Part 2
Dendam Arum
"Aku memang tinggal sendirian, karena itulah rumah ini sepi. Hanya sewaktu-waktu saja anak semata wayangku datang menjenguk. Ia tinggal di kota lain." Mina Roh menjelaskan, sepertinya mengerti isi pikiran Arum.
"Eh, oh iiya Mina," jawab Arum pelan.
"Kau datang kemari karena ingin memberi pelajaran untuk suamimu bukan?," tanpa ba bi bu Mina Roh menanyakannya.
"Mina tau?" Arum heran.
Mina terkekeh. "Hampir 80% perempuan yang datang kemari membawa keluhan yang sama," jelasnya.
"Aku pun bisa melihat kemarahan tergambar di wajahmu," tetiba jemarinya mengusap pipi Arum. Arum tersentak. Jemari itu terasa dingin.
"Kasian kamu, Nak," tatapnya penuh iba.
Mendadak saja airmata Arum tumpah tanpa mampu ia bendung lagi. Kata-kata itu sederhana tapi seolah mengoyak hatinya yang sarat beban. Semua rasa sakitnya selama ini tak dapat lagi ia sembunyikan.
"Sabarlah, akan sampai waktunya kaulah yang akan tersenyum," tuturnya lembut sembari mengusap bahu Arum.
Arum merasakan kelelahan jiwa yang luar biasa.
"Duduklah dulu," perintahnya. Arum menurut.
Entah apa yang dilakukan Mina Roh di dalam, Arum merasa ia begitu lama tak muncul.
Sekejab hadir lagi keraguan dihatinya, tapi ia yakinkan hati bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Riko harus diberi pelajaran. Hati Arum merutuk. Ia duduk setengah melamun, hingga tak menyadari kehadiran Mina Roh.
Ia berdehem pelan.
Arum yang kaget buru-buru memperbaiki posisi duduknya hingga lebih tegap.
"Ba bagaimana, Mina? Aapa yang harus aku lakukan untuk membalas sakit hatiku ini?," Tanyanya.
"Suamimu itu memang sudah keterlaluan padamu, ia lupa diri," kata Mina.
Arum mengangguk setuju. Ibarat kertas mungkin sudah lama dilumatnya Riko yang sudah terlalu menyakiti hatinya itu. Ia mendengus.
"Ia juga sombong sekali," lanjutnya. Arum kembali menggangguk mengiyakan.
"Jadi, bagaimana Mina? Aku harus apa sekarang?,' Arum menatapnya.
"Lelaki merasa hebat bila ia dihadapkan pada urusan seksual. Tapi, bila kemampuannya kita matikan, maka ia akan berubah menjadi lelaki yang paling tidak berguna,"Mina Roh menatapku lekat.
"Babagaimana, Mina?," Arum tak mengerti.
""Kita matikan kelaminnya, hingga ia tak akan bisa lagi berhubungan intim dengan perempuan manapun... hmmm termasuk denganmu," jelasnya.
"Caranya?," Arum bertanya setengah berbisik. suaranya mendadak serak. Ia abaikan kalimat terakhir dari Mina Roh sebab semua itu sudah tak penting baginya. Toh sudah lama juga ia tak mendapatkan nafkah batin dari Riko. Jadi tak ada bedanya bukan?
"Aku yang melakukan ritualnya, Kau cukup lakukan perintahku, kau beruntung datang di waktu yang tepat hingga kau tidak perlu repot mencarinya lagi, hanya apakah kau bersedia?," Tanyanya.
Tanpa berpikir panjang Arum pun mengangguk.
Mina Roh menyerahkan sebuah bungkusan untuknya.
"Suamimu suka minum kopi?," tanyanya. Arum mengangguk. "Bagus!," Mina Roh tersenyum simpul. "Kebiasaan suamimu itu akan sangat membantumu nanti," ujarnya setengah berbisik.
Arum mengangguk meski belum cukup paham dengan maksud Mina Roh.
Sesaat ia lihat mulut Mina Roh tampak berkomat kamit, entah apa yang tengah ia baca tapi Arum menangkap nuansa magis didalamnya. Semacam mantra tengah ia rapalkan. Tangannya memegang sebuah wadah yang di dalamnya berisi bubuk. Selanjutnya, bubuk-bubuk itu ia kemas ke dalam kertas yang sudah dipotong dalam beberapa bagian. ia berpesan agar bubuk di dalam bungkusan itu dicampurkan ke dalam minuman kopi suami Arum. Warna kopi yang gelap akan membantu menutupi warna bubuk tersebut. Bubuk itu harus diberikan kapanpun suaminya ingin minum kopi. Dan, tiga hari berikutnya Arum diminta untuk datang kembali menemuinya, karena masih ada proses lain yang harus ia lakukan untuk suami Arum. Arum mengangguk setuju. Memberikan sekedar ucapan terima kasih dan segera berlalu pergi.
Mina Roh menatap kepergian Arum dengan bibir tersungging senyum penuh kasian. Lantas masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.