Percikan-percikan air yang mendarat di wajah membuat visual mimpi yang sedang dialami Ricky menjadi terganggu.
"Bangun Mas Ricky." Suara Bi Suli terdengar enggan untuk membangunkannya. Percikan-percikan air yang ditaburi Bi Suli juga tidak ampuh untuk membuatnya beranjak dari tempat tidur. "Ini sudah jam 6.30." Sampai kalimat yang terdengar samar itu keluar dari mulut Bi Suli, Ricky langsung terlonjak kaget.
"6.30?" Ricky langsung melihat jam dindingnya, dan waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Ia pun langsung lompat dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri secepat kilat. Ia benar-benar merasakan dampaknya, akibat mengunci Aurel di kamarnya dari luar supaya kejadian kemarin pagi tidak terulang lagi.
Entah masih tidur atau tidak, sampai Ricky berangkat ke sekolah diantar oleh sopirnya, Aurel masih tidak menunjukkan batang hidungnya yang mancung. Padahal Ricky sudah membuka kunci kamarnya. Walau begitu, ini menjadi hari pertamanya untuk bisa pergi dengan tenang tanpa kelakuan aneh dari kakaknya yang memalukkan itu. Sekaligus hari pertama ia ditinggal papanya bekerja tanpa menunggunya lebih dulu.
***
Tepat pukul 9 pagi di hari ketiga MOS, komplotan Jo datang ke kelas X-1 untuk menagih janji.
Ricky menepuk keningnya cukup keras saat melihat kedatangan Jo dan senior OSIS lainnya itu. Ia benar-benar lupa dengan foto dan tanda tangan Aurel akibat dari bangunnya yang kesiangan. Entah kenapa Ricky benar-benar merasa karma telah menimpanya karena mengunci Aurel dari dalam.
"Ricky." Panggilan bass Jo menyentakkanya. Ia mengadahkan tangannya tanpa berucap.
"Lupa bang," kata Ricky sambil menggeleng lambat. Perasaannya kian memburuk saat melihat kedua alis Jo bertaut semakin dalam.
"Yang lain? Kalian semua sudah bawa apa yang mentor kalian pinta kalau Ricky tidak membawa apa yang aku inginkan, kan?" Suara Jo terdengar lebih lantang dari sebelumnya.
Semua terlihat sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Termasuk teman sebangku Ricky.
Dua buah gulungan benang hitam dan sebuah jarum dikumpulkan ke depan.
"Sialan! Gue lupa bawa!" Teman sebangku Ricky menepuk keningnya.
"Eh, jangan bercanda dong, Yoga!" gerutu Ricky yang semakin pucat kalau ia benar-benar tidak membawanya.
"Ini kurang satu lagi," ucap Fifi setelah menghitung keseluruhan benang dan jarum itu. Semua pandangan tertuju pada Yoga yang masih sibuk mengubek-ubek isi tasnya. "Gak bawa ya, Dek?" tebak Fifi setelah melihat Yoga akhirnya menyerah untuk mencari benda yang harus dibawanya itu.
"Nggak kak." Yoga tersenyum masam.
"Bagus!" sindir Jo. Cukup mengangetkan seisi kelas. "Ricky! Sini lagi!" pintanya.
"Sialan lu, Ga," rutuk Ricky dalam suara pelan yang masih didengar Yoga, sambil beranjak dari kursinya.
"Lah, lu sendiri juga gak bawa kan," balas Yoga yang hanya dibalas dengan decihan.
Saat Ricky sudah berada di depan kelas, Jo kembali merangkulnya. "Sebagai hukuman, kalian di tahan di kelas lebih lama dari kelas lain sebelum berbaris di lapangan untuk upacara penutupan MOS," ucapnya sebelum ia menarik Ricky keluar kelas.
Kelas menjadi lebih tenang setelah mereka keluar. Entah sedang merenungi kesalahan yang diperbuat satu orang itu, atau malah merutuk dalam hati. Ricky tidak peduli. Yang ia pedulikan adalah bagaimana menghadapi keisengan para kakak kelas yang akan dihadapinya tak lama lagi.
"Jadi, kenapa sampai tidak bawa barang bawaan yang aku pinta?" tanya Jo sekali lagi ketika mereka sudah di luar kelas. "Aku tidak mau mendengar alasan lupa"
"Tapi memang itu alasannya," sahut Ricky.
