Mia berdiri seperti penjaga di samping pintu bagian luar membiarkan Citra dan kakak keduanya bicara di dalam kamar.
"Kau sudah tahu akibatnya kenapa masih melakukannya! Apa kau ingin meninggalkan kami! Apa kau tidak peduli lagi pada kami!" Gilang melotot pada adiknya. "Kakak pertama tahu kalau kau memiliki kelebihan itu, tapi dia sengaja tidak memberitahumu. Aku pikir kau akan berhenti saat Kakak pertama memintamu berhenti! Tapi sepertinya kau..."
"Maafkan aku.. ini yang terakhir.." gumam Citra bersalah dengan kepala tertunduk.
Gilang menghela napas panjang "Sudahlah.. ini yang terakhir! Jika ibu tahu kau seperti ini kakak tidak tahu apa kau masih bisa hidup seperti biasanya.. kau tahu sendiri yang paling ibu pedulikan adalah kau.. ibu akan melakukan apa pun untuk menjauhkan mu dari semua hal yang membahayakan."
Citra sekali lagi mengangguk "Aku mengerti.."
"Bagaimana perasaan mu sekarang?"
"Lebih baik! Sudah tidak pusing lagi.." Rangga mengerut kening menatap wajah pucat adiknya.
"Maafkan kakak, karena masih belum bisa menemukan obat untuk penyakit mu ini.." Gilang menggenggam tangan Citra penuh sesal. Ia seorang dokter sudah banyak nyawa yang ia selamatkan tapi untuk menyelamatkan adiknya sendiri ia tidak bisa melakukan apa pun.
"Ini bukan salah kakak.. selama aku tidak mencari masalah maka aku akan baik-baik saja." Citra mencoba menenangkan kakaknya. "Dan jangan bilang-bilang kak Rangga dia pasti akan mengomel lagi padaku."
Gilang menyentil kening Citra, "Sekarang kau tahu apa itu takut? Ah, aku dengar dari Mia kalian akan pergi kamp selama tiga hari.. kau harus menjaga diri di sana.." Citra mengangguk "Ah, benar kau pasti banyak yang ingin di beli tunggu kakak akan transferkan uang untuk mu.."
Citra baru akan membuka mulutnya namun terlambat laporan transfer sudah masuk ke ponselnya yang terletak di atas meja tidak jauh darinya. Gilang tersenyum lebar pada Citra. Tidak lama kemudian terdengar dentingan berturut-turut Citra mengerut kening pada kakaknya.
"Berapa banyak yang kakak kirim kenapa begitu banyak laporan yang masuk." Citra mengambil ponselnya dan terbelalak "Apa ini! Apakah uang dari kakak saja tidak cukup! Kenapa ayah dan ibu bahkan kak Rangga juga ikut-ikutan!" gerutu Citra kesal.
Gilang cemberut "Kenapa? Kakak pikir kau akan bahagia.."
Citra terbaring di atas ranjang tanpa semangat "Ya, aku bahagia! Bahkan dengan uang yang kalian kirimkan untukku selama ini aku bisa membeli sebuah villa."
Gilang terkekeh "Itu bagus.. baiklah! Karena kau sudah bisa marah-marah itu artinya kau memang sudah baik-baik saja. Kakak akan kembali bekerja, setelah infusnya habis kau baru boleh pulang." Gilang beranjak pergi namun saat mencapai pintu ia menoleh ke arah Citra "Ngomong-ngomong karena kau menyebutkan Villa kakak baru ingat. Kak Rangga bertanya apa kau ingin pindah dari kos dan tinggal di rumah sendiri? Tempatnya juga tidak jauh dari kampus?"
Citra memasang ekspresi marah. Gilang mengangkat tangan menyerah "Baik, kakak mengerti! Tidak pindah! Tidak pindah! Kakak akan mengatakannya pada kak Rangga. Tapi sesekali kau pergi lah ke sana, kakak akan meninggalkan kuncinya dan alamatnya untuk mu."
Setelah kepergian kakaknya Citra menghela napas lega, tidak lama kemudian Mia masuk dengan raut wajah panik "Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil memeriksa tubuh Ocha dari ujung kaki sampai kepala.
"Aku baik-baik saja jangan berlebihan, tolong!"
