Chereads / Game Billionaire / Chapter 10 - Cemburu Bahaya

Chapter 10 - Cemburu Bahaya

Ayunan golok menebas kencang rimbun semak, membuat bunyi swung dan memaksa dedaunan melompat kaget. Sesekali Akiko menilik sinis teman di belakang. 

Sutris dan Anna tertinggal jauh karena lelaki itu membantu gadis Russia melangkah. Mereka berdua begitu dekat, mengobrol sambil tertawa tanpa mengindahkan siapapun.

Anna mencoba membunuh mereka tempo hari, sekarang malah diperlakukan bak putri. Menyebalkan, apa tubuh semok membuat akal Sutris putus hingga merubah lelaki itu hingga sebodoh ini?

Kekeh Aris memecah lamunannya. "Jangan gasak-gusuk. Kalau enggak suka, bilang baik-baik. Jangan pakai marah." 

Netra sipit membesar memandang jengkel Aris. "Eh Boncel, siapa yang cemburu? Aku sedang membuka jalan, bukan marah." Akiko lanjut menebas nadi hutan. "Lagian terserah mereka mau jadian kek, pacaran, nikah, bodoh amat, bukan urusanku."

"Lah, mengaku cemburu." Aris bermain dengan api, ketawa-tawa meledek. "Padahal maksudku tadi kalau memang enggak suka buka jalan, bilang baik-baik."

Akiko berhenti melangkah. Cahaya Matahari menerpa golok di tangannya yang terangkat tinggi. "Ris, lehermu mirip dahan pohon. Golokku bisa salah tebas loh."

"Aah takut, ampun nyai!" Aris berlari genit mendahului Akiko.

Senyum kecil tertahan di bibir sensual gadis itu ketika mengejarnya. "Sini Boncel, aku botakin pakai golok!"

Mereka berlarian seperti anak kecil, hingga lelah berkeringat.

Siang ini mereka beristirahat di bawah rindang pohon beringin raksasa. Sutris pergi berburu makan siang, Aris bersandar dahan pohon bersila kaki memantau keadaan memakai laptop di pangkuan, sementara Anna duduk santai di dahan pohon mengelus kaki. 

Akiko menghampiri gadis itu. Ranting kering meluncur jatuh dari tangannya. "Hei betina Russia, jangan duduk saja, buat dirimu bermanfaat."

Sentakan itu ditanggapi santai. Anna memangku kaki, menyangga dagu, berpose seperti fotomodel. "Marahmu bukan karena hal itu, kan? Katakan, apa masalahmu?" 

Akiko terhenyak lantaran Anna melihat tembus ke hatinya. Panik dia menjawab, "Jangan bermain kata-kata, aku hanya--"

"Cemburu," gumam Aris, cukup kencang sampai Anna tertawa renyah.

"Oh, jadi cemburu. Masalah Sutris? Memang kalian pacaran? Atau kamu saja yang kegatelan?"

Pipi Akiko memerah padam, antara sebal ke Aris dan Anna, juga malu. Dari pada terbakar di sini, dia pergi menuju semak tinggi.

"Mau ke mana?" tanya Aris.

"Buang air besar, mau ikut?"

Jauh Akiko pergi, hingga tertelan rimbun semak. Dia bergumam kecil duduk bersandar pohon sambil berselonjor kaki. "Menyebalkan mereka. Pada buta tolol semua. Jelas-jelas wanita itu jahat." Memasang earphone ke telinga. 

Benda hitam kecil itu memberitahu jelas isi perbincangan Sutris dan siapapun di sekitar lelaki itu.

"Wah, dapat ikan, ular, sama rakun, Tris?" Suara Anna, diimbangi tepuk tangan. "Kamu hebat."

"Iya cuma kebetulan saja, tadi ada rakun setengah badan dilahap ular, jadi bisa dapat dua."  Sutris antusias bertanya, "Jadi kamu pernah ke Syiria?"

Anna menjawab, "Perang dingin. Membantu sebentar di sana. Bagaimana denganmu?"

"Dulu pernah ke sana. Mana Akiko? Padahal aku bawakan ular untuknya, malah ngilang."

"Biasa sedang menangis karena kalah saing," sahut Aris. 

"Sialan Boncel, awas nanti, kuhajar dia," gumam Akiko. Perlahan senyumnya mengembang ketika mendengar Sutris bertanya tentangnya. Pemuda itu hafal jika Akiko suka makan ular pertanda dia perhatian padanya.

Tiba-tiba Anna berbicara, "Sutris, sebentar. Sini, mendekat sini."

Suara kerosak terdengar dari earphone Akiko. Sepertinya alat penyadap yang ditaruh ke tas Sutris sejak lama, telah ketahuan. "Jalang brengsek."

Tapi setidaknya dia memiliki apa yang dia mau sekarang. Sutris perhatian padanya, itu cukup.