"Biasa aja dong ngomongnya, Dek," ketus Fifi.
Ricky menghela napas sambil mengalihkan pandangan dari tiga senior OSIS di depannya. "Ini ngomongnya sudah biasa," balasnya lagi, namun masih terdengar emosi.
"Kayak gitu, sih, biasa? Kamu gak tau sopan santun ngomong ke yang lebih tua, ya? Itu mencerminkan blablabla..."
Yang Ricky dengar dari Fifi adalah ocehan, ocehan dan ocehan yang disambar oleh Jo dan Deni. Ini sudah ke-2 kalinya ia mendengar ocehan pemancing amarah itu. Kalau saja Ricky tidak tahu ocehan itu hanyalah akting yang biasa ada di setiap MOS, ia sudah beradu mulut dengan mereka, dan mungkin bisa main fisik. Ini pertama kalinya Ricky mengharapkan kedatangan Aurel supaya bisa berhenti mendengar ocehan yang memanaskan telinga itu.
Tapi yang ia herankan, kenapa mereka bertiga bisa mengagumi sosok Aurel, padahal ia sudah lulus kurang lebih 7 tahun yang lalu dan baru kembali ke Jakarta 6 hari yang lalu? Alasan—karena Aurel sering dibicarakan oleh guru-guru sehingga membuat penasaran dengannya—yang mereka berikan kurang bisa Ricky terima. Se-perfect apa sih Aurel itu sampai banyak yang membicarakannya walau sudah cukup lama menjadi alumnus? Pertanyaan itu sempat terlintas di pikiran Ricky.
Tiba-tiba saja kedua mata cokelat Ricky menangkap suatu yang aneh di lapangan. Ia curi-curi pandang ke arah lapangan basket terbuka tepat di belakang para Senior OSIS yang duduk di kursi koridor itu.
"Kamu dengerin gak, sih?" Kata Fifi keki.
"Dengerin kok dengerin," jawab Ricky sambil mengangguk semangat. Lalu Fifi pun kembali berceramah yang Ricky pun tak tahu topik apa yang diceramahkannya itu. Telinganya mendengar ucapan Fifi, namun tidak ada satu kata pun yang masuk ke otak. Sedangkan matanya sesekali curi-curi pandang ke lapangan basket itu, dan menyadari ada seseorang familier di sana. Ricky tersenyum lebar dalam hati ketika tahu siapa yang datang itu.
(Akhirnya dia datang juga!)
***
Sambil bersembunyi di balik semak-semak, ia berjinjit melewati lapangan basket terbuka. Terus melangkah dan diam sejenak kalau penjaga sekolah memandang di sekitarnya. Tiba-tiba saat ia melihat ke gedung sekolah di depannya, ia melihat Ricky yang memandang penuh harap ke arahnya dari lantai tiga. Ia menegapkan badannya dan melambai ke arah Ricky. Tapi keteledorannya itu membuatnya tertangkap kembali oleh penjaga sekolah.
"Siapa kau?" tanya lelaki berbadan kekar yang mengunci kedua tangannya dari belakang.
"Saya Aurel, Pak!"
"Aurel?" Penjaga sekolah itu membebaskan satu tangan Aurel untuk membuka kacamata hitam dan masker yang menutupi wajahnya. "Kau gadis kemarin, kan?!" kagetnya.
"Iya hehe," jawab Aurel cengengesan.
"Ngepain lagi ke sini?" bentaknya. "Mana barangnya? Biar saya antar. Kau dilarang masuk"
"Yah pak. Sebentar saja." Aurel memasang ekspresi memelasnya.
"Tidak boleh!"
Aurel melihat sekitar. Memastikan kalau sekitarnya itu sudah benar-benar sepi. Ia mengeluarkan dompet dari tas kecilnya. Selembar lima puluh ribu rupiah pun keluar dari dompet tebal itu. "Nih pak. Anggap saja ini rasa terima kasihku karena sudah membolehkanku masuk," bisik Aurel sambil meletakkan uang itu di atas telapak tangan penjaga sekolah.
Lelaki dewasa yang tertulis nama 'Edo' di emblem seragamnya itu pun ikut memperhatikan sekitarnya. "Ya sudah. Untuk kali ini saja ya," kata Edo sambil mengantungi cepat uang biru itu.
"Siip! Makasih, Pak!"