Chereads / Jangan Kembali / Chapter 21 - Maling Data

Chapter 21 - Maling Data

Ruri merenung di sepanjang jalan. Tatapannya kosong dengan dahi yang tak henti mengernyit. Melangkah tenang diikuti dengkusan beragam reaksi, kini ia menuju kediaman Sesilia. Namun, entah mengapa justru ia tiba di depan rumah pria tua.

"Ada apa denganku. Mengapa aku bisa tiba di sini?" gerutu Ruri yang berniat pergi. Tetapi sebuah tepukan di dahi membuat langkahnya terhenti.

"Apa kau ingin pergi setelah melihat rumahku?" tanya pria tua dengan senyum ramahnya.

"Ah, aku menghayal disepanjang jalan dan malah datang ke sini," jelas Ruri. Rasa penasaran yang kini menumpuk di kepalanya ingin segera ia keluhkan kepada Sesilia, hingga ia tak berniat lama berada di rumah si pria tua.

"Yah, aku tau itu. Bibirmu terus bergerak tanpa mengeluarkan suara. Bahkan sejak kau berada di jalan raya. Sebentar ada yang ingin aku titipkan!" seru pria tua. Ia kembali ke dalam rumahnya guna mengambil sesuatu.

Ruri hanya terdiam memandangi punggung pria tua. Ia tak tahu benda apa dan kepada siapa benda itu hendak ia titipkan. "Enggak mungkin Sesilia kan? Emangnya mau nitip apa?" gumam Ruri.

Ada terlalu banyak hal yang memenuhi akalnya, membuatnya sesak dan sulit berkonsentrasi. Tak memiliki siapapun, tak mengenal apapun, Ruri seperti pemeran dalam sebuah permainan online. Hanya sebuah nama dengan tujuan, namun tanpa arah. Tugas Ruri saat ini mencari arah itu guna mendapatkan jati dirinya. Meski ia memiliki tujuan dan keadaan yang sama dengan pria tua, maupun keluarga Sesilia. Namun, tetap saja ia meragu untuk percaya kepada mereka. Karena ia tidak benar-benar tahu siapa kawan dan lawan saat ini.

"Berikan ini kepada teman perempuanmu!" ucap pria tua sambil menyodorkan telapak tangan berisi karet gelang.

Ruri terperanjat, ia ingat benar kalau karet gelang ini milik Sesilia yang mungkin tidak sengaja ia jatuhkan saat berkunjung ke rumah pria tua.

"Katakan untuk tidak mengambil barang orang milik lain saat berkunjung ke rumahnya. Karena itu tindakan pencurian. Oke."

Ruri masih terdiam bingung, ia sungguh tak mengerti akan maksud ucapan si pria tua. Bahkan sampai tubuh pria tua itu berbalik ke arah rumah, Ruri masih saja terdiam memandangi gelang yang ada di genggamannya.

Meragu dan begitu penasaran, Ruri melangkah cepat mendekati pria tua. Ia sempat menahan pria tua itu sebelum ia menutup rapat pintu rumahnya.

"Apa maksudnya ini?" tanya Ruri, tatapan serius Ruri hanya dibalas dengan senyuman.

"Maksudmu, Sesilia masuk diam-diam ke rumahmu saat kau tak ada dan mengambil barangmu? Begitu?" tanya Ruri sedikit mendesak.

Lagi-lagi pria tua itu tersenyum dengan tatapan penuh arti. Sedikit anggukan pelan yang ia perlihatkan membuat Ruri tersentak.

"Apa itu? Benda apa yang sudah Sesilia ambil darimu? Jika itu penting untukmu, biar aku yang membawakannya kembali."

Pria tua tersenyum kian lebar, namun diiringi dengan gelengan kepala.

"Itu penting! Tapi penting juga untuk kalian. Semoga semua data itu bisa membantu usaha kalian. Aku terlalu tua untuk membantu dan jika ada hal yang kalian butuhkan, kalian bisa mengatakannya padaku."

Ucapan itu menjadi akhir pembicaraan mereka. Pria tua masuk dan menutup rapat pintu rumahnya. Sedangkan Ruri terdiam cukup lama mematung di sana. Kejadian ini membuat Ruri ingin segera menemui Sesilia.

"Aku tau, dia belum pulih benar. Tapi aku hanya ingin bertanya. Ah, tidak. Aku harus memastikan ucapan si pria tua. Data? Apapun itu aku harus mengetahui apa isinya. Ah, kenapa aku tidak menanyakan darimana data itu dia dapatkan? Tapi bagaimana mau bertanya, aku saja tak tahu data seperti apa yang sudah Sesilia curi darinya? Argh ... kenapa semua terlihat sulit begini?"

