Saat bel pulang berbunyi, Ricky segera menghubungi Aurel untuk menjemputnya. Sebelum berangkat, mamanya berpesan kalau Pak Udin sedang cuti untuk mengurus istrinya yang sakit. Jadi, ia meminta Aurel untuk menjemputnya.
"Kiki, aku jemput kamu sekitar jam lima nanti. Lagi ada urusan penting sama klien."
"Daripada menunggu dua jam, mending aku pulang sendiri saja."
"Ya sudah, tapi jangan sampai tersasar, ya. Naik angkot ke arah kanan kamu. Jangan sampai gak ada duit di sakumu. Kalau ada penumpang angkot ngajak ngobrol kamu, jangan mau—"
"Iya, bawel!" sela Ricky tak sabaran.
"Ini untuk keselamatan kamu!"
"Tapi gak usah lebay!"
"Aku gak—"
Ricky pun langsung menutupnya sepihak. Ia melangkah keluar kelas dengan amarah menggebu. Sifat Aurel yang overprotective padanya dengan alasan yang sampai saat ini belum ia tahu itu menjadi penyebabnya. Walau begitu, saat ini ia cukup senang karena bisa pulang sendiri. Selama ini ia ingin mencoba mandiri, namun Aurel selalu mencegahnya secara tidak langsung.
Kali ini Ricky tidak salah naik angkot. Untuk menghilangkan kebosanan, ia pun mendengarkan lagu di ponselnya menggunakan earphone. Suasana di angkot itu membuatnya teringat sesuatu. Hutangnya pada Lita sampai saat ini belum lunas.
(Kenapa dia gak pernah ngingetin?) rutuknya dalam hati.
Ricky langsung menghentikan angkot saat lewat di melewati depan portal perumahan. Setelah ini, ia harus berjalan untuk mencapai ke kediamannya.
"Tumben gak ada yang jaga," gumam Ricky saat melihat tidak ada seseorang di dalam pos penjagaan. Kemudian ia melangkah masuk melewati gerbang. Lagi-lagi ponselnya berdering karena panggilan masuk dari Aurel.
"Sekarang kamu di mana? Aku sudah di jalan menuju sekolah kamu."
"Aku sudah sampai di gerbang komplek. Dikit lagi sampai rumah. Katanya kakak sampai sore."
"Kliennya ada keperluan mendadak, jadi..."
"bohong tuh, bohong"
"Shut up, Jane!"
Ricky bisa mendengar samar-samar suara Jane di sana. Ia menghembuskan napas, benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Aurel saat ini. Ricky berhenti sejenak. "Jadi, kakak meninggalkan pekerjaan hanya demi aku?" Suaranya terdengar datar.
"Ng-nggak." Aurel terdiam sejenak. "Kamu sudah di gerbang, kan? Aku langsung ke sana aja, ya. Kamu tunggu dekat pos satpam, sebentar lagi aku sampai."
Ricky kembali melangkah. "Gak usah, aku sudah jalan dari tadi. Dikit lagi sampai."
"Iih aku bilang, kan—"
Lagi-lagi ia memutus panggilan sepihak. Beberapa menit kemudian, Aurel kembali memanggil, tapi Ricky hiraukan, bahkan ia tolak.
(Hmm... kyaknya lebih enak punya adik atau tidak punya saudara sama sekali,) pikir Ricky.
"Permisi, dik." Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang.
Ricky melepas satu earphone-nya dari telinga dan berbalik badan. "Iya?" Ada seorang pria berbadan kekar dan seorang wanita di sebelahnya. Keduanya berpakaian rapi seperti orang kantoran.
"Mau nanya, alamat ini di mana, ya?" tanya pria itu sambil menunjukkan secarik kertas di genggamannya.
Ia membacanya sekilas. "Ooh ini. Dari sini bapak lurus saja ke depan, nanti ada pertigaan belok kanan, lurus lagi, ada perempatan belok kiri. Itu sudah masuk Jalan Kenari."
"Makasih, ya, dik," balasnya sambil tersenyum.
Ricky membalas senyumnya, "Iya sama-sama." Ia kembali melanjutkan perjalanannya melewati Jalan Nuri yang sangat sepi sambil mengenakan earphone. Baru saja beberapa langkah, ia sudah dipanggil lagi.
"Kamu anaknya Pak Leo yang tinggal di Jalan Kasuari, ya?" tanya wanita itu.
Awalnya Ricky ragu untuk menjawabnya karena ia tidak ingin bicara dengan orang asing seperti mereka. Namun, wanita itu terlihat seperti mengenal papanya. "Iya."
"Ooh begitu. Saya titip pesan, ya. Bilang dari rekan kerjanya, Sani dan suami," ucapnya seraya menyerahkan selembar amplop.
"Ok." Setelah itu, Ricky bisa kembali jalan dengan perasaan sedikit lega sambil mendengarkan musik karena bertemu dengan salah satu rekan kerja Leo. Ia baru terpikirkan sesuatu ketika ia mengantungi amplop tersebut. (Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa rekan kerjanya papa masih berkeliaran di luar? Padahal jam kerja belum selesai. Kenapa mereka gak langsung kasih sendiri amplop ini?)