Semangatnya kembali ketika menghampiri teman-teman di bawah pohon. Mereka melepas lelah, makan siang, lalu melanjutkan perjalanan menuruni lereng gunung.

"Besok kita sampai ke tujuan," ucap Aris, sibuk dengan laptop yang terkalung ke lehernya. "Banyak titik merah berkumpul di sekutar sana."

"Para warga?" tanya Sutris.

"Aku rasa bukan, Tampan," sahut Anna di sebelah Sutris. "Warga pasti telah dibayar untuk pergi. Desa itu berada di bawah kekuasaan penyelenggara lomba."

"Cih, sok tahu," keluh Akiko, tanpa menoleh mengimbangi langkah boncel.

"Dia benar," sahut Aris. "Ada aturan siapapun yang masuk ke desa, tidak bisa dibunuh atau pembunuhnya bakal dihabisi."

Anna mempercepat gerak kaki memisah Akiko dan Aris, ujung telunjuk menyentuh layar laptop. "Kamu lihat titik-titik merah di sekitar desa. Mereka pasti peserta yang hendak mengeliminasi peserta lain."

"Bah kalian sok tahu sekali. Buat apa mengeliminasi, jika bisa masuk ke desa dengan aman?" tanya Akiko, memperhatikan kaki Anna yang sebenarnya sudah sembuh, tapi sepertinya sengaja pura-pura. Mungkin ingin mendekati Sutris.

"Mengeliminasi calon saingan. Orang seperti ini kita panggil Hunter," lanjut Anna.

"Sepertimu?" Jawab Akiko.

Seringai sombong di bibir seksi menyertai anggukan Anna. "Ya, sepertiku, hunter jahat yang gagal membunuh kalian."

Suara dehem buatan Sutris memotong ucapan mereka. "Lalu kenapa banyak titik berkerumun di sekitar desa?"

Aris menggaruk kepala. "Entahlah. Mungkin seperti kita, banyak dari mereka membentuk kelompok kecil."

"Harusnya mereka bisa langsung ke desa," celetuk Akiko.

"Mungkin mereka tidak sebodoh itu," nada bicara Anna mengejek, pandangannya pada Akiko pun demikian. "Sisa bintik merah bisa jadi berkumpul karena waspada ada hunter yang menjaga desa, mereka menunggu waktu yang tepat untuk maju--"

"Kalau begitu lebih baik bunuh hunter sebelum dibunuh," sahut Akiko, mengeluarkan pisau lipatnya.

"Akiko," ucap Sutris. "Malam ini kuta menginap di mana?" Mengalihkan perhatian dari perbincangan. Namun, Akiko tetap ketus.

"Tanya kekasih barumu."

"Cemcem, bubu, ruru." Kepala Aris kejedot layar laptop. Sengit dia memandang Akiko sambil mengelus kening. "Jahat banget sih dorong kepala orang! Dosa loh, sama anak kecil juga."

"Kau boncel, umur remaja, hanya badan kecil bukan bocah kecil."

Waktu berputar cepat. Langit cerah perlahan menjadi gelap. Akiko dan teman-teman membuat lingkar keamanan dengan memasang kaleng-kaleng kosong di sekitar api unggun. Setelah makan malam mereka beristirahat.

Asap api unggun membelah gelap malam. Suara burung hantu dan serangga kecil menjadi musik indah. Aris dan Sutris terlelap berjauhan, mereka kelelahan. Sementara Akiko memeluk sniper memejam bersandar batang pohon. 

Mereka bisa tidur karena memasang bambu dan kalung di ehrang yang berdiri tak jauh dari posisi mereka, sehingga walau masuk dalam waktu wajib naik Egrang, mereka aman.

Walau demikian telinga Akiko menangkap suara dedaunan kering terinjak sesuatu. Tiada bunyi kaleng pertanda makhluk apapun itu berada di dalam perimeter sebelum lingkar keamanan dibuat. Perlahan dia menarik keluar gagang pistol tanpa suara, membuka kecil netra.

Anna mengendap mendekati Aris yang mendengkur. Belatinya perlahan keluar dari suit. Pandangannya fokus pada gelang di kaki.

Mungkin dia hendak mengambil gelang kaki, memakai benda itu sambil membawa kabur egrang beserta kalung. Dia bisa kembali mengikuti perlombaan dan membuat Aris gugur. 

Moncong pistol Akiko mengarah ke Anna. Dia melepas pengaman, mengamati lebih jauh apa yang hendak dilakukan. Hunter Russia itu.

Jika dia langsung dor, Aris dan Sutris bisa membencinya seumur hidup, tapi jika mereka berdua menangkap basah Anna, semua bakal berubah. Namun, bagaimana untuk itu? Bagaimana kalau Anna nekat membunuh Aris? Benci di mulut, tapi aris bagai adik sendiri dalam hati Akiko.

Anna belum sadar jika sepasang mata mengamatinya. Belati perlahan bergerak ke atas mengambil ancang-ancang untuk melesat menyerang apapun yang pemakai inginkan.