Chereads / Game Billionaire / Chapter 1 - 1. Pengangguran Hebat

Game Billionaire

Yusenugi
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 69.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Pengangguran Hebat

"Sekarang apa yang akan kamu lakukan, Sutris?" Gadis Jepang melipat lengan kaos, memandang rekan satu tim, seorang pemuda gagah berambut cepak yang membawa pentungan dan granat.

Di sekeliling mereka bergelimpangan beberapa mayat. Mereka korban ledakan granat yang dilempar oleh tim lawan.

Sutris memandang lawan dengan iba. Mereka gemetar, bahkan terkencing di celana tanpa bisa berbuat banyak.

"Sutris, ayo, jangan lama-lama!" Lagi-lagi suara gadis Jepang menusuk telinga Sutris. "Pukul granat di tanganmu ke arah mereka!"

Sutris menoleh kepada gadis itu. "Ini permainan gila. Lihat mereka, mereka hanya manusia biasa. Bagaimana kita bisa melakukan ini?"

Semua anggota tim Sutris terdiam. Mungkin mereka sadar jika 'Game Billionaire' adalah permainan terkutuk, tapi mereka terlanjur basah. Mundur bukan pilihan, terlebih setelah banyaknya kematian yang mereka lihat.

Suara baling drone semakin keras. Puluhan benda berkamera mengitari lapangan rerumputan luas berukuran lapangan sepak bola lengkap dengan garis persegi yang mengandangi dua tim yang terpisah garis putih.

Terdengar suara lelaki dari salah satu drone ber-TOA. "Waktumu tiga menit untuk memukul granat, atau tum kalian akan tereliminasi. Jangan salahkan sniper kami jika kepalamu hancur seperti pinata, jagoan!"

Sutris memberi jari tengah pada drone, lalu memejam membiarkan angon sepoi menerpa wajah, membiarkan rambut berdansa sesaat . Dia menggeledah memori lawas, awal dari segala awal. Semua bermula dari malam itu.

Malam yang tidak akan dia lupakan.

***

Beberapa bulan yang lalu di Surabaya.

Suara klakson milik kendaraan yang terjebak macet bersahutan. Kilau cahaya lampu kendaraan memberi warna pada jalanan padat Wonokromo.

Semua hiruk pikuk tidak mengganggu Sutris yang sedang duduk sambil menelepon seseorang.

"Ibu tenang saja, aku baik-baik. Semoga adik lekas sembuh." Senyum di wajah Sutris terlihat berat. "Iya, Walaikumsalam."

Dia menaruh handphone ke meja kayu tua. Tanpa suara bulir air mata mengalir membasahi pipi. 

Cobaan hidup benar-benar berat. Kadang dia merasa ingin segera mengakhiri nyawa, tetapi setelah itu siapa yang akan menjaga ibu dan Ai, adiknya?

Hanya dia lelaki di keluarga. Sutris yang harus melindungi mereka.

Tepukan mendarat ke pundak Sutris. Ketika menoleh, nampak wajah tua kakek menyapa dengan senyum lembut.

Kakek penjual mie ayam duduk di kursi plastik di sebelah Sutris. Dia kaget melihat mie ayam kesukaan pelanggan masih utuh. Kakek memperhatikan koran penuh coretan di bagian lowongan kerja.

"Belum berhasil dapat kerja, Nak Sutris?"

"Belum rezeki, Kek," jawabnya sambil mengusap air mata.

"Kamu menangis?"

"Tidak, ini karena kepedasan makan mie ayam."

Kakek tahu Sutris sedang banyak masalah dan manusiawi jika menangis.

Beberapa Minggu yang lalu Sutris dipecat dari pabrik karena perusahaan gulung tikar. Jangankan pesangon, dia tidak menerima uang gajinya sebulan terakhir.

"Yang sabar Nak. Sekarang memang semakin susah mencari pekerjaan. Bagaimana keluargamu, sehat?" 

"Ibu sehat, hanya saja Adik sakit, butuh uang untuk operasi."

"Adikmu sakit apa?"

"Dia terkena gagal ginjal. Setiap Bulan harus cuci darah."

"Keluargamu yang lain ada yang membantu?"

Sutris menggeleng. Mereka membantu doa, membantu bergosip menyebar berita supaya lebih banyak orang mengasihani. Tidak etis jika dia menjawab seperti itu, walau nyatanya seperti itu. Cukup gelengan mewakili.

Pak Tua menghadiahi tepuk pelan ke pundak Sutris. "Sabar, cobaan tidak akan melebihi kemampuan umat. Kamu harus tetap semangat."

Pak Tua benar, sebagai umat beragama Sutris harus tetap berusaha dan berserah pada Sang Esa. Dia membalik koran mencari lowongan pekerjaan sambil menyeruput kuah pedas mie ayam, membiarkan Pak Tua bangkit melayani pelanggan lain.

Tidak lama membaca koran, samar suara Adzan Magrib di kejauhan menyapa telinga. Sutris bangkit meminta izin dan menitip barang pada Pak Tua penjual mie ayam, pergi ke Masjid jauh di seberang jalan.

Agama adalah sandaran terakhir bagi manusia, sandaran besar yang sering ternista dan terlupa. Bagi Sutris jika tiada alasan masuk akal, kenapa skip beribadah?

Dia menyeberang jalan memasuki gang kumuh pemukiman yang becek. Beberapa kali dia berpapasan dengan bocah bersarung lari dengan tawa canda menuju masjid. 

Suasana kekeluargaan pecah oleh teriakan dari arah pertigaan jalan. Pemuda kurus berambut panjang pontang-panting berlari masuk ke kerumunan emak-emak bermukena. Dia mendorong satu emak ke kawanan tiga pria bule gagah bersetelan jas hitam yang mengejarnya. 

