Dia menyelinap di antara lipatan Aku lagi, menyebarkan basah Aku lagi. "Aku sangat ingin menidurimu."
"Kau masih sembuh," serakku. Tulangnya yang patah perlu diperbaiki. Salah satu dari kami harus menjadi suara akal, bahkan jika tubuh Aku membenci Aku karenanya.
Dia duduk dengan kaku. "Angkang aku dengan pantatmu menghadapku."
"Apa?"
"Lakukan," perintahnya.
Aku tidak menanyainya, hampir tidak bisa berpikir jernih dari denyutan di antara kedua kakiku. Aku mendorong dan memanjat Remo, berhati-hati agar lututku tidak menabrak tulang rusuknya. Telapak tanganku beristirahat di samping lututnya saat aku berlutut di atasnya, pantatku mendorong keluar. Remo mengangkat gaun Aku sampai Aku terbuka dan inti Aku menegang untuk mengantisipasi. "Brengsek," gumam Remo, membuatku menggigil lagi.