Wanita itu merasakan elusan di kepalanya. Sentuhan itu membuat tidurnya terganggu dan membuat matanya perlahan terbuka.
Cahaya mulai memasuki penglihatannya dan memperjelas pemandangan yang ditangkap oleh matanya. Apa yang ia lihat membuatnya mengejutkan alisnya.
Belum sempat ia mencerna keadaan, elusan di kepalanya berhenti bergerak. Detik selanjutnya ia mendengar suara dari arah sampingnya.
"Apa kau masih merasa tidak sehat? Apa ada yang tidak nyaman? Apa ada yang sakit?"
Ia sudah menangkap ada sesuatu yang aneh tapi belum bisa menjelaskan apa yang aneh. Sampai ia menoleh dan mendapati sesosok pria menatap cemas ke arahnya.
Ia mengerutkan alisnya semakin dalam. Ia tidak mengenal siapa pria itu.
"Siapa kau?"
Pria itu tampak tidak menyangka dengan jawaban dari pertanyaannya. Ia memandang wanita itu dengan wajah terkejut.
"Aluna?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya akibat rasa terkejut.
Wanita yang dipanggil Aluna itu semakin menatap curiga pada pria itu. Ia bangun dan duduk di atas tempat tidurnya.
"Aku tanya siapa kau? Dan bagaimana kau bisa tahu namaku Aluna?" Wanita itu menuntut jawaban.
Pria itu tertegun lagi. Ia seolah tidak bisa menjawab pertanyaan Aluna.
Awalnya wanita itu mengabaikan keadaan sekitarnya. Ia tidak terlalu memperhatikan tempat dimana ia berada sekarang karena pria berambut hitam di hadapannya lebih menarik perhatiannya.
Namun sekarang, ia akhirnya sadar. Ada yang berbeda di tempat ini.
Ini bukan kamarnya. Aluna sontak melihat ke sekelilingnya. Benar, ini bukan kamarnya.
Ini sangat berbeda dengan kamarnya. Kamarnya itu berdinding tembok dan bukan berdinding batang kayu. Seprainya berwarna ungu bukan putih dan semua perabot yang ada di dalam ruangan ini sama sekali bukan miliknya.
"Di mana ini?" tanyanya sedikit panik.
Ia kembali menatap pria tadi.
"Ini di mana?" tanyanya lagi dengan rasa takut yang mulai muncul.
"Aluna," gumam pria itu lagi.
"Jawab aku!" Aluna mengeraskan sedikit suaranya dan mengabaikan wajah pria itu yang tampak merasa bersalah.
Ia butuh penjelasan sekarang. "Siapa kau? Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?"
"Kau, apa kau lupa? Kau tidak ingat kenapa kau ada di sini?" Akhirnya pria itu membalasnya selain menyebut nama Aluna saja.
Tapi bukan jawaban yang diharapkan oleh Aluna. Kenapa pria itu justru balik bertanya padanya.
"Apa?" Aluna tidak mengerti, apa pria itu baru saja mengatakan dirinya telah lupa ingatan? Atau pelupa?
Tidak, Aluna yakin ia tidak hilang ingatan atau pelupa. Tapi kemudian ia mendadak diam.
Aluna terdiam saat ia secara otomatis memutar ingatannya.
*****
"Iya," jawab Aluna kepada orang yang sedang meneleponnya.
'Jangan lupa makan,' kata orang yang di telepon itu.
"Iya," jawabnya lagi.
'Kau tidak perlu memasak, belilah makanan atau kau bisa pesan makanan dari rumah.'
"Iya," jawaban yang sama dari Aluna.
'Aku tahu kau akan memaksakan diri. Beristirahatlah,' saran orang itu lagi.
"Hm." Aluna menggumam sebagai balasan.
'Aku akan ke sana besok,' suara orang itu terdengar seperti suara perempuan.
"Baik." Aluna terus menjawab perkataan perempuan itu.
'Kau harus memperhatikan tubuhmu, ya.'
"Iya."
Tapi Aluna tidak menjawab kecuali dengan satu kata atau bahkan hanya bergumam saja membuat perempuan yang di sebrang telepon justru tidak tenang.
Padahal niatnya untuk menelepon Aina adalah karena memastikan Aluna bisa baik-baik saja.
'Kau harus baik-baik saja oke?'
Aluna tidak menjawab. Ia terdiam dan membuat gelisah perempuan yang menjadi lawan bicaranya.
'Aluna?'
"Hm. Iya," balas Aluna pada akhirnya.
Hening beberapa saat. Perempuan di sebrang telepon seolah tengah berpikir.
