Part 3
Sesampainya di rumah. Arum bergegas mandi. Membersihkan dirinya sebersihnya. Ia takut ada bau kemenyan yang menempel. Ia juga berusaha menjaga sikapnya karena tidak ingin Riko curiga. Tidak mudah untuk berpura-pura, seolah dirinya baik-baik saja tapi ia harus bisa bersandiwara agar Riko tidak curiga.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Riko biasa pulang larut malam. Waktunya habis bersama pekerjaan dan kesenangannya sendiri. Bila Arum bertanya selalu saja ada alasan yang ia sodorkan hingga akhirnya Arum lebih memilih untuk diam dan menahan perasaannya.
Kedua putranya, Dio dan Titan sudah pergi tidur. Biasanya Arum selalu menceritakan sebuah kisah pengantar tidur untuk kedua buah hatinya itu, tapi malam ini ia sedang kehilangan mood untunglah kedua putranya tak protes mungkin karena rasa kantuk yang sudah begitu mendera. Sesaat Arum menatap kedua buah hatinya itu dengan raut sendu. Mereka masih belum tau bahwa kedua orangtuanya sedang memiliki masalah besar. Sangat besar dan sewaktu-waktu bisa saja akan membuat kehidupan mereka tak akan lagi sama seperti anak-anak lain. Mata Arum memanas. Tak mampu menahan ia terisak dalam kepedihan yang dalam. Pelan-pelan ia tutup pintu kamar kedua anaknya dan bergegas menjauh sebelum tangisnya benar-benar pecah.
Sejak awal mengetahui Riko berselingkuh, Arum sekuatnya menyimpan rahasia itu dihadapan kedua putranya. Ia tidak ingin keduannya terluka. Meski tidak tahu sampai kapan bau busuk itu bisa ditutup rapat.
Dari pos ronda terdengar suara pentungan sebanyak dua belas kali, Arum melirik jam di dinding. Tepat pukul 24.00. Biasanya tak lama Riko akan tiba.
Benar saja tak lama terdengar suara mobil di pintu gerbang. Mama Udak lah yang biasanya akan membuka gerbang. Lelaki paruh baya yang sudah bekerja cukup lama di rumah mereka. Seorang penjaga yang setia.
Tidak lama terdengar suara langkah kaki mendekati pintu kamar. Arum memalingkan badannya menghadap tembok, pura-pura tidur. Lampu kamar yang redup sangat membantu dirinya. Tidak lama suara pintu kamar di buka. Arum semakin merapatkan matanya.
Sosok itu masuk, terdengar suaranya memanggil Arum.
"Arum, Aruum bangun, buatkan kopi untukku!," perintahnya. Tidak ada kemesraan dalam nadanya. Arum berlagak menggeliat dan berpura-pura kaget.
"Oh, sudah pulang. Baiklah," jawab Arum ketus, lantas beranjak. Ini waktunya.
Segera Arum pergi ke dapur. Membuat kopi di gelas berukuran sedang, sesekali Arum melihat ke arah kamar jangan sampai Riko menyusul dan memergokinya. Setelah dirasa aman bergegas Arum mengambil bungkusan yang diberikan Mina Roh, memasukan dua sendok bubuk berwarna agak kehitaman ke dalam gelas kopi itu, lantas segera mengaduknya. Benar, tak tampak apapun. Arum menyeringai. Segera saja ia membawakan kopi itu untuk Riko.
Riko menyambut gelas kopi dari Arum dengan semangat. Bagaimana pun, kopi buatan Arum selalu nikmat untuknya. Ia menghirupnya pelan. Arum memperhatikan dengan was-was. Namun kecemasan itu segera lenyap ketika melihat segurat senyum dibibir Riko.
Riko berlalu sambil membawa gelas kopinya ke ruang kerja. Dia memang tidak akan langsung pergi tidur. Setiap malam, entah apa yang dikerjakannya di ruangan itu. Tak ada yang boleh mengusiknya. Arum menanti dengan berdebar, apa akibat dari minuman itu untuk Riko. Namun, karena malam sudah larut Arum akhirnya tertidur pulas.
***
Keesokan harinya Arum terbangun dengan kaget, matahari sudah menyeruak lewat kisi jendela kamar. Jam dinding menunjukkan pukul 06.30.
Arum teringat pada Riko. Biasanya Riko akan kembali ke kamar setiap pukul 02.30 tapi malam tadi ternyata dia belum kembali dari ruang kerjanya. Arum tersentak. Bergegas ia bangun dan setengah berlari menuju ruang kerja Riko.
Pintunya tertutup. Pelan- pelan Arum mendorongnya. Tidak terkunci. Semakin lebar pintu terbuka dan Arum melihat Riko tidur, di kursi sofanya. Setengah berjinjit Arum mendekat. Sebenarnya Arum juga tidak tahu apa khasiat dari bubuk Mina Roh itu. Melihat posisi tidur Riko, Arum sempat berpikir waduh jangan-jangan Riko mati lagi. Ternyata setelah didekati, tidak. Riko masih hidup. Napasnya tampak teratur. Mendengkur halus.
