Setiap hari adalah perjuangan. Setiap malam adalah sebuah hal yang panjang. Itulah yang memang dirasakan oleh Pangeran Ansell. Memang tidak ada manusia yang benar-benar mengerti hati, perasaan, dan kondisi seseorang.
Dan itulah yang nyata dirasakan oleh Pangeran Ansell. Perasaan itu datang lagi. Ketika semua dalam dirinya seakan memberontak, suara-suara yang mendominasi, dan juga mengatakan kalau kehidupan sebelumnya jauh lebih baik dibandingkan menjalani kehidupan yang kini. Kehidupan yang palsu. Entah kehidupan milik siapa.
Pangeran Ansell merasa sesak. Ia mulai tak bisa bernapas. Napasnya putus-putus dan terengah. Bayangan mengenai keluarganya yang menderita menyongsong.
"Penjahat. Kamu keluar dari kesengsaraan sendiri."
"Kamu meninggalkan adik-adikmu."
"Penjahat."
Semua suara kejam itu menggaung di telinga Pangeran Ansell. Memenuhi seluruh isi otaknya. Pangeran Ansell mulai mati rasa. Dia pun merintih.
Otaknya menekan alam bawah sadarnya, 'Aku bisa melakukan ini… Jangan sampai berteriak… Jangan…'
Pangeran Ansell menahan dirinya sendiri. Tetapi, semuanya serasa sulit baginya.
Dengan tangan yang gemetar, lelaki itu mengikat bibirnya sendiri. Ia juga mengikat tangannya sendiri ke teralis jendela, supaya tidak mencakar-cakar tubuhnya sendiri. Hanya dengan cara ini … dia bisa menekan penyakitnya. Hanya dengan cara ini ….
Seketika itu, Pangeran Ansell telah melebur. Ia memeluk ingatannya yang dulu. Ketika kehidupannya yang menderita, tetapi bahagia…
Dibandingkan kini, ia tak begitu menderita, tetapi … ia tak bahagia.
* * *
Pangeran Ansell terbangun manakala matahari sudah bersinar cerah. Lelaki itu terkejut karena ada ketukan halus di pintu. Ia kaget, lalu melepaskan ikatannya sendiri dengan susah payah. 'Sial, kenapa aku mengikatnya kencang sekali, sih?'
Usai melepaskan ikatannya sendiri, Pangeran Ansell menuju ke pintu. Membukakan pintu. Sesosok lelaki yang dikenalnya sebgaai Ketua Asrama Putera, Tuan Muda Behzad muncul di hadapan Pangeran Ansell.
"Ya, ada apa?" tanya Pangeran Ansell.
"Ah, tampaknya kamu belum tahu, ya? Kamu harus sarapan pukul lima sampai enam pagi. Dan kamu juga harus bersiap untuk masuk nanti."
"Ah, ya. Terima kasih."
Manik mata Tuan Behzad tertuju kepada pergelangan tangan Pangeran Ansell yang memerah – bekas ikatan – Pangeran Ansell segera menyembunyikan tangannya di punggung.
"Kabari aku jika terjadi sesuatu," tutur Tuan Muda Behzad akhirnya.
Pangeran Ansell hanya mengangguk sepintas. Dia menutup pintunya dengan cepat.
Bagi Kerajaan Arthus, Wabah Horrendum layaknya sebuah penyakit memalukan. Mereka selalu disebut sebagai malapetaka. Bahkan, setiap orang yang memiliki wabah ini, pasti diasingkan, dikucilkan, dan dijauhkan dari masyarakat.
Tak mengherankan memang, wabah ini terjadi karena setiap orang yang mengidapnya selalu menjadi sosok yang berbeda. Dan entah dari mana asal muasal wabah ini, tidak ada yang tahu. Penawarnya pun, tidak ada yang tahu.
Wabah ini bak kutukan.
Tidak aneh kalau Pangeran Ansell mati-matian merahasiakan penyakitnya. Tidak lucu kalau ia 'ketahuan' memiliki penyakit.
'Shhh. Lagipula ayah yang mengirimku ke sini.' Pangeran Ansell kesal. Apalagi setelah dia melihat tangannya yang memerah akibat ikatan yang sangat kencang.
"Ah, sudahlah. Aku tidak peduli apa kata orang. Toh. Ansell saat ini bukanlah diriku. Aku hanya menjadi inang di tubuhnya. Pengisi jiwanya."
Pangeran Ansell pun pergi dari kamarnya, berniat untuk membersihkan dirinya.
* * *
Azura mengamati sekelilingnya. Dia berharap ada sedikit kabar yang melintas ke telinganya, tentang asrama lelaki. Sedikit saja, tentang Pangeran Ansell. Sayangnya tidak ada.
Apakah tidak ada kabar itu pertanda baik? Tidak juga. Justru, Azura makin khawatir.
'Tetapi, bagaimana pun Pangeran Ansell tidak mungkin dimasukkan ke dalam penjara ataupun diasingkan kalau dia ketahuan mengidap penyakit Horrendum. Tidak sepertiku.' batin Azura pada akhirnya.
Siapa juga yang berani dengan Pangeran? Kalau berani dengan pangeran, tandanya akan menentangi raja. Dan itu beresiko besar.
'Daripada aku memikirkan Pangeran Ansell, kupikir lebih baik aku memikirkan diriku sendiri. Kapan aku bisa membersihkan halaman sekolah nanti/'
Azura membuang napas besar. Menyesal juga karena dia telah meninggalkan ruangan makan malam kemarin, coba kalau dia tak meninggalkan ruangan makan malam. Pasti akan berbeda ceritanya.
Saat dia menghela napasnya, Azura melihat perempuan yang mencegatnya kemarin. Ia juga duduk sendirian. Di sudut ruang makan malam. Rambutnya berwarna ungu tua, sebuah warna yang tak biasa. Rambut tersebut juga menutupi sebagian besar wajahnya.
Penasaran, Azura pun mendatanginya. Ia duduk di sebelah gadis itu. Ia yang tengah sarapan pagi sama sekali tak terusik dengan keberadaan Azura. Malah Azura yang sudah gatal untuk mengajaknya berbicara.
Tetapi, lidahnya serasa kelu. Alhasil, dia hanya menjejalkan makanan ke mulutnya sendiri. Sampai tidak menyadari, kalau sarapan pagi gadis itu sudah habis.
Manakala dia mengangkat piring makannya, gadis itu sempat berbisik. "Jangan pikir kalau aku ikut campur urusanmu kemarin, aku mau berteman denganmu. Tidak sama sekali."
Azura ditampar oleh kenyataan hanya dengan satu kalimat yang menyakitkan.
* * *