Dalam naungan biru langit tanpa awan, hutan lebat di horizon berdansa mengikuti angin sepoi, seperti menjadi alas bagi gunung yang berdirir gagah belakang. Banyak manusia bermimik tegang memenuhi tanah hijau sekitar Sutris.
Diam tanpa suara mengamati seluruh penjuru mata angin, Sutris belum menemukan ujung hidung Bambang. Ada hadiah yang ingin dia berikan.
Akiko iseng menyikut lengannya. "Hayo takut ya? Mulai terasa ya aura neraka di sini." Dia membentang tangan, memejam, menghisap dalam-dalam angin alam.
"Lega," jawab Sutris, menahan tawa melihat hidung Akiko gerak-gerak.
Akiko kesal menutup hidung, menghadiahi tepukan gemas ke lengannya. "Kamu kentut ya, Kentut-kun?"
"Ho o."
Jawaban salah, mengundang puluhan tepuk geram dari Akiko. Semua itu bagai pijatan yang membuat Sutris tertawa. Hanya mereka yang gaduh dengan sukacita, lainnya melihat geram mereka.
"Kalian pengantin baru?" Kehadiran bocah kecil menarik perhatian Sutris dan Akiko. Dia bicara pakai bahasa Inggris lancar. "Pungut aku jadi anak dong, punya Ibu secantik kamu pasti tiap malam aku minta temani tidur."
"Bocah mesum otakmu belum pernah digilas traktor?" tanya Akiko, wajahnya merah padam.
"Kenalanmu?" Sutris berbisik pada Akiko sembari mengamati bocah bercelana pendek, berkemeja panjang putih yang begitu santainya melipat tangan ke belakang kepala.
Akiko menggeleng pelan, jengkel memandang bocah yang sok kenal sok dekat dengan mereka.. "Bocah hilang mungkin. Mukanya sih muka Malaya."
Tiba-tiba bocah tersenyum, membungkuk memberi hormat. "Sutris-senpai, Akiko-senpai, perkenalkan namaku Aris."
Yang dipanggil seperti masuk ke dalam ruang gelap. Bertukar pandang bingung, Akiko dan Sutris bermain kode mata.
Memandang ke segala Arah Akiko berjinjit berteriak. "Hei, ada yang kehilangan anak? Adik? Halo?"
"Apa-apaan kalian! Aku peserta dari Indonesia!" sahut Aris mutung dikatain anak kecil.
Akiko benar-benar menganggapnya sebagai adik kecil, membungkuk mengelus kepala Aris walau tinggi mereka tidak beda jauh. "Boncel, kamu belum cukup umur. Sana, pulang, nonton Doraemon saja di rumah."
"Aku peserta aku peserta aku peserta!" Aris berusaha meninju badan Akiko, tapi dengan mudah gadis itu menahan keningnya sambil mengupil.
"Boncel, jangan sok jago nanti jatuh. Sana kembali ke keluargamu."
Aris membatu. Pipinya menahan angin sampai menggelembung merah saking emosinya. "Sutris! Mantan DENJAKA, KOPASSUS! Bosmu Bambang. Akiko, kamu JDF, bosmu Yaku--"
"Aih bocil hebat!" Akiko memeluk Aris, membekap mulutnya, berbisik, "heh, bagaimana kamu tahu?"
"Aku hacker super hebat."
Akiko memandang datar tak percaya dengan ucapan bocah midget tampan berkulit putih, tapi Aris seakan tahu segalanyA. Sungguh mengerikan.
"Sutris!" Bambang datang menghampiri mereka. Setelan jas hitam terbuka, tiga benik kancing atas kemeja terbuka, memakai sunglasses. Penampilan khas seorang brengsek. "Sudah hebat, hah? Sudah pintar? Aku bilang apa kemarin?"
Belum berhenti melangkah, Sutris menonjok mata kanan Bambang hingga kaca matanya jatuh. Seketika Sutris kaget, yang ditonjok kanan tapi mata kirinya juga ikut lebam.
"Woah, hebat Sutris," gumam Akiko, merangkul Aris. "Satu tonjokan dua mata lebam.
Aris menjawab, "Nah, mata kirinya kena tonjok orang Amerika. Karena memberi informasi palsu."
Akiko mengangguk pelan. "Boncel, hebat juga kamu, bisa tahu."
"Boncel gitu--eh, Aris gituloh." Kesal dia mensorong Akiko. "Jangan panggil boncel. Aku tuh masih dalam masa pertumbuhan."
"Nah, ketahuan kan, kamu belum cukup umur!" Akiko membaca kartu pengenal Aris. Entah palsu atau tidak, umurnya delapan belas tahun. "Tetap saja boncel."
Mendengar kalimat boncel membuat sepatu bot Aris menghantam sepatu Akiko, hingga gadis itu melompat lompat kesakitan pakai satu kaki.
Sementara itu Bambang kembali memakai kaca mata, menunjuk muka Sutris. "Gara-gara kamu, pihak Amerika tidak akan memakai jasaku lagi. Kamu dengar? Puas?"
"Oo jadi kamu benar-benar Hellbringer?"