Terus melangkah dan tanpa sadar melewati klinik di mana Suster Lita dirawat. Ruri yang tersadar dari lamunan setelah melihat ke arah klinik pun berniat mengunjungi Suster Lita. Bagaimanapun ia berhutang banyak hal pada wanita baik itu.

Hari ini klinik tampak lebih sepi dari biasanya, tak banyak orang berlalu lalang. Hanya seorang perawat penjaga di dekat pintu masuk dan perawat lainnya berada di ruang istirahat. Ruri dengan langkah malu-malu mencoba masuk, namun ia memilih masuk dari pintu samping karena berada tak terlalu jauh menuju ruang Suster Lita dirawat. Di sana tak ada perawat penjaga, hingga tak ada yang menyadari kedatangan dirinya.

"Aku enggak bawa apa-apa. Aku juga enggak niat ke sini, tapi karena enggak sengaja melewatinya jadi singgah," gumam Ruri.

"Jangan, Li!" sebuah teriakan terdengar dari dalam ruangan Suster Lita.

Langkah Ruri terhenti dan mencoba mencuri dengar akan pembicaraan keduanya.

"Tenang aja, aku pasti bisa. Wajah kita miripkan? Apa kau lupa kalau kita kembar identik. Aku cukup mengenakan seragammu dan pergi ke sana. Aku juga perawat Lita. Itu bukan hal yang sulit," jelas seorang wanita yang kini tengah berbincang dengan Suster Lita.

"Kembar? Menggantikan?" gerutu Ruri. Ia benar-benar kaget mengetahui kalau Suster Lita memiliki kembaran.

"Itu berbahaya. Kita enggak pernah benar-benar tau siapa lawan dan kawan. Lagian mereka tau aku masih dirawat dan aku bisa segera kembali ke sana minggu depan," pujuk Suster Lita. Suaranya sedikit parau, mungkin itu akibat keadaan tubuhnya yang belum baik benar.

"Dari awal sudah aku katakan, biar aku yang mendaftar kerja di sana. Biar aku yang bertugas mencari informasi dari sana. Tapi kau nekad melakukannya. Kalau saja aku yang ada di posisimu, pasti enggak gini jadinya!" seru wanita itu. Nada kesal dan kecewa pun terdengar.

"Percaya padaku! Aku pasti bisa mendapatkan informasi tentang Kakak. Dia pria yang hebat juga cerdas. Aku yakin, dia bisa bertahan di sana karena kehebatannya."

"Deg! Jangan bilang kalau Kakak laki-laki Suster Lita dan kembarannya juga hilang dan mereka memiliki tujuan yang sama denganku untuk menyelidiki ini semua."

Kini Ruri pun semakin sadar akan kebaikan Suster Lita selama ini kepadanya. Semua itu karena mereka korban dari sebuah permainan yang hingga saat ini belum diketahui seperti apa.

"Oke, aku tidak akan pergi menggantikanmu. Tapi ingat! Kapanpun aku bisa menggantikanmu untuk mengecoh mereka. Kau pasti butuh aku untuk menukar posisimu," jawab wanita itu tegas.

"Terima kasih, Lili. Makasih sudah percaya padaku."

Menyadari sebuah langkah mendekat ke arah pintu, Ruri dengan segera mencari tempat untuk bersembunyi. Ia memilih berdiri di balik lemari yang cukup tinggi. Keberuntungan masih berpihak padanya, kekesalan kembaran Suster Lita membuatnya tak menyadari akan keberadaan kaki Ruri dari balik lemari.

Sebuah wajah pun terlihat jelas, wajah wanita yang begitu mirip dengan Suster Lita. Tak hanya wajah, bentuk tubuh serta cara jalan mereka pun begitu mirip.

"Aku yakin, pasti aku mengira dia Suster Lita jika tidak mendengar percakapan mereka sebelumnya. Sebaiknya aku pergi, aku harus menyampaikan semua ini kepada Sesilia. Aku enggak mau dia marah kepadaku jika aku nekad mengambil tindakan sendiri. Bagaimanapun, hanya Sesilia yang bisa aku percaya sepenuhnya saat ini."

Ruri memutuskan untuk meninggalkan klinik tanpa menemui Suster Lita. Ia yakin, Suster Lita sedang tidak ingin dikunjungi saat ini. Terlebih ia baru saja bertengkar dengan kembaran.

Ruri tiba dikediaman Sesilia. Ia tak melihat seorang pun di sana, ia mengira pasti mereka sedang melakukan kegiatan di luar rumah. Menyadari letak kunci, Ruri memutuskan masuk dan menunggu di dalam. Menyadari pintu kamar Sesilia tak terkunci, Ruri menerobos masuk dan betapa terkejutnya ia melihat tumpukan berkas di atas meja. Berkas itu ia yakini milik si pria tua.