Azura pergi keluar dari kamarnya. Ia membutuhkan udara segar meski sejenak. Berada di kamar bersama dengan orang-orang yang membencinya terasa menyesakkan dada. Kini, gadis tersebut memyusuri lorong-lorong. Ia juga melihat sebuah perpustakaan yang ada di asrama. "Hmmm, rupanya asrama ini juga memiliki sebuah perpustakaan. Aku malah baru tahu."
Gadis tersebut melangkah masuk ke sebuah perpustakaan. Ia pun melihat rak-rak buku yang sangat tinggi nan besar. Perpustakaan ini nyaris mirip dengan bangunan yang ada di Paviliun milik Pangeran Ansell, dipenuhi dengan buku-buku yang luar biasa.
Azura, seorang pecinta buku sejati, bahkan merasa senang hanya karena mencium aroma buku yang melesak ke hidungnya. Kakinya itu seolah menari dengan indah di antara rak-rak buku, mengunjungi judul-judul satu per satu.
Sampai suatu ketika, tangannya itu terhenti pada sebuah buku yang lain daripada keseluruhan buku. Bersampul tebal, lapuk, dan juga sangat tebal. Azura jadi penasaran dengan isi buku tersebut.
Ternyata, ketika gadis itu membukanya..., buku tersebut memang sangatlah lapuk. Lembarannya bahkan sudah menguning dan mulai berlubang digigit oleh rayap.
Yang lebih mengherankan lagi, Azura sama sekali tak bisa membaca aksara di buku tersebut.
"Ini sangat aneh. Kenapa aku tak mampu membukanya? Bukankah mestinya buku ini bisa kubaca? Seperti aksara yang memang bisa kubaca sebelumnya?"
Azura jadi bertanya-tanya mengapa dia tak mampu membaca aksara dalam buku tersebut. Dia juga penasaran kenapa dia bisa bertutur kata dan membaca aksara di dunia ini?
Azura jadi bingung sendiri.
Manakala dia dilanda kebingungan, tiba-tiba ada salah satu orang yang menegurnya. Orang tersebut berkata, "Sedang apa kamu di sini?"
Azura terkejut. Gadis itu buru-buru menyembunyikan buku tebal itu ke belakang punggungnya. "Aku hanya berkeliling. Dan aku merasa tertarik dengan perpustakaan ini."
Nona Ellin memicingkan matanya seolah-olah dia tak puas dengan jawaban yang terlontar dari bibir Azura. Ia pun kembali meyakinkan, "Sungguh. Aku hanya mencari udara segar dan menemukan perpustakaan ini. Berjalan di perpustakaan pagi hari cukup bagus bagiku."
Dengan penjelasan tambahan yang berasal dari Azura, Nona Ellin mau tak mau mengiyakannya. Ia akhirnya berujar. "Baiklah kalau begitu. Cepat keluar dari sini. Aku akan menguncinya. Tak seharusnya kamu berada di sini. Apalagi di pagi hari saat yang lainnya sibuk untuk mandi dan sarapan."
Azura mengikuti langkah Nona Ellin. Sayangnya, buku itu masih berada di tangannya.
"Kenapa Nona Ellin mengunci perpustakaan ini? Kurasa, perpustakaan ini cukup bagus untuk kami semua. Kami bisa mendapatkan banyak ilmu di sini. Kenapa menutup aksesnya?"
"Kami memutuskan untuk menutupnya sementara. Bagaimana pun, membukanya tanpa pengawasan juga merugikan kami."
"Resiko adanya pencurian?"
"Ya. Bukan hanya pencurian sebenarnya. Akan tetapi juga banyaknya buku kuno di asrama ini. Dan tidak semua buku kuno bisa dibaca dengan mudah. Ada beberapa buku yang tak boleh dibaca sembarangan orang juga."
Azura menganggukkan kepalanya, dia manggut-manggut mengerti. "Ah, begitu... Aku baru tahu."
