Pria yang bernama Raven itu kemudian sadar jika Aluna tersinggung karena Aluna tidak lagi berbicara hingga ia menghabiskan makanannya. Aluna menghabiskan tiga potong rotinya tanpa bicara apa pun lagi.
Aluna duduk di depan Raven dengan sebuah meja yang memisahkan mereka berdua. Posisi yang sama seperti tadi pagi saat Aluna makan sup jamur.
"Hei," ucap pria itu untuk mengajak Aluna berbicara. Tapi tidak ia lanjutkan karena bingung mau mengatakan apa untuk memulai pembicaraan.
Ia bingung mengatakan apa agar Aluna tidak tersinggung lagi.
Aluna hanya menatapnya dengan alis terangkat.
"Kenapa tidak bicara lagi?" tanya Raven pada akhirnya.
Aluna masih mengangkat alisnya, "Aku tadi bicara karena lupa jika seharusnya saat makan dilarang bicara. Aku baru sadar makannya tidak bicara lagi."
"Oh," respon Raven lalu keadaan kembali hening.
"Kalau boleh tahu, kenapa kau memilih tinggal di sini?" Akhirnya Aluna yang memulai percakapan mereka lagi karena ia memang sudah selesai makan saat Raven memanggilnya dengan kata 'hei'.
Aluna sebelumnya memang tersinggung tapi ia sudah terbiasa dengan kata-kata pria itu yang selalu menyebutnya lupa ingatan. Karena itu, ia mengabaikannya.
"Rumah ini maksudmu?"
Aluna mengangguk, "Ya."
Aluna bingung, di zaman ini jarang ada yang memilih tinggal di tengah hutan. Aluna tidak melihat ada rumah lain di sekitar rumah ini.
Dengan sebuah rumah dari kayu dari pada rumah berdinding bata. Dan jangan lupakan rumah dengan tanpa listrik. Aluna sadar tidak ada lampu mau pun alat elektronik lainnya di rumah ini.
Bahkan pria itu memasak dengan kompor dari tungku yang menggunakan kayu bakar.
"Aku dan istriku yang menginginkannya." Raven menatap Aluna lurus-lurus.
"Apa kau mengatakan aku yang menginginkannya?" Aluna sadar arti perkataan dan tatapan Raven padanya.
Raven terdiam lagi, ia sadar akan membuat Aluna tersinggung lagi. Padahal ia hanya ingin menjawab apa adanya tanpa menyebut Aluna langsung.
Benar, Raven mencoba menerima kenyataan bahwa Aluna telah melupakan semuanya tentang dunia ini. Meski rasanya berat, Raven sadar inilah risiko dari perbuatannya.
Aluna tidak mendapatkan jawaban, tapi diamnya Raven memberikan jawaban yang cukup.
Aluna bangkit dari duduknya ia lalu berbalik membelakangi Raven yang masih duduk di meja makan.
"Aku ingin tidur."
Raven lalu ikut berdiri, "Iya, beristirahatlah."
Aluna sudah berada di ambang pintu dapur, tapi kemudian ia berbalik dan menatap Raven yang sekali lagi membereskan alat makannya.
Bukankah Raven tidak perlu melakukan itu? Dia bisa menyuruh Aluna melakukannya karena memang itu alat makan bekasnya sendiri. Begitu pikir Aluna.
'Aku suamimu Aluna', kalimat itu kembali terdengar di telinga Aluna. Kalimat Raven saat Aluna bertanya siapa dirinya.
Aluna memegang kepalanya saat kalimat itu terus berulang di kepalanya.
"Aluna?" Panggilan itu membuat Aluna tersentak.
Ia melihat ke arah Raven yang baru saja menyebut namanya.
Raven melanjutkan ucapannya, "Ada apa?"
Aluna sempat merasakan hatinya bergetar saat mendengar kekhawatiran dalam suara Raven.
Tunggu dulu, bukankah Raven memang sedari awal berbicara lembut padanya?
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Aluna lalu menambahkan, "Kau bisa melanjutkan apa yang kau lakukan."
Raven masih menatapnya selama dua detik sebelum membalikkan badannya dan berlalu ke pintu belakang.
Raven merawatnya dengan baik. Tapi bahkan jika dia memang suami Aluna, seharusnya Aluna sebagai istri yang melayani dan merawat Raven, kan? Aluna bertanya-tanya dalam hati.