Bambang terdiam sejenak. Tawanya serak. "Apa maksudmu heh?" Dia meremas pundak Sutris. "Dengar idiot, kamu bekerja untukku. Kamu harus menang, dengar? Aku akan all out mendukungmu."
Sutris menepis tangan Bambang. "Berapa per kepala?"
"Apa maksudmu per kepala--"
"Tiga orang yang mati, juga Yuda, kamu menjual kami kan? Katakan atau aku berhenti di sini."
"Kamu tidak boleh berhenti, jagoanku." Dia menoleh ke arah podium di pinggir lapangan. "Lima ratus juta. Khusus Yuda, si bodoh itu menjual dirinya sendiri dengan meng-upload status Facebook, 'hei aku ikut lomba Game Billionaire lagi nih'. Puas?"
Dari tadi Sutris menahan tangan supaya tidak menghajar pria menjijikkan di depan, tapi makin sering mendengar suaranya, makin kencang kepalnya hingga kuku jari menusuk kulit telapak tangan.
Bambang gagal membaca hal ini. Telapak tangannya kembali mendarat ke pundak Sutris. "Kalau kamu menang, empat miliar untukmu. Ayo semangat."
"Aku berhenti." Sutris menepis tangan di pundaknya dengan pelan.
Bambang terkekeh. "Tris, kamu bercanda? Kamu akan mati kalau keluar. Kamu tahu kan, aku bisa membunuhmu."
"Tenang, aku tidak keluar dari Game Billionaire. Aku keluar dari perjanjian kita. Selamat tinggal Bambang." Sutris berbalik badan pergi menghampiri Akiko dan Aris. Namun, langkahnya tertunda oleh suara teriak Bambang.
"Dengar Sutris Sulistio, keluargamu … akan kubunuh keluargamu sampai kamu--"
Sutris berbalik menghantam wajah Bambang sampai dua gigi depan atas copot. Pria itu terkapar, merangsak mundur penuh teror.
"Tris, Tris, kamu … aku akan membunuh mereka kalau kamu--"
Sutris menarik kerah kemeja Bambang hingga nafas hangat terengahnya menerpa kulit wajah. "Dengar, sampai kau berani menyentuh mereka. Kamu mati."
Jakun Bambang naik turun. Keringatnya bercucuran. Senyumnya bergetar. "Makannya, tamatkan apa yang kamu mulai."
Sutris mendorong Bambang sampai mencium tanah, mengangguk pelan. "Baik, perjanjian tetap perjanjian. Ingat, empat Milyar." Dia menghampiri Akiko dan Aris. Raut yang terbakar amarah bertahan di wajah.
"Tris, tenang," ujar Akiko, mengelus dada bidang Sutris. "Fokus ke lomba. Orang brengsek seperti dia pasti akan tersandung."
Tiba-tiba suara dengung dari arah panggung memecah suasana. Suara kepala mic ditepuk menyertai. Seorang wanita berdiri di sana, berbicara menggunakan bahasa Inggris memakai mic.
"Selamat siang para peserta Game Billionaire. MC kita sakit, jadi langsung saja tanpa ada pembukaan. Lomba pertama dimulai sekarang, dengarkan baik-baik aturan lomba.
"Dalam babak pertama, dilarang saling membunuh secara langsung selama satu hari. Setelah itu kalian bebas mau membunuh atau dibunuh
"Jika menyerah, tembakan flare merah ke angkasa. Kalian dibekali tiga flare. Jika ketiganya terpakai dan tidak ada tim penolong, bukan urusan kami.
"Lomba babak pertama diikuti oleh dua ribu orang …." Dia membaca ulang kertas di tangan. "Maaf, lima ratus orang tereliminasi atau memundurkan diri. Babak pertama diikuti oleh seribu lima ratus orang."
Semua peserta semakin tegang ketika empat truk membawa bambu khusus datang.
Akiko berbisik pada Sutris. "Lomba apa pakai bambu segala? Mana banyak banget."
Sutris membisu. Pikirannya masih kalut oleh amarah dan kebencian pada Bambang. Bagaimana pun dia ikut lomba biadab ini karena butuh uang untuk biaya pengobatan adik, sekarang gara-gara game tolol ini keluarganya terjebak masalah.
Mic kembali dipukul-pukul. Gadis di panggung berbicara, "Lomba kali ini, permainan Egrang. Bambu egrang memiliki panjang seratus delapan puluh sentimeter dan lebar pijakan kaki kurang lebih lima puluh sentimeter. Tinggi dari tanah ke pijakan lima puluh sentimeter.
"Kalian harus berada di egrang selama dua jam, lalu turun empat jam, lalu naik lagi dua jam. Kalian harus sampai ke desa dekat Melekong, Papua, Indonesia. Kira-kira kalau jalan kaki dua mingguan. Kalian harus sampai ke sana membawa bambu jika ingin menang
"Dalam bambu terdapat sensor dan terisi bahan peledak. Jika melanggar aturan, boom, kalian mati. Selain itu pakailah kalung besi sensor. Supaya mayat kalian gampang ditemukan. Hanya tujuh ratus orang yang bakal lolos. Sisanya akan diskualifikasi. Selamat bersenang-senang para calon Billionaire." Dia menembak flare ke angkasa.
"Game dimulai!"
****