Chereads / A Love For My Little Brother / Chapter 32 - Kotak Masa Lalu

Chapter 32 - Kotak Masa Lalu

Seberkas cahaya menembus kelopak mata menjadi alasannya untuk terbangun di pagi menjelang siang ini. Ia menaikkan selimut sampai menutupi kepala, namun sia-sia saja karena ia sudah terbangun dan sulit untuk tidur lagi. Setelah energinya setengah terisi, ia bangkit ke duduk lalu berdiri dan meregangkan tubuh.

Beberapa saat ia sempat terlupa dengan apa yang terjadi padanya, sampai ia berdiri di depan cermin dan melihat bayangan dirinya yang sangat berantakan. Seragam sekolah kemarin masih ia kenakan dan dalam keadaan sangat kusut.

Ricky sempat tersadar kemarin malam, dan Leo menyambutnya walau dalam keadaan terkatung-katung. Ia merasa heran dengan apa yang sudah terjadi padanya, sampai Leo menceritakan apa yang ia tahu dari Aurel. Setelah itu Ricky sendiri baru teringat dan juga mengatakan kalau dua penculik itu mengaku rekan kerja papanya. Pada kenyataannya mereka bukanlah rekan kerja Leo.

"Sudah jangan dipikirkan lagi. Yang penting, kamu sudah selamat."

Perkataan itu masih terngiang di pikirannya. Ia tidak menyangka kalau ternyata Leo bisa seperhatian itu padanya.

"Payah. Namanya juga orang tua. Wajar lah kayak gitu," gumamnya pada diri sendiri.

"Ternyata kamu sudah bangun." Tanpa Ricky sadari, mamanya sudah masuk ke dalam kamar. Ia menghampiri dan mengecek suhu tubuh si bungsu. "Kamu masih demam. Mending tidur lagi."

"Tapi sudah mendingan, Ma," kata Ricky. "Sekarang aku mau mandi."

"Jangan. Ganti baju aja," ucap Lily. "Mama ambil makanan buat kamu, ya."

"Gak usah. Aku makan di meja makan aja," tolak Ricky.

"Ooh, ya sudah. Kalau kamu perlu ke dokter, bilang ya."

"Kak Aurel di mana?" Ricky penasaran karena sejak kemarin ia tidak melihatnya.

"Dia nganterin surat izin ke sekolah kamu," jawabnya. "Mama tunggu di meja makan. Sudah ada pecel lele kesukaan kamu." Tanpa menunggu respon, Lily langsung keluar kamar.

***

Setelah berganti pakaian, ia segera keluar kamar. Semilir angin menyentuh kulit yang berasal dari kirinya, dari arah pintu kamar Aurel yang sedikit terbuka. Ia menghampirinya untuk melihat kamar itu. Tidak ada sesuatu apa pun yang mencurigakan kecuali jendela kamar yang terbuka lebar. Ia pun langsung masuk untuk menutup jendela itu.

Kakinya tidak sengaja menyentuh sesuatu yang mencuat dari kolong tempat tidur. Setelah ia menutup jendela, ia langsung melihat apa yang sudah ia tendang itu.

"Kotak masa lalu?" Ricky penasaran dengan isi dari kotak berukuran sedang yang tertempel tulisan 'Kotak Masa Lalu' itu. Ia pun membukanya dan menemukan tumpukan album dan buku usang. Ia mengambil sebuah album foto kecil.

"Kiki, aku pulang! Bagaimana kondisi--ehh? Dia gak ada di kamar?"

Mendengar sahutan seorang gadis yang sangat dikenalnya itu, buru-buru Ricky menutup kembali kotak kayu itu dan ia dorong ke bawah tempat tidur setelah ia mendengar suara nyaring Aurel.

"Kiki ngepain di kamar aku?"

"Tadi jendelanya kebuka, ya aku tutup," jawabnya sesantai mungkin sambil berjalan keluar kamar. Ketika adiknya itu melewatinya, tiba-tiba saja Aurel memeluk Ricky erat dari belakang sangat erat seakan ia tidak ingin kehilangannya. "Se-sesak..."

"Maaf," Aurel langsung melepasnya dan berdiri di depan Ricky untuk menempelkan punggung tangannya di kening adiknya itu, "Kamu belum minum obat, ya?"