Tak ada yang aneh. Arum mengeryitkan keningnya, berusaha melihat keanehan apa yang dialami Riko, tapi tidak, ia tidak melihatnya.
Dengan kesal Arum segera kembali ke kamarnya.
***
Huh, ternyata kehebatan Mina Roh cuma omong kosong. Gerutu Arum. Ia, memasak di dapur sambil setengah membanting apa yang dipegangnya.
Sesaat suara dering gawai mengejutkannya. Bergegas Arum mengambil gawai yang sedari tadi ada di atas meja makan. Ada panggilan dari May.
Belum sempt menekan layar, panggiln May berhenti. Tak lama chatt masuk.
[Rum, gimana? Sudah ketempatnya Mina Roh belum?]
[Sudah] balas Arum singkat diikuti emoticon kesal.
[Dikasih apa?]
[ Dikasih bubuk, trus tiga hari lagi balik kesana, tapi aku jadi malas, May ]
[Kok?]
[Habis, kukasih ke kopinya tapi ngga ada reaksi tuh, biasa aja] keluh Arum
[Yakin?]
[Cek lagi, baru juga sekali masa mau segera liat hasilnya... Santuy donk .. bubuk itu juga pernah diberikan untuk suamiku kok, dia bawaannya jadi kepingin tidur sama malas kerja dan males juga ngeladeni orang lain. Kamu bisa manfaatin itukan? disertai emoticon tertawa.
[Manfaatin bagaimana?] Arum mengirim emoticon bingung.
[Ish ish ish....aku telpon aja deh]
Tak lama gawai Arum berdering. Ia segera menyambutnya, selanjutnya mata Arum membulat, lantas ia tertawa. Ia mengangguk, dan mengatakan paham pada May. Percakapan pun terputus.
Pukul 11.00 siang. Riko masih belum keluar juga dari ruang kerjanya. Apa masih tidur begitu pikir Arum. Memang tidak seperti biasanya. Ia pun memutuskan untuk kembali menengok ke ruangan Riko.
Ia mengintip dari pintu yang tadi memang tak ditutupnya rapat. Benar masih tidur. Iya pun masuk.
"Pah, Pah," panggilnya pelan. Riko tak bergeming.
Pulas blas tidurnya. Arum menengok ke gawai yang tergeletak di samping Riko. Lantas membukanya. Tidak di kunci. Arum kegirangan. Hemmm, ada banyak panggilan tak terjawab dari Ambar, pekik Arum dalam hati. Tak lama ada pesan masuk lewat whatshappnya. Arum tahu Riko sudah mengatur chatt supaya yang mengirim pesan tak bisa melihat apakah pesannya sudah dibaca atau tidak. Sehingga dengan tenang Arum membuka dan membaca pesan itu.
Ternyata ada lima pesan masuk dari Ambar. Bernada marah. Karena Riko tidak kunjung mengangkat panggilannya padahal mereka sudah janji mau ketemuan pagi ini. Arum tersenyum. Meletakkan gawai Riko kembali lalu keluar dari ruangan itu.
Di kamar Arum tampak sibuk membongkar semua berkas penting lantas menyimpannya ke tempat yang aman. Hanya Arum yang tahu tempatnya. Setelah itu Arum mempersiapkan diri untuk pergi. Ada hal penting yang harus ia siapkan. Senyum sinis mencuat dari ujung bibirnya.
***
Setiap hari, kapan ada kesempatan Arum rutin mencampurkan bubuk Mina Roh ke kopi Riko. Sudah terlihat hasilnya. Setiap hari ia hanya ingin tidur saja, diam di rumah dan malas meladeni siapapun. Disodori apapun ia tidak menyadarinya, termasuk ketika Arum memberikan berkas yang harus ia tanda tangani. setengah tak sadar Riko dengan mudahnya melakukan apa yang Arum minta. Riko mengabaikan semuanya. Termasuk Ambar.
Pernah Arum melihat gawainya bergetar, Ambar memanggil. Riko hanya melihat sekilas setelah itu tidur lagi. Haa, Ambar pasti kesal luar biasa.
Tiga hari sudah, Arum kembali menemui Mina Roh. Arum sengaja datang saat hari mulai gelap. Meaki jantungnya berdegup tapi Ia tidak takut menelusuri jalan menuju rumah Mina Roh meski keadaan sepi dan jarak yang lumayan jauh karena harus jalan kaki.
***
Rumah Mina Roh tampak gelap tanpa penerangan di halamannya, namun dari balik dinding papan Arum bisa melihat cercah cahaya, dan sekelebat ada bayangan yang menutupi cahaya lampu. Ah, pasti Mina Roh, batinnya.
Belum lagi mengetuk pintu, ada suara dari dalam yang memerintahkan Arum agar segera masuk. Arum kaget luar biasa. Tapi ia pun menuruti perintah itu, dalam hati ia mulai mengakui kemampuan Mina Roh.