Mia mendecak kesal "Siapa yang berlebihan! Kau sudah aku peringatkan! Tai masih mencoba! Lihat hasilnya! Untuk aku tidak di telan habis oleh kakak mu itu." Gerutu Mia kesal duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada.
Citra tertawa "Di mana dia?"
Mia mendelik jengkel "Kau masih bertanya di mana dia? Dia sudah pindah alam!" kata Mia ketus.
"Mia!"
"Baik! Dia sudah pulang! Kakak mengusirnya." Sahut Mia cepat. Ia sudah lelah dengan omelan Gilang dan Rangga dan tidak ingin lagi mendengar omelan Citra. "Kak Gilang bilang kau boleh pulang setelah infusnya habis. Dan dia juga meninggalkan ini untukmu, ia tidak sempat memberinya langsung, dia ada jadwal operasi.."
Mia menyerahkan selembar kertas dan sebuah kunci dengan gantungan pikachu dengan ekor sengatan listriknya.
"Cepat sekali.." ujar Citra menatap kunci di tangannya.
Kepala Mia melongok "Itu alamat dan kunci rumah. Rumah siapa?"
Citra mengangkat bahu "Kak Rangga membeli rumah! Dia meminta ku pindah ke sana, tapi aku menolak."
Mia yang awalnya senang seketika patah semangat "Kenapa kau menolak?"
"Kenapa kau yang protes? Aku bebas mau ke sana kapan pun aku mau! Aku malas pindah karena biaya kos sudah aku bayar untuk satu tahun ke depan!" jawab Citra jujur.
Mia mengangguk "Kau benar! Jika pindah begitu saja kita yang akan rugi."
Citra melirik Mia dengan senyum jahil "Kita? Apa aku mengatakan akan mengajakmu juga."
"Citraaaa! Jangan kejam!" gerutu Mia kesal.
Citra tertawa lepas.
****
Hari keberangkatan, ini adalah kegiatan pertama Citra bersama organisasi, mereka akan berkemah di alam, hari pertama mereka akan berkeliling desa melihat tempat mana saja yang perlu bantuan untuk di perbaiki, hari kedua mereka akan bekerja membantu penduduk desa bersih-bersih dan sebagainya dan hari ketiga mereka akan berkemah di atas bukit menikmati pemandangan desa yang indah.
Karena kata mereka pemandangan dari atas bukit sangat indah, hamparan hijau padi yang baru di tanam terlihat seperti hamparan karpet hijau luas dan subur, serta pohon pinus yang mengelilingi sekelilingnya.
Citra berdiri di depan bus ia masih menunggu Mia yang pergi membeli makanan ringan di minimarket. Reza berdiri di samping Citra menatap gadis itu hati-hati.
"Apa? Kenapa kak Reza menatapku seperti itu."
"Aku dengar kau pingsan kemarin! Dan Wisnu membawamu ke rumah sakit? Kau yakin bisa pergi? Apa kau baik-baik saja?" tanya Reza khawatir sekaligus memastikan keadaan Citra. Meskipun gadis itu terlihat sangat bersemangat tapi tetap saja ia baru keluar dari rumah sakit.
Citra tersenyum lebar "Aku baik-baik saja, jangan cemas! Kakak ku seorang dokter! Jika dia bilang baik-baik saja maka aku baik-baik saja." Citra bahkan menggunakan profesi kakaknya untuk keamanannya, supaya tidak di batalkan izinnya pergi ikut kamp.
Reza mengangguk namun matanya tidak lepas dari Citra "Baiklah! Tapi kau tetap hati-hati.." Citra mengacungkan jempolnya. "Dan.. aku lupa memberitahumu.. kita dapat tambahan anggota relawan.."
"Siapa?" Reza menggerakkan bibirnya menunjuk ke satu arah. "Mereka?" tanya Citra tidak yakin. Reza mengangguk.
"Benar mereka! Kita kekurangan anggota cowok, dengan adanya mereka pekerjaan berat juga bisa ringan! Aku tahu kau tidak senang dengan nya, tapi untuk kesuksesan rencana kita apa kau bisa menahannya selama tiga hari.?" Tanya Reza cemas.
Citra lama diam. Lalu mengangguk "Aku bisa."
****