"Nanti setelah makan," jawabnya singkat seraya melewati Aurel.

"Kiki, kalau kamu nekat pulang sendiri tanpa ada ditemani lagi, aku gak segan-segan bakar koleksi komik dan poster kamu," Ancam Aurel sambil tersenyum, "Mengerti?"

Ricky berhenti sesaat dan memijat keningnya. Ancaman itu terdengar sangat serius walau Aurel memasang senyumnya. "Iya." Hanya itu jawaban yang bisa ia keluarkan. Untuk saat ini ia tidak ingin berdebat dengan Aurel karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

***

"Mas Kiki, jangan dipikirin lagi. Nanti tambah sakit, loh," kata Bi Suli yang sedang mencuci piring kotor.

"Nggak mikirin, Bi," jawab Ricky sambil mengelap wajahnya dengan handuk. Ia mengerti maksud Bi Suli yang mencoba untuk membuat segalanya itu baik-baik saja setelah kejadian kemarin. Untung saja ia tidak sampai benar-benar diculik dan membuatnya menjadi trauma saat itu.

"Kalau kamu bisa membedakan mana pecel lele buatanku, buatan Mama, dan buatan Bi Suli, aku kasih kamu 5 ribu!" seru Aurel.

Setelah Ricky mengambil nasi, ia memperhatikan tiga lele dan tiga sambal yang tersedia di depannya itu. (Mereka niat banget sampai bikin kayak gini,) pikir Ricky.

"Jangan dicicipin!" larang Lily.

Ricky mengambil lele dan sambal di piring kedua. "Aku ambil yang paling enak."

"Itu buatan Mama, kan?" tebak Lily.

"Ini buatan Kak Aurel, yang sedikit gosong buatan Mama, dan sisanya buatan Bi Suli," sambar Ricky. Ia menjulurkan tangannya pada Aurel. "Mana 5 ribunya?"

Aurel mengambil selembar 5 ribu dari kantungnya dan ia berikan pada Ricky. "Wah, kamu hebat banget!"

"Hmm..." Ricky meresponsnya biasa sambil melahap makanannya. Ia menunggu waktu yang pas untuk berterima kasih pada Aurel nanti.

"Mama, mulai sekarang aku pakai motor mama dulu sampai mobilku selesai dibenerin, ya," kata Aurel. "Sayang, kan, kalau disimpan terus."

"Iya terserah kamu."

"Mobil kakak kenapa? Mama punya motor?" heran Ricky.

"Mama, kan, dulu masuk komunitas motor kopling. Kamu gak tau?" heran Aurel.

"Motor kopling? Jadi motor yang ditutup kain di garasi itu punya Mama?" kagetnya. "Aku kira itu punya Papa. Aku juga baru tahu Mama masuk komunitas itu."

"Iya motor itu punya Mama, walau biasanya Papa yang merawatnya. Jadi wajar saja kamu baru tahu," Lily menyesap teh hangatnya dulu sebelum kembali menjawab. "Itu dulu banget, Ricky. Mungkin waktu kamu belum umur 5 tahun. Sekarang sudah nggak. Semua motor sudah mama jual, tinggal satu yang di garasi," jawab Lily. "Terus mobil Aurel rusak gara-gara dia sengaja menabrak mobil penculik itu."

"Iih Mama, gak usah dijelasin juga," gerutu Aurel.

"Kamu juga gak usah kasih tahu kalau dulu Mama ikut komunitas motor kopling, Aurel," balas Lily.

Sekarang Ricky paham kalau ternyata dua perempuan di hadapannya itu sudah banyak menyembunyikan sesuatu darinya. Apa mungkin sejak Lily dan Aurel pindah sementara ke Australia? Mungkin saja. Tapi ia tidak ingin berburuk sangka dulu. Setelah mendengar kalau Aurel sengaja menabrakkan mobilnya seperti itu, rasanya ia ingin cepat-cepat berterima kasih padanya. Sebuah adegan aksi kejar-kejaran seperti film laga tergambar di benaknya.

"Mama ke tempat Bu Hajah dulu, buat arisan," kata Lily. "Kamu jagain adek, ya, Aurel."

"Gak usah Mama bilang juga sudah pasti aku jagain." Aurel terkekeh sambil mengelap sisa-sisa selain roti cokelat di tepi bibirnya dengan tisu.

