Pangeran Ansell telah sampai di kamar asramanya. Ia ditempatkan di salah satu kamar pribadi, di tingkat paling atas pada lantai tujuh. Sementara Sang Kakak, berada bersebelahan dengannya.
Sang Raja telah meminta kepada pihak sekolah untuk membuat Pangeran Ansell sendirian di dalam kamarnya. Untuk mengantisipasi bocornya penyakit Horrendum yang diderita Pangeran Ansell.
Kini, lelaki itu menghela napas panjangnya. 'Aku sungguh tidak habis pikir dengan kedua orang tuaku. Kenapa juga memasukanku ke dalam sekolah? Padahal, aku saja belum sembuh!'
Pangeran Ansell menggerutu. Ia masih saja terbayang-bayang dengan kehidupannya di masa lalu. Mungkin ada benarnya kata si Gadis Pelayan, tak semestinya dia memikirkan kehidupan di masa lalunya. Karena kini, dia adalah seorang lelaki yang telah menjadi raja. Jauh berbeda dengan kehidupannya di masa lalu.
Akan tetapi … Pangeran Ansell menggemerutukkan giginya. 'Bagaimana mungkin aku bisa melupakan diriku sendiri?'
Segala kenangan demi kenangan di masa lalunya masih melekat. Bahkan, setiap derita yang menjelma dalam sanubarinya. Semuanya masih terasa.
Pangeran Ansell menyandarkan tubuhnya. Di kala itu, ia terantuk dengan bayangan wajahnya sendiri. Kulitnya putih, memucat.
* * *
Azura terbangun dengan bunyi sirene yang keras sekali. Padahal rasanya, dia baru saja tertidur beberapa menit yang lalu. Ketika dia sampai di asrama ini, gadis itu merasa lelah sehingga ia memutuskan untuk tidur. Akan tetapi, kini keadaan sudah berubah.
Manakala petang mulai datang, sirene memekakkan ini terdengar. Berbarengan dengan bunyi tapak kaki orang-orang. Azura menyipitkan matanya, ia masih terkantuk-kantuk.
Gadis itu melongokkan kepalanya ke luar, para gadis berbondong-bondong keluar ke salah satu tempat. Mereka semua sudah berpakaian rapi.
Azura membalikkan tubuhnya, ia juga hendak mencuci mukanya. Tiba-tiba di belakangnya … telah berdiri tegap sosok Lunar.
"Sudah bangun kau, pecundang." ujar Lunar. Gadis itu tersenyum masam, lalu melemparkan pakaian. "Pakai ini. Aku adalah Ketua Kamar ini."
"Kukira, setelah kedatangan Febricia aku tak akan kedatangan pecundang yang lain. Ternyata, mereka mengelompokanku dengan gadis pecundang. Cih."
Lunar berjalan melewati Azura. Bahunya sengaja dibenturkan dengan bahu Azura. Azura mendesis. Rasa sakit menyelimuti bahunya. Namun, ia beralih kepada Febricia. Berharap gadis itu akan mengatakan sesuatu. Tetapi, dia malah berjalan sambil lalu. Begitu saja.
Azura menghembuskan napas berat. "Memangnya aku butuh mereka?"
"Tidak."
Azura pun mengganti pakaiannya, sedikit mencuci mukanya … lantas dia pun keluar dari kamar.
Sialnya, saat dia keluar dari kamar … Dia sudah tak menemukan seorang pun yang berjalan di lorong. Semuanya .. kosong.
"Sial. Ke mana mereka?"
* * *
Azura mencoba untuk mencari mereka semua. Gadis itu akhirnya menemukan kebisingan di bagian selatan. Ternyata, saat Azura menuruni seluruh tangga mereka tengah berkumpul di ruang makan. Mereka tengah makan bersama, sedangkan … Nona Ellin pun melihat ke arahnya dengan tatap tajam. "Kamu belum mengetahui peraturannya?"
"A-a-aku…"
Nona Ellin mendecak. "Aku memaafkanmu kali ini. Berikutnya, kamu tidak boleh terlambat lagi untuk makan malam. Setiap pukul 18.30 kamu harus sudah hadir di sini. Tanpa terlambat. Sama sekali."
Azura menelan ludahnya. Mirip seperti penjara baru.
Tetapi …, yang lebih membuatnya hidup seperti penjara ialah … setiap mata yang ditujukan kepadanya. Kenapa semua orang memandang Azura dengan sangat mengerikan?
Azura pun mengambil makanan di meja makan yang tersedia. Dalam keheningan, ia pun mendengar bisik-bisik yang tertangkap oleh telinganya. "Katanya, dia lah orang yang baru saja masuk asrama."
"Pelayan Pangeran."
"Wah, Pelayan Pangeran saja bisa bekerja di sini, ya."
"Benar, kan? Hidup tidak adil."
"Hahaha. Lucu sekali. Dia aslinya orang miskin, kan?"
"Tentu saja. Mestinya, dia tak boleh masuk sini."
"Menjijikkan."
Azura menelan ludahnya sendiri. Padahal, kehidupan sekolah belum dimulai baginya. Namun, Azura sudah merasakan kepahitan.
Usai mengambil makanan, gadis itu pun membalikkan tubuhnya. Ia berharap ada salah seorang yang mau duduk bersamanya. Akan tetapi, mereka malah memandangnya dengan menakutkan.
Azura hanya bisa mengalah. Gadis itu sengaja berjalan ke sudut. Dan makan di sana. Sendirian.
Beberapa pasang mata masih memelototinya, bahkan terang-terangan membicarakan tentang dirinya. Dan Azura hanya mampu makan. Makannya pun dengan cepat. Ia ingin segera selesai makan dan kembali ke ruangan.
Tetapi …
"UHUK-UHUK."
Azura tersedak. Bayangkan saja, siapa yang bisa makan di bawah tekanan yang sangat nyata ini? Kenapa juga kebencian sangat mudah menular? Hanya dengan satu orang yang membencinya, menyebarkan virus kebencian itu, semua orang ikut membencinya.
Ironisnya lagi, tepat ketika Azura tersedak. Orang-orang itu tertawa. Dengan sangat puas. Seolah dia melihat pertunjukkan yang menghibur.
Azura sudah tidak tahan lagi.
Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin kembali ke asrama …, tetapi …
GREB.
Sebuah tangan mencegahnya pergi. Azura mengalihkan pandangannya. Kepada gadis itu.
* * *