Nona Ellin menggembok pintu perpustakaan sampai akhirnya gadis itu menegaskan. "Jangan berkeliaran. Lebih baik kamu mempersiapkan kelasmu daripada kamu berjalan-jalan tanpa tujuan."
Azura hanya mengiyakan, ia pun berpisah dengan Nona Ellin di sana. Berikutnya, dia pun memegang buku yang ada di tangannya.
Pertanyaannya, bagaimana cara agar Azura mengembalikan buku ini ke dalam perpustakaan jika perpustakaannya sudah digembok? Lagipula, mana mungkin dia mengembalikan buku ini tadi, saat dia tertangkap basah oleh Nona Ellin.
'Aish. Harusnya tadi kutaruh asal saja di lemari. Sekarang, mau bagaimana coba?' Gadis itu menilik ke jendela perpustakaan. Tidak berguna. Jendelanya terkunci. "Ah sudahlah. Semoga besok dibuka."
Gadis tersebut menyerah, memilih untuk bersiap ke kelas.
* * *
Berbeda dengan Azura yang memang tubuhnya itu terbiasa bangun pagi dan memulai hari lebih awal. Pangeran Ansell tidak. Dia sudah bangun agak terlambat dibandingkan dengan murid lainnya, lelaki itu juga malah terbengong-bengong.
Bagaimana tidak, lelaki itu mendapati tangannya yang tidak terikat dan tubuhnya yang tak terluka parah.
"Ini aneh sekali... Kenapa... Aku bisa setenang ini?"
Biasanya, wabah Horrendum yang memang menjangkiti tubuhnya ini akan memberikan sejumlah perlakuan-perlakuan negatif. Ia bisa mencakar tubuhnya, mendengar suara-suara yang semestinya tak terdengar, dan juga mulai melukai diri.
Kenapa semua kini berbeda? Apakah ini sebuah pembiasaan atau sebuah keberuntungan semata?
Pangeran Ansell tak tahu apa jawabannya. Sampai pintu kamarnya terketuk. Pangeran Ansell terkesiap. Lelaki itu seolah olah kaget dengan kehadiran Tuan Behzad di sana.
"Aku selalu memperhatikanmu. Kenapa Pangeran sering tidak hadir di sarapan pagi? Aku tidak bisa membangunkan Pangeran Ansell setiap paginya."
"Itu urusanku untuk bangun pagi atau tidak, Tuan Behzad. Lagipula, kalaupun aku terlambat masuk kelas konsekuensinya ada padaku. Bukan padamu."
"Raja pasti akan sangat kecewa kepada Pangeran jika sampai Pangeran terlambat ataupun tidak bisa menjalani kelas dengan baik."
Pangeran Ansell lama-lama kesal juga dengan Behzad. Lelaki ini padahal hanya satu atau dua tahun di atasnya, kenapa sok sekali menentang dan mengatur-atur segala macam hal? Memangnya dia ini siapa? Karena kekesalan yang sudah membesar, Pangeran Ansell berucap. "Aku tekankan sekali lagi kepadamu, itu semua urusanku. Bukan urusanmu."
Tuan Behzad masih bersikap tenang. Tetapi, tanpa diduga bibirnya mengatakan hal lainnya. "Aku sebagai Ketua Asrama di sini, berhak untuk memberikan aturan. Kami sudah menekankan berulang kali juga, Pangeran. Tidak ada pengecualian khusus. Dan tampaknya, peraturan yang sudah aku tegakkan ini salah."
"Maksudmu?"
"Mulai detik ini, aku akan memindahkan Pangeran Ansell di kamar lain bersama dengan Pangeran Parker."
Tuan Muda Behzad kembali berucap. "Tidak ada pembantahan apa pun. Keputusanku sudah final."
Pangeran Ansell terkejut dengan perkataan yang terucap dari Tuan Behzad.
* * *