Setelah itu, Lily pun pergi keluar rumah dan tinggallah sepasang kakak-adik itu di meja makan.

"Kak, makasih."

"Sudah sewajarnya, kan? Seorang kakak melindungi adiknya," balas Aurel.

"Kakak perempuan seharusnya menyayangi adik laki-lakinya, bukan melindunginya. Justru, adik laki-lakinya yang harus melindungi kakak perempuannya," Ricky tertunduk malu sambil mengucapkan apa yang pernah Leo ucapkan. "Kalau begini, untuk apa aku dapat sabuk biru?" lirihnya.

Aurel menatapnya miris, ia tidak ingin melihat Ricky membahas hal itu. "Oh iya, ngomong-ngomong, kamu ikut ekskul apa di sekolah? Bukan karate lagi, kan?" tanyanya memastikan.

Karate sudah tidak mungkin lagi karena Aurel tahu cedera parah yang dialami Ricky di kedua lengannya. Kalau ia memaksa, bisa kemungkinan terjadi kelumpuhan dan tindak operasi harus dilakukan. Akhirnya pertandingan untuk kenaikan dari sabuk biru ke cokelat menjadi pertandingan terakhirnya saat berumur 12 tahun. Dan akhirnya ia berhenti di sabuk biru karena gagal naik ke sabuk cokelat. Aurel sungguh menyesal karena tidak dapat menyaksikan pertandingan itu.

"Bukan. Aku belum ikut ekskul apapun," jawabnya.

"J-club?"

"Aku sudah lihat, tapi keliatannya gak aktif."

"Teater?"

"Nggak mau."

"Voli?"

"Jangan ekskul yang memberatkan tangan."

"Oh iya, maaf lupa." Aurel berpikir sejenak. "Hmm... kalau gitu apa, ya?"

Ricky meneguk segelas air mineral untuk mendorong pil yang diberikan Lily di dalam tenggorokannya. "Aku tidur dulu."

"Apa perlu kakak temani tidur?"

"Nggak perlu sama sekali!" jawabnya. "Kalau sampai kakak diam-diam tidur di sebelahku, aku gak segan-segan bakar rancangan baju kakak!"

"Ih jahat banget! Nanti aku dapat duit dari mana?"

"Pikir sendiri, lah!"

Kemudian Ricky beranjak dari kursi dan menaiki tangga. Ia tersenyum senang karena akhirnya ia bisa mengembalikan ancaman yang pernah Aurel berikan.

Sesampainya di kamar, ia mengeluarkan album kecil berwarna biru dari saku jaketnya dan merebahkan diri di atas kasur. Tertulis 'My Family' di covernya.

"Ah paling cuman foto waktu Kak Aurel masih kecil," gumamnya. Walau begitu, ia tetap membukanya.

Di halaman pertama, tertempel sebuah foto keluarga. Saat itu Aurel terlihat baru menginjak usia 5 tahun dan masih lucu-lucunya. Tapi ada yang aneh dari foto itu. Bayi yang digendong Lily mengenakan dress bayi berwarna pink dan bandana pita putih. Kalau pun itu Ricky, tidak mungkin penampilannya seperti itu. Kedua orang tuanya juga tidak mungkin sengaja memakaikannya baju perempuan itu ke anak laki-lakinya. Lalu kedua, Aurel dan Ricky itu jaraknya 10 tahun. Tapi kenapa saat Aurel masih 5 tahun, ia sudah lahir?

Tidak ingin berlama-lama di halaman pertama, ia pun langsung menuju halaman kedua. Lagi-lagi terlihat Aurel sedang bermain dengan bayi perempuan yang sudah bisa merangkak. Ricky terus membuka halaman demi halaman album, banyak foto yang menampilkan bayi perempuan misterius yang tidak Ricky kenal.

"Sebenarnya dia itu siapa? Apa jangan-jangan anak perempuan Mama yang hilang? Atau jangan-jangan sebenarnya aku ini perempuan?!"

Semakin Ricky memikirkannya, kepalanya semakin pening. Ia pun menutup album itu dan ia letakkan di bawah bantal.

Ia berusaha untuk lebih tenang dan menyimpan dulu pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada keluarganya. Saat ia mencapai titik tertenangnya dan efek obatnya mulai bekerja, ia pun bisa terlelap dan masuk ke dunia mimpi.