Aluna tiba-tiba merasa tidak enak pada Raven. Tapi ia hanya bisa menghela napasnya dan kembali ke kamar.
Aluna sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menutup matanya. Aluna tahu jika tidur langsung setelah makan itu tidak baik untuk kesehatan. Tapi ia sudah merasa sangat mengantuk lagi.
*****
Entah sudah berapa menit Aluna menutup matanya, ia tiba-tiba merasakan sebuah sentuhan di dahinya. Matanya lalu membuka perlahan.
Aluna tidak langsung mengerti, tapi begitu ia paham apa yang ada di hadapannya, ia terkejut. Apa yang ia lihat adalah leher seseorang.
Spontan wanita itu mendorong tubuh seseorang itu. Ia lalu memegang dahinya yang baru saja terlepas dari sesuatu. Matanya melotot pada pelaku yang ternyata adalah Raven.
Aluna langsung bangkit dan duduk menjauh di atas tempat tidur.
"Apa yang kau lakukan?" Aluna bertanya dengan ekspresi syok. Ia sebenarnya tahu tapi tetap bertanya karena saking kagetnya.
"Aku hanya mencium-"
"Hanya? Hanya kau bilang?" potong Aluna tidak memberi kesempatan Raven menjelaskan.
"Aluna, tenanglah. Baik, aku salah. Ini salahku." Raven mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan tidak ingin membuat Aluna lebih marah lagi.
Raven tidak menyangka jika Aluna belum tertidur. Dan ia sadar semua yang ia katakan akan disalahkan oleh Aluna.
"Untuk apa kau melakukan itu?" tanya Aluna masih memojokkan Raven.
Raven menarik napasnya lalu berkata, "Kau ingin mendengar jawaban yang jujur?"
Aluna mengerutkan keningnya.
"Kau yakin mau mendengarkannya?" tanya Raven lagi ingin memastikan keinginan Aluna itu. Ia sadar jawaban jujurnya mungkin akan membuat Aluna marah.
Karena tanpa di tanya seharusnya Aluna menyadari tujuannya melakukan itu. Apa lagi kalau itu bukan sebagai bentuk kasih sayang?
Aluna merenung, ia masih ingat kalimat Raven yang pernah mengatakan jika dirinya adalah suaminya.
"Lupakan, sekarang kau keluar." Akhirnya Aluna mengusir Raven terang-terangan.
Tapi Raven tidak langsung menurutinya. Raven tampak kebingungan.
"Lalu aku tidur di mana?"
Aluna melotot lagi. "Apa? Tunggu dulu, apa yang aku dengar tadi? Kau, jangan bilang kau mau tidur di sini?"
"Ini tempat tidurku juga." Raven seolah lupa tujuannya untuk tidak membuat Aluna marah. Mata abu-abunya tampak polos.
"Tidak, tidak boleh. Kau keluarlah sekarang. Jangan tidur di sini. Aku tidak mau tidur denganmu. Kalau kau tidak mau keluar aku akan tidur di tempat lain." Aluna berdiri setelah turun dari tempat tidur.
Raven tentu saja akan mencegah Aluna pergi.
"Tunggu," ucap Raven sembari menarik tangan Aluna lalu melanjutkan ucapannya, "Aku akan keluar. Tetaplah di sini. Kau bisa tidur kembali dan aku akan keluar. Aku akan tidur di ruangan lain."
Aluna melepas genggaman tangan Raven padanya lalu melipat tangannya di depan dada.
Aluna bersuara, "Kau tidak akan menggangguku lagi?"
Raven mengangguk cepat.
Aluna menghela napas. Ia berjalan kembali ke tempat tidurnya dan naik ke atasnya.
Saat Aluna melihat ke arah pintu, sudah tidak ada Raven di kamar itu lagi.
*****
Aluna berusaha memejamkan matanya tapi ia tidak bisa tertidur kembali. Akhirnya Aluna menyerah dan membiarkan matanya terbuka. Tangannya bergerak menuju dahinya di mana Raven sempat menciumnya. Perbuatan Raven sebelumnya yang membuatnya tidak bisa menutup matanya.
Ah, Benar. Di mana pria itu sekarang? Apa dia benar-benar tidur di ruangan lain? Aluna mulai bertanya-tanya dalam hati.
*****