Langkah Ricky mulai melambat, lalu berhenti. Ia ingin memastikan, apakah sepasang suami-istri tadi masih mengikutinya atau tidak.
Tapi tiba-tiba saja, sebuah sapu tangan menutup hidung dan mulut Ricky dari belakang. Ia langsung meronta-ronta, namun kekuatan orang di belakangnya itu terlalu besar dan berhasil mengunci dia tangannya supaya tidak bisa melawan. Sebuah mobil sedan berhenti di sebelahnya dan wanita yang mengaku sebagai Sani tadi keluar.
Semakin lama hidungnya ditutup, tubuhnya semakin lemas dan tidak bertenaga. Ia tidak bisa melawan lagi saat merasa tubuhnya diangkat. Ternyata sapu tangan itu sudah diberi bius penenang dan membuatnya tak sadarkan diri.
***
Tin tiin!!
"Aurel, jangan nekat, Aurel! AUREL!!"
Brakk!
Air bag dalam mobil langsung mengembang ketika bagian depan mobil itu sengaja ditabrakkan ke bagian belakang mobil sedan.
Sepasang suami istri tadi langsung mundur menjauhi mobil mereka yang melaju karena ditabrak dari belakang.
"Turunkan dia!!" Aurel menodongkan sebuah pisau lipat pada mereka.
Mereka seketika pucat pasi dan tampaknya mereka tidak menyiapkan senjata lain untuk mengancam balik Aurel. Mereka pun menurunkan Ricky dan mengangkat kedua tangan.
"Ki-kita damai aja, ya, mbak." Pria itu mencoba bernego dengan Aurel.
"Nggak bisa! Kalian harus dibawa ke kantor polisi!!" bentak Aurel.
"Hey, where are you going?" Jane langsung menangkap wanita yang hendak kabur itu dan menahannya.
Beberapa menit kemudian, empat pria dengan seragam tugas lengkap datang dan langsung membekuk dua penculik itu setelah Aurel menghubungi salah satu kenalan satpam yang menjaga perumahan.
Satpam itu menawarkan diri untuk membawa Ricky ke rumah sakit, tapi Aurel menolaknya dan memilih untuk di bawa ke rumah saja. Ia tahu kalau Ricky hanya pingsan setelah mencium aroma menyengat dari sapu tangan yang sedaritadi digenggam penculik itu.
Tiba-tiba sebuah mobil van cokelat melewati jalan tersebut dan berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Jane, yang kebetulan kenal dengan pria yang mengendarai mobil tersebut langsung meminta tumpangan padanya. Dengan senang hati pria itu mau mengantar mereka ke rumah Aurel, dan satpam itu hanya membantunya memasukkan Ricky ke dalam mobil.
"Aku bawa Kiki pulang dulu. Nanti aku urus mobilku. Tolong jagain, ya Pak," kata Aurel.
"Iya," jawabnya. Setelah itu, mobil pun melaju.
Pria tersebut juga merasa cemas dan penasaran dengan apa yang baru saja terjadi. Dan Jane, yang duduk di samping pengemudi, menjelaskan apa yang ia tahu. Jane memandang wajah murung Aurel dari cermin gantung.
"Are you allright?" tanya Jane.
Aurel sedikit tersentak dari lamunannya. "Y-yes."
Beberapa saat Jane melihat kedua mata Aurel yang berkaca-kaca itu. Jelas sekali kalau Aurel tidak baik-baik saja saat ini. Jane menghembuskan napas panjang.
"Apa yang sebenarnya kamu pikirin, sih? Riky, kan sudah selamat," kata Jane. "Kalau soal pekerjaan, nanti aku bantu jelasin ke mereka."
"I-iya. Aku cuman khawatir aja." Suara Aurel terdengar lirih sambil memandang miris wajah adiknya yang terbaring di pangkuannya itu.
"Aku gak nyangka kamu punya firasat sekuat itu pada Ricky," komentar Jane. "Apa ini karena phobiamu?"
Aurel terdiam sesaat. "Mungkin."
Lagi-lagi Jane mendesah. "Cukup baik punya firasat sekuat itu pada keluargamu untuk keselamatan mereka. Tapi sebaiknya kamu tidak perlu berlebihan."
"Aku gak berlebihan!!" bentak Aurel.
"Kalau gak berlebihan, kenapa dia sering memutus panggilannya saat kamu ngomong?" timpalnya, Aurel terdiam. "Itu karena dia kesal dengan sikapmu itu."
"Tapi kalau—"
"Aku mengerti," sela Jane. "Kamu tidak ingin kejadian itu terulang lagi dan membuat thantophobia-mu semakin parah, kan?"
Aurel tertunduk dalam dan menyeka air mata yang hendak keluar. "Iya. Tapi aku gak tahu gimana caranya."
"Aku sarankan, sebaiknya kamu ceritakan dulu apa yang sebenarnya sudah terjadi tentang masa lalumu pada Ricky, supaya dia mengerti kenapa kamu terlalu berlebihan padanya."