Pria bule menjatuhkan emak, kembali berlari mengejar. "Tangkap dia!"

Pemuda gondrong mendorong Sutris seperti mendorong emak tadi, tapi gagal. Tubuh Sutris kokoh seperti patung selamat datang. Dia mengumpat geram, lanjut kabur.

Tiga bule terengah di sebelah Sutris. Salah satu bule menarik pistol hitam dari dalam jas, menembak, dua kali kena kaki tanpa mengunci pria gondrong, skill yang mengagumkan.

Seketika teriakan histeris membahana. Para penduduk menjauhi lokasi.

Pemuda gondrong tersungkur mengerang kesakitan. Darah mengalir dari dua luka di kaki yang menganga. 

Bule menuang waktu untuk mengunci target. Sebelum peluru melesat, Sutris mempreteli bagian atas pistol itu dengan mudah, lalu menempelkan bagian panas pipa pistol ke kening pemilik benda itu hingga dia mengerang.

Sutris berkata pakai bahasa Inggris fasih, membuat mereka terheran.

"Ini daerah Indonesia, bukan Amerika. Kau tidak boleh menembak sembarangan."

Dua pria bule di sisi kiri dan kanan mengayun tangan menyerang Sutris, tapi pukulan mereka tertangkap. Dengan jurus pencak silat, Sutris menarik mereka, memukul perut mereka hingga jatuh tersungkur.

Bule lain meninju pipi Sutris hingga darah keluar di bibir. Tendangan keras mendarat ke dada Sutris, membuatnya mundur beberapa langkah.

Tiga bule mengeroyok Sutris. Pertarungan tidak imbang. Sutris dihajar habis-habisan, tapi stamina Sutris melebihi para bule. Perlahan para bule mulai mengendur hingga satu persatu tersungkur mencium comberan. 

Satu bule menarik keluar tongkat listrik, mengayun senjata hitam itu menyerang Sutris, menghantam dada bidang Sutris.

Sengat listrik membuat Sutris kaget nyaris jatuh. Dia menangkap pergelangan tangan bule, memelintir tangan bule hingga senjatanya jatuh ke tangan Sutris. kesal dia menghantam dada pria bule pakai tongkat listrik, hingga pria itu menggelepar seperti ikan lele di atas bara api. Sutris mendorongnya hingga jatuh menerpa dua temannya yang baru saja bangkit.

Tiga bule saling bantu berdiri hendak melawan Sutris. Salah satu dari mereka melirik tajam pada pemuda itu. 

"Siapa kau? Jangan ikut campur!"

"Kalian yang siapa, main menembak seenaknya sendiri."

Obrolan kecil mereka terganggu oleh suara sirine mobil polisi. Tiga bule lari tunggang-langgang menghilang tertelan kerumunan warga yang menonton di ujung gang. 

Sutris hendak menolong korban, tapi korban menghilang ditelan bumi. Hanya tersisa bercak darah yang mengarah ke ujung lain gang. 

Pengalaman yang jarang terjadi. Tiga bule jelas bukan aktor sedang syuting film, mereka memiliki kemampuan bertarung dan bersenjata api. Sementara pemuda gondrong seperti orang biasa. Kenapa dia sampai dikejar?

Sutris angkat kaki dari lokasi kejadian perkara menuju masjid terdekat. Bisa gawat kalau tertangkap polisi.

Sesampainya di sana, Sutris menunaikan ibadah sholat Magrib. Menunggu sejenak, adzan Isya berkumandang. Dia lanjut sholat Isya.

Keluar dari masjid, Sutris bertemu pemuda gondrong yang tadi menghilang, berdiri di dekat teras masjid dibantu dua pria berpakaian jaket kulit hitam. Perban putih melilit kakinya yang tertembak. Nampak bercak merah yang semakin menghitam di bagian tengah perban.

Jempol pria berjas menunjuk Sutris sambil memandang pemuda gondrong. 

"Dia yang menolongmu?"

"Iya, aku yakin. Wajah tirus dan badan kekar Gatot Kaca-nya--"

Pria berjas menghampiri Sutris, memberi kartu nama. Sutris bersikap masa bodoh, memakai sepatu di tepi teras masjid.

Meremas lengan Sutris, pria berjas menyeringai. "Kamu memiliki lengan baja."

Lalu dia menarik tangan Sutris, mengamati telapak tangannya. 

"Tangan prajurit. Angkatan Laut atau Angkatan Darat?"

"Angkatan pengangguran, permisi." 

Sutris kasar menarik tangannya lalu melangkah pergi. 

"Angkatan pengangguran, kamu butuh uang?"

Tetap melangkah, Sutris enggan menoleh ke belakang. Menurutnya mereka mungkin mafia atau gangster yang akan membuatnya terseret dalam masalah. Cukup banyak masalahnya, malas nambah lagi.

"Dua Milyar. Halal."

Kalimat terakhir menggelitik telinga Sutris, mematri langkahnya ke bumi. Siapa yang tidak tertarik dengan uang? Jumlahnya lebih dari cukup untuk biaya operasi adiknya dan membeli ginjal. Sesuatu yang menjadi kunci dari semua masalahnya. Apa itu benar? 

Pria berjas hitam menghampiri, berdiri di sebelah Sutris. Dia melambai pada mobil SUV hitam di pinggir jalan yang sepertinya menanti mereka.

Pria gondrong tergopoh dibantu temannya menghampiri Sutris, mengajak bersalaman. 

"Terima kasih sudah menolong. Tadi aku nyaris kehilangan nyawa."

Mengangguk kecil, Sutris bersalaman dengannya sambil bertanya,  "Dua Milyar, maksudnya apa?"

"Jika menang, dapat hadiah segitu."

"Menang apa?"

****