'Aku tahu kau butuh waktu sendiri. Tapi jangan terlarut dalam kesedihan terlalu dalam.''
Perempuan itu tahu karena Aluna yang sebelumnya menolak ikut dengannya dan itulah alasannya akan datang besok ke tempat Aluna bukan saat ini.
Tapi perkataannya yang seperti itu justru membuat Aluna kembali terdiam.
'Berjanjilah kau akan baik-baik saja, walau aku tidak ada di sana, walau kau sendirian, kau pasti bisa menghadapinya, oke? Percaya itu dan berjanjilah padaku.'
Aluna membuka mulutnya, bukan karena ingin membalas perkataan itu. Ia hanya ingin membantu napasnya lancar, ya, bernapas rasanya menyakiti tenggorokan.
Bukan, bukan karena napasnya yang membuat tenggorokannya sakit. Apa mungkin karena ia sudah menahan tangis sejak tadi?
Aluna tahu perempuan itu menunggu jawabannya. Karena itu ia berusaha mengatur suaranya agar tidak bergetar.
"Hm," gumamnya. "Terima kasih, kakak ipar." Aluna berhasil mengendalikan suaranya.
'Sekarang istirahatlah. Kau bisa mematikan teleponnya.'
"Hm." Aluna mematuhi kakak iparnya itu dan memutuskan panggilan mereka.
Ponselnya lalu ia letakkan di samping tubuhnya. Entah sejak kapan tangannya menggenggam ponsel begitu erat seolah ingin meremukkannya. Apa itu bentuk pengalihan rasa sakitnya?
Aluna lalu bangkit berdiri dari duduknya di sofa. Ia menjauh dari ruang keluarga menuju pintu kamarnya.
Tangannya terangkat hendak membukanya. Namun saat tangannya telah berada di daun pintu, ia tidak juga membukanya. Ia ragu sejenak.
Ragu apakah ia mampu untuk masuk dan tetap merasa tenang? Ini adalah tempat yang kental dengan apa yang menyebabkan ia merasakan kesedihan.
Ia sebelumnya berhasil tetap mengendalikan diri saat memasuki rumahnya. Namun kamar ini sedikit berbeda dari sebelumnya, apa ia bisa mengendalikan dirinya?
Di kamar inilah, banyak kenangan melebihi tempat lainnya di rumah ini. Kenangan tentang suaminya.
Aluna mengeratkan cengkeraman tangannya di daun pintu. Kata-kata kakak iparnya terngiang di telinganya.
'Berjanjilah kau akan baik-baik saja, walau aku tidak ada di sana, walau kau sendirian, kau pasti bisa menghadapinya, oke? Percaya itu dan berjanjilah padaku.'
Pintu kamar pun berhasil terbuka. Aluna langsung memejamkan matanya erat-erat saat banyak bayangan hadir di kepalanya menyerbu. Semuanya tentang suaminya.
Mustahil jika ia bisa tenang jika terus-terusan mengingat hal yang seperti itu.
Dengan langkah yang lemah ia berjalan menuju tempat tidur. Aluna ingin beristirahat seperti yang dikatakan kakak iparnya.
Tapi saat sudah berada di samping tempat tidur, Aluna terjatuh di lantai. Pigura di atas nakas yang menjadi penyebabnya.
Itu adalah foto pernikahan mereka. Aluna dan suaminya tampak sangat bahagia dalam foto. Seolah tidak akan menyangka jika hal seperti ini akan terjadi dalam waktu cepat.
Pernikahan mereka baru tiga bulan. Dan Aluna harus merelakan suaminya pergi dari sisinya dalam waktu cepat.
Tangis Aluna akhirnya pecah. Air mata yang telah ditahan berkali-kali gagal bertahan dan jatuh mengaliri pipinya.
Aluna menangis terisak-isak dengan tangan yang menutup mulutnya. Agar tangisnya tak menjadi histeris.
Padahal tangisnya sudah pecah tapi Aluna masih ingin menahannya agar ia tak berlebihan dan membuatnya menjadi seperti orang depresi atau lepas kendali dirinya dan melakukan sesuatu yang tidak berguna.
Seperti memukul dadanya yang rasanya sakit agar rasa sakitnya berkurang atau menyakiti tubuhnya dengan cara yang lain.
Entah berapa lama keadaan itu bertahan.
Kemudian Aluna meletakkan wajahnya di atas kasur dengan posisi menyamping. Tangisnya sudah mereda dan ia berusaha agar napasnya kembali teratur. Meski air matanya masih mengalir sedikit.
*****