sebuah gedung tinggi dengan aksen kumuh dan tua. Salah satu rumah susun dengan harga sewa paling murah di kota, dan mempunyai kisah mengerikan hingga tidak ada yang berani tinggal di sana, kecuali wanita tadi. Ia mengunci pintu masuk depan dan segera masuk ke lift. Sadar kalau pria yang ada di belakangnya tau jati dirinya, ia harus segera menyelamatkan dirinya dan bayi di dalam perutnya.

Abimanyu yang kesulitan masuk, tanpa pikir panjang mendobrak pintu itu hingga seluruh kacanya hancur dan engsel pintunya rusak. Gio dan Adi segera mempercepat larinya.

"Ke mana dia? "

"Masuk ke dalam!"

"Ayo, cepat! Tidak ada waktu lagi, dia pasti sedang mencari cara melarikan diri!"

Mereka bertiga menuju lift. Dan kini naik ke atas. Rupanya wanita itu tinggal di lantai atas gedung ini. Tombol terakhir menuju lantai 5, dan kini mereka bertiga sudah sampai di sana.

"Ngomong-ngomong Paman Elang ke mana?"

"Dia ada urusan."

Pintu lift terbuka, kini yang ada di hadapan mereka adalah sebuah koridor yang panjang dengan beberapa pintu kamar yang tertutup. Sampai di sini, mereka tersesat.

"Bagaimana ini, kamar yang mana?" tanya Gio, menjambak rambutnya sendiri.

Adi tengak tengok berusaha mencari satu saja kemungkinan tanda jejak dari Kalla. "Paman, kau dari kamar ini, ke ujung. Aku deretan ini, dan paman Gio, di sebelah sana," suruh Abimanyu menunjuk ke deretan kamar yang mirip apartmen kosong ini. Cat di temboknya sudah pudar. Lantainya kotor. Benar-benar mirip bangunan kosong.

Abimanyu segera mendekat ke satu pintu yang menjadi incarannya. Satu persatu ia memperhatikan tiap detil pintu kamar. Begitu juga dengan Gio dan Adi. Mereka berpencar.

Tiap lubang pintu mereka intip. Dengan indera penciuman, mereka mengendus tiap sudut tempat ini. Mirip anjing pelacak saja. Karena hanya dengan cara ini mereka bisa menemukan Kalla.

Pintu terbuka dari sebuah kamar paling ujung. Mereka bertiga langsung menoleh dan rupanya keluar seorang nenek-nenek dengan rambut dominasi uban. Tengah memegang tali yang mengikat pada leher anjing cihuahua miliknya.

Ia melewati Abimanyu dengan langkah pelan. Tatapan mereka bertiga membuat nenek itu curiga.

"Kalian sedang apa?"

Adi mendekat dengan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Maaf, Nek. Kami mencari teman kami. Dia wanita dan sedang hamil. Namanya.... " Adi menoleh ke Abimanyu dan Gio guna mendapatkan sebuah nama. Karena dia sama sekali tidak tau nama wanita yang tengah mereka kejar.

"Wanita hamil? Di sini hanya ada 1 wanita hamil. Itu, di kamar 507," tunjuknya ke belakang Adi.

Ia menoleh dengan smirk kemenangan. "Oh di sana?  Terima kasih, Nek. Hati-hati di jalan," tukas Adi menganggukan kepalanya, dan nenek tadi yang tak menanggapi apa pun, lantas pergi masuk ke lift.

Kini tinggal 3 pemuda itu. Mereka saling memberikan isyarat dan menuju kamar yang ditunjuk nenek tadi.

Kamar 507

Gio melipat lengan bajunya, ia sudah memasang kuda besi. Adi yang paham apa yang ada di otak Gio, lantas menahannya. "Mau apa kau? Jangan gila, Gi!"

"Tentu saja mendobraknya. Apa lagi?"

"Sebentar, Paman." Abimanyu mengetuk daun pintu sebanyak tiga kali. "Permisi," sapanya mencoba setenang mungkin.

Tak ada sahutan sama sekali. Sunyi. Bagai kamar tak berpenghuni.

"Ah, sudah! Minggir! Biar kudobrak saja!" Gio mendorong Abimanyu dan Adi ke samping. Kaki Gio mulai naik dan dalam sekali tendangan, pintu di depan mereka roboh.

"Wah, hebat!" puji Adi, menepuk bahu Gio yang masih berusaha menetralkan nafasnya.

Adi dan Abimanyu lantas masuk ke dalam, diikuti Gio. Kamar ini sepi. Namun bau anyir semerbak sesekali di hidung mereka. Karena di tempat ini, ada pengharum ruangan yang akan otomatis menyemprotkan wangi setiap beberapa menit sekali.

"Cari!" suruh Adi. Mereka berpencar. Memeriksa tiap sudut ruangan ini. Abimanyu memeriksa dapur dan kamar mandi, Adi menuju kamar seorang diri. Perlahan membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalamnya. Sementara Gio menuju balkon. Ada ruangan kecil sebelum balkon luar. Yang berfungsi sebagai gudang. Gio memeriksanya dengan teliti, walau beberapa kali ia harus bersin-bersin karena debu yang cukup tebal. Waktu terhenti. Batu saphire sudah ditancapkan. Itu berarti Kalla sudah ada di sekitar mereka. Batu saphire memang satu-satunya benda yang dapat mengembalikan wujud asli Kalla. Siapapun manusia dengan jelmaan Kalla akan kembali ke wujudnya jika terkena pengaruh batu saphire itu.

"Arg!" jerit Adi seperti menahan sesuatu di tenggorokannya. Abimanyu segera menyusul ke kamar, namun ia langsung mendapat tendangan kuat dari Kalla. Wanita tadi berubah wujud. Tetap dengan perut yang buncit dengan janin di dalamnya.

Abimanyu terpental hingga menabrak ujung meja. Ia mengerang kesakitan, menahan sakit di punggungnya. Wanita tadi segera berlari menuju pintu keluar, tapi Adi sudah berdiri di sana walau dengan leher berlumur darah. Ia terluka terkena cakaran tangan makhluk itu. "Paman Gio!" panggil Abimanyu, Gio segera membantu Adi. Ia menyeret wanita itu dengan menjambak rambutnya kasar. Gio melemparnya menghantam tembok. Makhluk itu mengerang kesakitan. Adi segera mengeluarkan senjata miliknya. Sementara Abimanyu melirik sebuah samurai di atas meja nakas. Adi berlari cepat, dan menancapkan pisau itu tepat ke dada Kalla. Ia masih mampu berteriak, ia terus meronta. Dan membuat Adi terkena tendangan di antara selangkangannya. Otomatis ia melepaskan wanita tadi dan fokus pada rasa sakitnya sendiri. Wanita jelmaan Kalla itu, berusaha menarik pisau dari dadanya dengan kepayahan. Gio mendekat dan memegangi kedua tangan hitam itu.

"Bi! Potong kepalanya!"

Abimanyu yang sempat melihat foto keharmonisan keluar kecil ini lantas merasa iba. Ia sudah menikah dengan seorang pria. Dan kini tengah berbadan dua. Setidaknya, ada bayi yang tidak berdosa yang ada di dalam perut wanita ini. "Cepat, Bi!" jerit Gio lagi. Abimanyu tak bergeming. Rasa kemanusiaannya kini mendominasi.

"Lekas! Potong kepalanya atau tusuk, perutnya!" kembali suara Gio mengusik pikirannya.

Sampai akhirnya terdengar langkah dari arah luar. Semua orang menoleh untuk mengetahui siapa yang datang. Elang masuk dengan dua buah samurai dikedua tangannya. Wajahnya tertutup masker hitam.

Tanpa basa basi lagi, ia segera mendekat ke Gio dan langsung menebas kepala Kalla. Gio melepaskan pegangannya. Terakhir, Elang membelah tubuh itu menjadi dua.

Kekejamannya tak sampai disitu. Kini bayi yang masih bergerak di setengah tubuh wanita itu, langsung di bunuh Elang.

"Bakar!" kata Elang dengan tetap menekan samurai yang masih menancap di tubuh bayi itu.

Gio, mengambil korek api dan membakar tubuh itu bersama sama. Api berkobar. Membuat kepulan asap tebal dan hitam. Adi lantas membuka balkon guna mencari udara segar. Ia sudah batuk-batuk, karena tidak tahan. Gio menyusul Adi. Elang yang sudah melakukan persiapan dengan sebuah masker di wajahnya, hanya diam menatap jasad yang sudah gosong di depannya. Ia juga menatap nyalang ke arah Abimanyu. Langkahnya pelan, namun mampu mengintimidasi Abimanyu yang hanya mampu berdiam diri di tempatnya berdiri. Elang menepuk bahu pemuda itu.

"Jangan pakai rasa kemanusiaanmu pada mereka. Karena status manusiamu akan mereka rampas dengan mudah!"

Elang keluar dari kamar ini. Adi dan Gio segera membereskan sisa potongan tubuh yang belum terbakar sempurna.

"Miris sekali hidup pria itu," tunjuk Gio ke foto keluarga yang menempel di tembok.

"Iya. Apa yang akan terjadi kalau ia mengetahui kita menghancurkan kamarnya dan... Membunuh istrinya, ya?"

"Bodo! Dia bukan istrinya, tapi jelmaan Kalla."

"Itu jika suaminya salah satu dari kita, dia akan memahaminya, tapi dia hanya manusia biasa. Bukan Argenis seperti kita, idiot!" perdebatan itu tak ada habisnya. Sementara Abimanyu perlahan membereskan beberapa barang yang tercecer di lantai. Bayangan bayi tadi masih, terngiang di kepalanya.

Beberapa langkah kaki, terdengar menggema di koridor. Elang muncul lagi bersama seorang pria. Pria yang lebih tepatnya ada di foto yang tadi mereka bicarakan.

"Hey, bagaimana bisa dia sadar, batu saphire masih ditancapkan di kamar. Bukan begitu, Di? " tanya Gio, heran.

"Dia punya tati seperti kita," jawab Elang mengangkat tangan kiri pria itu ke atas. Menunjukan sebuah tato yang sama seperti mereka.

"Hah? Bagaimana bisa?!"

"Dia menjadi salah satu dari kita mulai sekarang. Aku pergi mencarinya dan menceritakan semua kebenaran ini. Awalnya dia tidak mempercayaiku, tapi saat kutunjukan wujud asli salah satu Kalla, yang menjelma sebagai sahabat istrinya, ia baru percaya."

"Wanita satunya itu, kah, paman?" tanya Abimanyu.

"Yah, dia. Dan sekarang sudah menjadi abu seperti sahabatnya itu," kata Elang dengan menunjuk jasad Kalla yang baru saja ia bunuh.

Vin. Pria itu bergabung menjadi Argenis, saat tau kalau istrinya sudah mati ditangan Kalla. Ia sudah menyadari keanehan pada istrinya selama beberapa bulan terakhir. Dan akhirnya kecurigaannya beralasan.

Ia sedih. Sangat. Tapi, ia bertekad membunuh semua ras Kalla, guna membalaskan dendamnya karena telah merenggut istrinya sendiri.

Dan anggota Argenis bertambah.